SOLOPOS.COM - Rianto riantoanarkhy@gmail.com Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Alumnus 3 Hari Berhuruf di Bilik Literasi Solo

Rianto riantoanarkhy@gmail.com Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Alumnus 3 Hari Berhuruf di Bilik Literasi Solo

Rianto
riantoanarkhy@gmail.com
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
Alumnus 3 Hari Berhuruf
di Bilik Literasi Solo

Narasi sejarah kita tentang guru yang berpolitik antikolonial sangat sedikit dibicarakan di ruang kelas. Barangkali buku paket pelajaran di sekolah kita tak memuat bab guru berpolitik.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kita akhirnya sadar, buku paket pelajaran terbitan pemerintah hanya berisi ringkasan-ringkasan sejarah seadanya yang menumpuk di tas dan dibawa sehari-hari oleh anak sekolah.

Jadi, setiap hari mereka membawa, membaca, menghafalkan buku berisi sejarah yang kering dan diulang-ulang. Negara sengaja meringkas, membekukan, dan menyebarkan pengetahuan seadanya itu di buku pelajaran.

Pendidikan yang seadanya merupakan cerminan dari kebijakan negara dalam menentukan kualitas murid yang selalu diharapkan menjadi penentu masa depan Indonesia.

Negara terbukti belum mampu mengenalkan murid dengan sejarah mereka. Negara belum berhasil mengajari mereka ilmu-ilmu yang memiliki dasar sejarah.

Andai di dunia pendidikan ada bab tentang guru berpolitik untuk diajarkan kepada murid-murid, setidaknya akan ada perubahan yang membawa optimisme. Sebab, sejarah diperlukan dalam menentukan nasib pendidikan Indonesia di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Guru pun minim akan budaya literer. Guru-guru jarang membaca buku. Tidak aneh bahwa guru-guru hari ini jarang mendengar ide-ide radikal pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, Muhammad Syafei, dan Mohamad Hatta.

Akibatnya, guru-guru enggan berpolitik. Padahal, di masa revolusi, guru adalah seorang  intelektual yang berpolitik.  Di manakah bab sejarah guru dan politik? Apakah dihapus oleh rezim Orde Baru yang bertujuan untuk membuat guru patuh dan mendukung sepenuhnya pembangunan?

Orde Baru membuat organisasi tunggal untuk guru. Mereka diminta mendukung ”partai” pemerintah. Mereka wajib mengajar dengan pesan-pesan pemerintah. Hilangnya bab ini mengakibatkan sejarah pendidikan dijauhkan dari politik, dibungkam agar tidak mengganggu stabilitas politik sekaligus menyukseskan pembangunan.

Setelah puluhan tahun, akhirnya kita lupa pada keteladanan guru-guru yang berpolitik sejak masa kolonialisme. Murid-murid, mahasiswa-mahasiwa, guru-guru seakan-akan tidak berusaha mengingat sejarah yang sejatinya adalah bab fundamental.

Pendidikan yang melupakan sejarah sama artinya pendidikan yang cacat. Kita seharusnya segera sadar dan berusaha mendasarkan pendidikan terkini pada sejarah yang menggugah. Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka,  Muhammad Syafei, Mohammad Hatta merupakan guru-guru politik yang aktif mendirikan sekolah.

Dari risalah, brosur, buku yang memuat tulisan-tulisan mereka tersimpan ide nyata bahwa guru harus berpolitik. Ki Hadjar Dewantara merupakan guru yang berpolitik. Ia mendirikan Taman Siswa yang dasar politiknya jelas, yakni melawan politik pendidikan Belanda. Sistem pendidikan Belanda mengecewakan dan kehilangan rasa kerakyatan.

Guru di sekolah bentukan Belanda menghilangkan tabiat kerakyatan. Murid-murid keluaran sekolah Belanda merasa lebih tinggi derajatnya daripada saudara-saudara mereka yang tak pandai berbahasa Belanda.

Tan Malaka juga merupakan guru yang berpolitik. Ia mendirikan sekolah kader berupa SI School pada 1921. Mereka semua tahu, sekolah menjadi arena guru menebarkan ide-ide pembebasan. Melalui sekolah, guru mengajarkan ilmu pedagogik berupa ilmu berhitung, menulis, serta bahasa yang dikemas dan diolah di sekolah kerakyatan untuk menghadapi kapitalisme.

Murid diasah jiwanya melalui bermain dan mengikuti perkumpulan-perkumpulan, organisasi-organisasi politik. Kelak mereka terbiasa menjadi pemimpin yang tidak jauh dari rakyat. Menurut Tan Malaka, kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

 

Tak Berlentera

Kini, narasi ide guru berpolitik haram hukumnya. Akhirnya, ruang kelas menjadi ruang mengisi pilihan ganda. Ruang kelas sepi dari retorika perdebatan politik. Guru menganggap persoalan sekolah adalah persoalan metode mengajar saja.

Guru sulit berfungsi sebagai penyulut kesadaran sejarah. Pendidikan semakin menyempit, bab dan bahasannya terbatas. Pendidikan yang menutup diri dari sejarah dan politik akan menjadi pendidikan yang tidak berlentera.

Lody Paat dalam tulisannya Melahirkan Guru Intelektual Transformatif (2011) mengurai masalah terkini yang menjangkit guru, yakni tidak mau melawan kekuasaan. Contohnya ada di model Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Ini bisa dilihat dengan mata kuliah yang didapatkan mahasiswa calon guru.

Mahasiswa calon guru dipenuhi dengan materi ilmu pendidikan usang (alat pendidikan, kewibawaan, dan kedewasaan), psikologi pendidikan (behavioristik dan kognitif), dan strategi belajar mengajar. Pengetahuan itu masih mendominasi ruang kelas.

Inilah yang membentuk guru kita mempertahankan status quo bahwa sekolah hanya tempat  aplikasi metode belajar-mengajar. Guru-guru tidak terasah untuk mengurai kekuasaan. Persis kritik yang dilontarkan Ki Hadjar Dewantara, guru sebagai mesin.

Kritik Tan Malaka menyebutkan penyakit guru ialah mabuk metode. Bahkan, Winarno Surakhmad menyebutkan guru sebagai operator. Apakah guru-guru pada masa sekarang ingin berubah?



Guru-guru kita jarang mengikuti diskusi-diskusi politik pendidikan. Guru-guru kita lebih senang memadati diskusi sosialisasi kurikulum baru. Guru-guru kita lebih senang memadati diskusi mengenai metode mengajar yang efektif.

Hari ini, wacana guru kita masih mendominasi pengejaran penghidupan berupa sertifikasi. Hari ini wacana guru masih berisi ambisi menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Pada titahnya guru adalah kunci pembuka gerbang perlawanan terhadap pembodohan, kelaliman, dan jurang perbudakan.

Jika guru bungkam, tidak berpolitik, murid juga buta politik. Aneh rasanya jika kita tak mendengar suara lantang guru yang kritis. Kalau begitu, dalam hening kita patut bertanya, wacana siapakah ini? Wacana rakyat ataukah penguasa?

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya