SOLOPOS.COM - Irfan Ansori irfanansori17@yahoo.com Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Aktif di Religion, Politic, and Social Change’s Institute

Irfan Ansori  irfanansori17@yahoo.com   Mahasiswa Fakultas Agama Islam  Universitas Muhammadiyah Surakarta  Aktif di Religion, Politic, and Social Change’s Institute

Irfan Ansori
irfanansori17@yahoo.com
Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Aktif di Religion, Politic, and Social Change’s Institute

Rubrik Gagasan Solopos edisi 10 September 2013 memuat artikel Arif Yudhistira yang berjudul Berpolitik adalah Beriklan. Artikel tersebut paling tidak sejenak membuat mata kita terbuka tentang fenomena perpolitikan Indonesia dewasa ini. Iklan telah mengubah wajah politik mutakhir kita.

Promosi Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia

Menurut saya, substansi artikel tersebut merupakan sebuah bentuk kekhawatiran Arif terkait munculnya berbagai aktor politik yang notabene pemilik media massa. Aktor politik itu seperti Hary Tanoesoedibjo (CEO MNC) yang bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan kemudian mendeklarasikan dirinya dengan Wiranto sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden 2014.

Aktor politik lainnya adalah Aburizal Bakrie (Ical) yang memiliki TVOne dan ANTV serta Surya Paloh pemilik Media Gorup yang salah satunya adalah Metro TV. Hal ini wajar mengingat media massa memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam menggiring opini masyarakat.

Persaingan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) sudah tidak lagi sehat karena sebagian calon sudah bisa ”berkampanye” terlebih dahulu melalui media yang dimilikinya. Sedangkan calon yang tidak memiliki modal dan tak punya media hanya bisa gigit jari dan berdoa akan datangnya keberuntungan yang bisa mendongkrak nama mereka.

Lantas, apakah dengan fenomena tersebut kita menafikan beriklan dalam politik? Apakah beriklan dalam politik menjadi sesuatu yang keji dan haram? Saya kira artikel Arif tidak bermaksud ke arah itu. Akan tetapi, dia lebih menyoroti kinerja para pejabat yang hanya berorientasi menghambur-hamburkan uang.

Mereka hanya duduk manis di dalam gedung ber-AC, memperhatikan pergerakan hasil survei dari efek iklannya. Jika hasilnya menurun kelakuan mereka ibarat kebakaran jenggot. Seketika mereka beramai-ramai terjun dan blusukan di tengah masyarakat dengan tujuan menaikan kembali peringkat di survei.

Lebih parah lagi, partai politik yang baru lahir dan sama sekali belum melakukan kegiatan politik menargetkan suara 6% pada Pemilu 2014. Tentu saja mereka hanya akan mengandalkan beriklan untuk mendapatkan suara.

Begitu pula beberapa capres-cawapres yang hanya mengandalkan iklan namun sama sekali tidak melakukan kegiatan politik. Padahal yang dibutuhkan rakyat adalah tindakan dan bukti yang nyata.

Era Media

Subandy Ibrahim (2007) dalam buku Budaya Populer sebagai Komunikasi mengungkapkan di era politik yang dimediakan dan ditelevisikan (mediatisasi atau televisualisasi politik), politik adalah panggung, pentas, teater, drama telenovela, sandiwara, akrobat, seni pertunjukkan, atau bahkan opera sabun.

Dalam era politik modern (atau juga pascamodern), hampir sebagian besar proses politik sesungguhnya merupakan mediated politics, media-driven politics, televisualized politics, atau mediated political realities. Dalam second hand political reality atau bahkan pseodupolitical events ini, perantara antara elite dan massa atau antara negara dan masyarakat tidak lagi dominan dilakukan partai ataupun kelompok politik, melainkan makin banyak diambil alih oleh media, terutama televisi.

Di Indonesia, fenomena ini berawal pada 2004. Ketika itu Indonesia telah menjalani reformasi bidang pemerintahan, dan terbukalah akses beriklan politik di televisi. Sejak itu, foto atau gambar lebih bernilai daripada retorika dan pidato kampanye politik yang membosankan (Ibrahim, 2007 : 189).

Para elite politik semakin sibuk menampilkan profil terbaik mereka melalui berbagai media dan iklan. Iklan politik dapat mengubah seorang politisi medioker menjadi pemimpin kharismatik. Larence Grossberg (1998) menyatakan media atau iklan dalam berpolitik memiliki dua peranan penting.

Pertama, iklan merupakan sumber informasi penting bagi kepentingan politik. Kedua, iklan dapat mengajak bahkan memengaruhi keputusan pemilih secara langsung melalui dukungan dan editorial. Sedangkan J. Kristiadi (Kompas ; 2008) dalam artikelnya yang berjudul Iklan Politik dan Nasib Suatu Bangsa menyatakan iklan politik mirip dengan reklame produk komersial.

Tujuannya membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai pilihan tepat. Tidak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokoh itu mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.

Konteks Popularitas

Pada dasarnya, iklan adalah salah satu bentuk pemasaran yang cukup efektif untuk penjualan produk. Sama artinya dengan iklan politik. iklan komersial lebih bertujuan menjual produk, sedangkan iklan politik menjual partai atau kandidat kepada pemilih. Oleh karena dalam konteks perpolitikan Indonesia popularitas sangatlah diperlukan. Berkaca pada sejarah, alasan dibebaskannya Soekarno oleh Jepang merupakan upaya memengaruhi rakyat Indonesia agar mendukung Jepang dalam perang Pasifik.

Jepang menyadari sosok Soekarno yang sangat populer dan berpengaruh, di Jawa khususnya. Padahal pada waktu itu, banyak tokoh dianggap lebih pantas memimpin Indonesia seperti Tan Malaka dan Mohamad Hatta. Jika seorang pemimpin Indonesia tidak mampu beriklan dengan baik, akan sangat berbahaya bagi stabilitas bangsa Indonesia.

Wilayah geografis Indonesia sangat luas sehingga membutuhkan sosok yang benar-benar sangat populer, terlebih tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih rendah sehingga daya analisis mereka masih sangat minim. Untuk itu, mereka hanya mengandalkan persepsi media untuk menilai suatu tokoh.

Pada dasarnya, saya sangat setuju dengan Dedication of Life Soekarno yang dibacakan Joko Widodo (Jokowi) pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) beberapa hari lalu, yang pada intinya mengajak kita semua kepada makna berpolitik adalah mengabdi.

Namun, dalam konteks Indonesia, unsur pengabdian tidak cukup jika tidak didukung popularitas yang tinggi. Semuanya tentu bisa diraih jika pemimpin tersebut pandai beriklan. Namun, terlebih dahulu sangat penting untuk membedakan antara tujuan propaganda (pencitraan) dan pemasaran politik yang membangun karakter iklan politik. Dengan demikian, berpolitik memang butuh beriklan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya