SOLOPOS.COM - Setyaningsih Mahasiswa Bahasa dan Sastra IAIN Surakarta Bergiat di Pengajian Selasa Siang dan Bilik Literasi Solo

 Setyaningsih Mahasiswa Bahasa dan Sastra IAIN Surakarta Bergiat di Pengajian Selasa Siang dan Bilik Literasi Solo


Setyaningsih
Mahasiswa Bahasa dan Sastra IAIN Surakarta
Bergiat di Pengajian Selasa Siang dan Bilik Literasi Solo

Indonesia berlimpah dosen. Ada sekitar tiga ribu calon dosen siap ditempatkan di beberapa perguruan tinggi dengan status dosen nonpegawai negeri sipil. Mereka lulusan terbaik dari perguruan tinggi terkemuka. Enam ratus orang di antara  mereka sudah lulus pendidikan S2 dan S3. Tersisa dua ribu empat ratus orang masih di tengah perjalanan merampungkan S2 dan S3 tahun ini.
Pendidikan ribuan calon dosen ini menjadi langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencetak dosen-dosen bermutu. Betapa hebat Kemendikbud, hanya lulusan terbaik yang dipilih masuk didikan S2 dan S3 (Kompas, 23 Januari 2014).
Doa patut dipanjatkan biar para mahasiswa tidak macet menempuh pendidikan S2 dan S3. Kemendikbud tentu mewanti-wanti mereka menjadi dosen teladan dan percontohan atas nama “terbaik”. Kita tidak perlu mencurigai niat baik ini sebagai kejar tayang Kemendikbud demi mutu pendidikan. Sekalipun, ada indikasi bahwa hal ini nantinya menjadi jalan bagi para mahasiswa untuk kuliah asal-asalan dan aksi percepatan. Jalan pintas dan tenar bekerja sebagai dosen; “sing penting ndang rampung.” Kecenderungan ini bisa membahayakan kampus-kampus dan diri sendiri orang yang kelak menyandang status; dosen hilang kisah.
Dosen dari masa ke masa tentu saja harus memiliki kisah. Kisah menjadi ajakan untuk mengingat kembali. Buku Prof. H. Muhammad Yamin S.H (1985) garapan Sutrisno Kutoyo menceritakan hal menarik saat Yamin menjadi dosen. Terhadap mahasiswa yang akan diuji, Yamin sangat memperhatikan cara berpakaian, cara duduk, cara membuka pintu, cara berjalan, bahkan cara mengangkat kursi. Mahasiswa putri disarankan memakai pakaian nasional; baju kebaya, baju bodo, atau baju kurung.
Bagi Yamin, “seorang calon yang memelihara kumis, akan mendapat nilai kurang. Demikian pula bilamana pakaiannya tidak rapi, dan cara mengangkat kursi sampai kedengaran gaduh adalah alamat buruk bagi si eksiminandus.” Kita bisa menduga bahwa Yamin bisa melihat kesiapan dan kesungguhan para mahasiswanya lewat tindakan dan penampilan. Segala sikap merujuk pada konsistensi dan tanggung jawab. Yamin meninggalkan kesan nyentrik sebagai dosen.
Kita boleh terkejut saat menemukan pengakuan-pengakuan mantan mahasiswa Sartono Kartodirdjo di Jurusan Sejarah UGM. Sartono mulai mengajar di UGM tahun 1956. Dalam buku Membuka Pintu Masa Depan, Biografi Sartono Kartodirdjo (2008), M. Nursam menghadirkan pengakuan Taufik Abdullah yang mengaku sebagai “murid abadi sang guru.” Taufik mengatakan, “Dia terlalu kejam. Sebenarnya tidak terlalu, tetapi meminta banyak. Mengharuskan orang untuk membaca begini-begitu, yang tebal-tebal… sehingga Pak Sartono ini kan, ‘dosen yang paling dibenci’. Dibenci dalam pengertian bukan pribadi, dibenci dalam artian telalu banyak menuntut.”
Sartono sudah terbiasa berdisiplin sejak masa kecil di Wonogiri. Sartono membawa kebiasaan teratur selama belajar; menjadi mahasiswa dan dosen. “Menuntut” merujuk pada kesungguhan sebagai jalan para mahasiswanya mencapai keilmuan dan masa depan. Kuliah membutuhkan tekad melawan kemalasan. Kesungguhan inilah yang kelak terus dibawa Sartono saat menjadi mahasiswa di Amerika dan Belanda. Sartono adalah tubuh bergerak bersama ilmu, guru-guru, buku, dan perpustakaan.
Antropolog kondang, Koentjaraningrat juga mampu menorehkan kisah pada mahasiswa-mahasiswanya. Frieda Dharmaperwira-Amran menuliskan di buku Corat-coret Koentjaraningrat (1997). Tahun 1969, Koentjaraningrat kembali dari Belanda dan mengajar di Jurusan Antropologi UI. Ada pola perkuliahan yang diingat para mahasiswa.
Koentjaraningrat memilih mahasiswa yang hendak ditanyai berdasarkan warna baju. “Bila Koen masuk ruangan dan berkata, ‘Saudara yang berbaju hijau…’ maka sudah pasti sejumlah mahasiswa yang kebetulan berbaju hijau dan tidak menguasai materi yang akan diajarkan hari itu akan saling mencuri pandang dan merunduk serendah mungkin sampai kepala hampir rata dengan bangku masing-masing supaya lolos dari pandangan mata Koen.”
Koentjaraningrat mengharuskan mahasiswa menghafal semua materi, menghafal nama-nama, mengenal peta buta, atau membuat kliping. Mereka juga diharuskan melatih ketelitian dan ketepatan dalam menggunakan data. Namun, Koentjaraningrat bukan sosok dosen yang hanya memikirkan interaksi akademis.
Koentjaraningrat banyak memperhatikan mahasiswanya. Terkadang malah mendatangi mahasiswa di pondokan dan menanyakan kesulitan apa yang menyebabkan studi berhenti. Maka, meski ada kesan seram dan serius, Koentjaraningrat tidak membiarkan mahasiswa berputus jalan.
Peran dosen di abad ke-21 cukup menyisakan kesan akademik saja. Dosen sulit menjadi teman. Status dosen terkadang malah membuat berjarak dengan mahasiswa. Dosen terkesan elitis. Kecenderungan ini membuat dosen miskin kisah.
Urusan dosen sering kali berhenti pada sertifikasi, gaji, tunjangan, dan birokrasi. Ketika masa perkuliahan berakhir, usai sudah imajinasi para mahasiswa pada dosennya. Kata “terbaik” dimunculkan Kemendikbud demi merujuk pada tataran nilai atau IPK. Angka-angka dihadirkan. Namun, mahasiswa tidak butuh mengingat angka. Ingatan hidup oleh kata. Sungguh sial jika dosen kehilangan kata dan kisah. Zaman terpaksa melupakan dosen dari masa ke masa.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya