SOLOPOS.COM - Widya Ristanti (Solopos/Istimewa)

Tak terasa Oktober kembali menyapa. Rasa-rasanya seluruh warga Indonesia sudah mengenal peristiwa besar yang terjadi pada 93 tahun yang lalu pada bulan ini. Ya, Sumpah Pemuda.

Hingga saat ini pun semangat untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu terus digelorakan. Peringatan terhadap momentum ini lazim kita jumpai pada setiap instansi pemerintah dengan menggelar upacara bendera dan berbagai kegiatan kepemudaan untuk memperingati peristiwa besar tersebut.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sejarah sudah mencatat bahwa peristiwa pada 28 Oktober 1928 tersebut menjadi kristalisasi semangat perjuangan bangsa Indonesia melalui jalur yang lebih elegan, yaitu diplomasi. Kemerdekaan yang menjadi cita-cita bersama tidak lagi diperjuangkan melalui pertumpahan darah, akan tetapi arah pergerakan bangsa berubah melalui meja-meja diplomasi yang melibatkan mata dunia internasional.

Ada satu hal yang menarik dan menjadi sorotan penulis terhadap hakikat salah satu bunyi ikrar Sumpah Pemuda tersebut, yaitu “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Masihkah esensi dari ikrar tersebut kita gelorakan hingga saat ini? Apakah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sudah kita gunakan dengan penuh kebanggan?

Rasanya ada satu hal yang miris ketika melihat kenyataan di lapangan. Pernahkah kita cermati penamaan pada fasilitas publik yang berada di sekolah? Sekolah sebagai lembaga resmi yang menjadi tempat  membelajarkan dan memupuk kecintaan terhadap bahasa Indonesia justru bertolak belakang dengan hal tersebut. Bukan pemandangan yang aneh ketika kita melihat penamaan fasilitas sekolah dengan menggunakan bahasa asing. Sebut  saja ada class, library, green house, office, teacher room, mosque, dan masih banyak lainnya.

Pada sekolah internasional, hal itu rasanya menjadi hal yang lazim. Akan tetapi, jika digunakan pada sekolah noninternasional menjadi pertanda apa ini? Apakah menjadi pertanda bahwa kita malu menggunakan bahasa Indonesia?

Pencitraan terhadap sekolah merupakan hal yang perlu dilakukan. Citra yang baik akan menentukan penilaian terhadap institusi sekolah itu sendiri. Dampak dari terbentuknya citra tersebut tentu menjadi modal yang besar bagi sekolah untuk menjalin kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat umum.

Sudah menjadi hal yang lumrah jika masyarakat menilai suatu institusi sekolah berdasarkan citra yang telah bertahun-tahun dibentuknya. Misalnya sekolah A terkenal dengan kelas IPA-nya yang sebagian besar siswanya diterima di kampus ternama. Ada juga sekolah B yang terkenal sebagai sekolah atlet karena banyak siswanya yang menjadi atlet. Begitulah dampak citra terhadap nama baik sekolah.

Lalu bagaimana pencitraan yang tepat agar suatu sekolah dinilai sebagai sekolah berprestasi dan unggul? Cara instan yang paling mudah adalah dengan mempercantik fisik sekolah dan fasilitas sekolah.

Pelabelan secara internasional pada fasilitas sekolah diharapkan dapat menciptakan anggapan bahwa sekolah tersebut adalah bermutu dan berkualitas internasional. Cara pencitraan yang terlihat wah dan modern tersebut memang yang paling mudah. Dapat dilakukan dengan pengalokasian anggaran yang ada di sekolah.

Hal ini menarik jika kita telisik dari sudut pandang kajian poskolonialisme.  Poskolonial bukan berarti post-independence (pasca/setelah kemerdekaan) karena poskolonial bukan akhir dari proses kolonialisasi. Appiah dalam Ashcroft (1995) mengemukakan bahwa poskolonial merupakan wacana pertentangan yang disebabkan oleh adanya kolonialisme.

Pihak manakah yang mengalami pertentangan tersebut? Tentu saja penduduk Indonesia yang merupakan bangsa terjajah. Stigma sebagai warga terjajah dan berada pada posisi kelas dua membentuk sikap dan pola pikir pada penduduk Indonesia. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh kolonialisme Belanda selama 350 sangat besar pada bangsa ini.

Timbul pertanyaan mendasar, apakah sikap mental sebagai bangsa subordinat masih melekat erat pada diri kita hingga saat ini? Padahal kemerdekaan Indonesia sudah teraih sejak 76 tahun lalu. Rasanya iya. Banyak sekali sikap mental kita yang menunjukkan hal seperti itu. Lalu apa sikap mental sebagai bangsa subordinat seperti yang tecermin dalam fasilitas publik di sekolah?

Pertama, adalah hibriditas. Hibriditas merupakan interaksi bentuk budaya yang berbeda yang mengakibatkan adanya budaya baru yang harus diterima oleh bangsa terjajah. Situasi poskolonial menghadirkan identitas ganda pada bangsa koloni (Barry 2010). Bentuk hibriditas ini ada dan terintegrasi dalam pemikiran. Hal itu disetujui dan dilaksanakan oleh bangsa terjajah.

Pelabelan dengan bahasa asing pada fasilitas publik di sekolah merupakan contoh hibriditas ini. Pemikiran bahwa “yang bermutu adalah yang berbahasa asing”, “yang bagus adalah yang berbahasa Inggris”, “yang keren adalah yang berasa luar negeri” merupakan konsep hibriditas yang tertanam pada bangsa kita. Konsep yang percaya tidak percaya ada dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Bahkan oleh kaum terdidik yang terdapat pada lembaga sekolah.

Siswa merupakan sumber daya manusia yang dipersiapkan untuk melanjutkan pembangunan bangsa ini. Pelabelan dengan bahasa asing yang betebaran di lingkungan sekolah, mau tidak mau akan membentuk pola pikir mereka bahwa bahasa asing itu keren. Apa buktinya? Buktinya sekolahku saja menggunakannya. Pola pikir seperti ini akan tertanam dalam pemikiran mereka dan akan diwariskan pada generasi setelah mereka.

Yang menjadi pertanyaan adalah apa tujuan pelabelan dengan bahasa asing ini? Apakah untuk menunjukkan bahwa sekolah tersebut bermutu internasional? Tentu tidak semudah itu kan? Apakah untuk menginternasionalisasi sekolah tersebut? Tentu tidak juga kan?  Toh siswa yang bersekolah di sekolah noninternasional tidak ada satu pun yang berasal dari luar negeri. Lalu untuk apa?

Konsep poskolonialisme yang kedua adalah mimikri. Mimikri adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (Bhabha, 1994). Peniruan ini bersifat konkret. Contoh konkret dari mimikri ini adalah adanya tulisan berbahasa asing pada fasilitas publik di sekolah itu sendiri. Ada dan nyata.

Misalnya saja tulisan biology laboratorium  pada papan nama di laboratorium biologi. Apakah dapat diasumsikan  bahwa isi yang terdapat di laboratorium tersebut sama dengan laboratorium biologi di negara barat? Tentu saja tidak. Dilihat dari fasilitas dan sarana pendukung saja sudah jauh berbeda.

Dengan adanya contoh konkret dari konsep mimikri ini, apakah kita otomatis ingin disamakan dengan bangsa barat? Toh mau diapakan saja kita tidak mungkin berubah menjadi bangsa barat, bukan? Kita adalah bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, marilah kita kembali pada jati diri kita, sebagai bangsa Indonesia. Alangkah lebih baik jika kita menunjukkan rasa bangga kita sebagai bangsa Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam fasilitas publik. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Jika ingin menggunakan bahasa asing, mengapa kita tidak menggunakan bahasa daerah saja? Dengan menggunakan huruf Jawa, misalnya. Bukankah sudah jelas bahwa huruf Jawa tersebut merupakan karya asli bangsa ini. Tentu sikap nguri-uri budaya Jawi akan lebih bermakna bagi siswa di Jawa untuk mengenal dan melestarikan bahasa ibu mereka.

 

* Widya Ristanti adalah guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 5 Solo, mahasiswa program magister pada jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya