SOLOPOS.COM - Laila Sari Mahasiswi Sastra Inggris IAIN Surakarta Santri Pengajian Selasa Siang Solo

Laila Sari Mahasiswi Sastra Inggris IAIN Surakarta Santri Pengajian Selasa Siang Solo

Laila Sari
Mahasiswi Sastra Inggris
IAIN Surakarta
Santri Pengajian
Selasa Siang Solo

Sejarah itu harganya cukup mahal, namun tak begitu berguna. Kalimat tersebut cukup mewakili kekecewaan saya terhadap buku pelajaran sejarah sewaktu duduk di bangku sekolah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Buku tersebut tidak terlalu tebal, namun harganya tidak murah. Selain itu, isi buku tersebut sulit dipahami dan menjemukan. Di dalamnya penuh dengan nama, tanggal, bulan, dan tahun.

Buku pelajaran sejarah itu kaku sebagaimana buku fisika yang berisi rumus-rumus yang mesti dihafalkan siswa, tanpa mengetahui kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Buku tersebut gagal membangkitkan gairah saya pada sejarah bangsa.

Realitas itu persis dengan kenyataan yang pernah di alami Adolf Hitler. Saat itu dia sangat marah dengan buku pelajaran sejarah semacam itu. Hal ini ia kemukakan dalam karyanya yang berjudul Mein Kampf (2007).

Saat dia memimpin Jerman, ia merombak seluruh buku pelajaran sejarah yang awalnya menggunakan penyajian kaku, kemudian diubah menjadi bahasa penuh semangat menggebu sebagaimana orasi.

Bagi Hitler, buku sejarah dibuat untuk membangkitkan semangat nasionalisme rakyat. Untuk itu buku sejarah harus dapat memenuhi syarat ini.

Sejarah mestinya tidak melahirkan jarak dan harus mampu membawa pembaca pada permenungan reflektif. Saya masih ingat waktu kecil, saat bapak mendongeng.

Dengan gaya bahasa memikat, jalan cerita tersebut dapat dengan mudah saya cerna sebagai seorang bocah. Saat itu, dongeng yang kerap sekali bapak bawakan adalah dongeng-dongeng nabi dan rasul.

Dalam kaca mata saya yang masih bocah, tentu saya tidak mau ketinggalan saat sesi dongeng berlangsung, bahkan terkadang saya merengek pada bapak untuk didongengkan lagi dan lagi.

Baru saya ketahui bahwa tujuan bapak menggunakan dongeng tersebut adalah untuk mendekatkan anak-anaknya pada kisah serta sejarah nabi dan rasul. Saya sadar sepenuhnya bahwa bapak menghendaki anaknya tidak buta pada sejarah nabi dan rasul.

Tentu saat itu alam imajinasi saya mulai berandai-andai. Betapa menyenangkan dan memesonanya apabila buku pelajaran sejarah dikisahkan selayaknya dongeng.

Selain itu, cerita memesona lain mengenai sejarah dapat saya temukan (dan lagi-lagi bukan dari buku pelajaran sejarah) dari buku Barzanji. Barzanji adalah buku yang berisi kisah dengan pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dengan bahasa memesona, indah, penuh sastra.

Saat itu, Barzanji dipersembahkan oleh Ja’far Al-Barzanji untuk Raja Salahudin Al Ayubi. Salahudin Al Ayubi kala itu mengadakan perlombaan penulisan sejarah Nabi Muhammad dalam balutan sastra. Tentu, dengan bahasa indah dan memikat.

Penulisan buku sejarah ala Barzanji digandrungi umat di mana pun, termasuk di Jawa. Kisah itu kerap kali dilantunkan pada bulan Maulid di masjid-masjjid atau pun rumah-rumah.

Saya teringat akan perayaan maulid Nabi Muhammad serta pembacaan Barzanji di lingkungan saya. Perayaan maulid Nabi Muhammad dengan pembacaan Barzanji yang sarat akan sejarah, dikemas dengan bahasa indah dan pujian acap kali menggema di salah satu rumah warga.

Kisah berbentuk pujian merdu dilantunkan, bahkan terkadang diselingi tabuhan rebana. Saking indah gaya bahasa yang digunakan hingga, terkadang tak terasa bahwa kita telah belajar sejarah dengan cara membaca dan melantunkanya.

Namun, agak disayangkan bahwa kebanyakan masyarakat di lingkungan saya enggan mencari tahu makna dari setiap bait kitab Barzanji. Agama dan kepercayaan hanya untuk dilakukan, tidak dipahami dan ditelaah.

Terkadang ungkapan-ungkapan yang menggunakan bahasa Arab hanya diketahui bahasa Arab, tidak diketahui dalam bahasa ibunya (Jawa). Sepintas hal tersebut telah diungkapkan Clifford Geertz dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981).

Jika masyarakat tahu arti atau menerjemahkannya ke dalam bahasa ibu mereka, tentu pemahaman mereka pun akan jauh lebih bermakna. Barzanji menyajikan sejarah dengan balutan sastra indah dan memikat.

Seseorang yang membacanya akan masuk lebih dalam, lebih mengilhami, serta menghayati setiap untai kata yang tersaji. Apabila hal demikian telah terjadi, dapat dipastikan muncul sebuah spirit, serta ikatan emosional yang terjalin antara sejarah dan pembaca.

Pembaca dengan senang hati akan ikut terhanyut dan seakan turut menyaksikan secara live sejarah tersebut. Seperti yang telah saya sampaikan di atas, buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah kurang memiliki peran untuk membangkitkan pelajar akan kesadaran mempelajari sejarah.

Buku pelajaran sejarah menemui kemandulan esensi sebagai sebuah pengisah dan pencerita atas memori yang telah berlalu. Lewat gaya bahasa baku, kaku, dan wagu, buku pelajaran sejarah gagal membangkitkan gairah untuk menelusuri sejarah dan membuat pembaca (baca: pelajar) melek sejarah.

Saya masih berharap, suatu saat nanti buku pelajaran sejarah di sekolah akan direvisi gaya bahasanya, cara ungkapnya, dan cara menyajikannya dari yang kaku menjadi penuh pesona memikat layaknya buku sejarah monumental seperti Barzanji.



Harapan saya, buku pelajaran sejarah mampu menjadi wahana pengingat peristiwa dengan gelimang maknanya. Dengan demikian, buku pelajaran sejarah kita akan menjadi buku yang tidak hanya bisa ”berkata-kata”, lebih dari itu ia akan mampu berbicara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya