SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (11/5/2018). Esai ini karya Wahyu Dewanto, dosen Universitas Pancasila, Jakarta, yang tinggal di Australia. Alamat e-mail penulis adalah wd@ntde.com.au.<strong><br /></strong></p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO</strong>–Tahun politik telah dimulai. Politik dengan dominasi penggalangan dan pergerakan massa kian masif. Sejatinya, sejak reformasi bergulir pada 1998, Indonesia mengalami dinamika politik yang cukup berbeda dibanding zaman sebelumnya.</p><p>Politik penggalangan dan pergerakan massa tumbuh bak jamur di musim hujan. Pengerahan massa menjadi semacam gerakan yang sangat efektif untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi.</p><p>Gerakan massa menjadi bagian utama perlawanan politik yang sering berujung pada intimidasi dan kekerasan bahkan bisa memakan korban jiwa dan harta yang sangat besar. Ketika massa berkumpul, di situlah propaganda dijalankan. Psikologi massa dimainkan.</p><p>Idealnya masyarakat memiliki wawasan baik dan pikiran jernih, senantiasa waspada, menyadari, atau setidaknya berhati-hati ketika berada dalam pusaran propaganda dan permainan psikologi massa.</p><p>Di tengah derasnya arus informasi, apalagi pada tahun politik seperti sekarang ini, masyarakat sebaiknya memahami propaganda disiapkan dan dijalankan oleh kelompok tertentu, agar kita menyadari dan&nbsp; tidak mudah terjebak dalam hasutan propaganda apalagi yang berkedok agama atau sentimen ras.</p><p>Hal ini bisa menyesatkan, mengadu domba, dan akhirnya menghancurkan kita sendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang punya kecenderungan beraktivitas secara berkelompok. Setiap individu dapat mudah bersatu karena tujuan bersama yang dilandaskan pada ide, kepercayaan (<em>belief</em>), atau ideologi.</p><p>Untuk membentuk suatu kelompok pergerakan massa yang terpenting adalah menciptakan isu sebagai tujuan bersama (<em>common goal</em>). Biasanya dipilih isu-isu yang menyangkut kepentingan strategis rakyat, seperti isu agama, hak-hak dasar rakyat, isu kesejahteraan, isu keadilan, nasionalisme, dan lainnya yang mudah dikemas sebagai isu politik.</p><p>Isu-isu tersebut bukan dibuat oleh orang dari dalam kelompok massa itu, tetapi biasanya dibuat oleh orang di luar kelompok. Isu dilemparkan oleh seseorang yang mengerti teknik propaganda dan psikologi massa dan mereka punya pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu tersebut.</p><p>Kelompok massa biasanya didominasi mereka yang tingkat wawasan, pendidikan, dan daya intelektualnya sederhana. Mereka tidak bisa memahami atau mengerti masalah dan isu-isu yang di perjuangkan. Untuk bisa menarik massa, isu/gagasan yang dilontarkan biasanya dipermudah (<em>simplified</em>), menyesuaikan dengan level intelektual massa, supaya lebih mudah ditangkap dan disebarkan.</p><p><em>Simplification</em> yang berlebihan sering bias dan lepas dari esensi&nbsp; isu itu sendiri. Sering isu propaganda terkristal hanya dalam beberapa kata yang mudah ditangkap massa seperti perubahan (<em>change</em>), kebebasan (<em>freedom</em>), perdamaian (<em>peace</em>), kemakmuran (<em>prosperity</em>).</p><p>Jargon-jargon umum itu biasa kita lihat dalam plakat-plakat yang bisa membangkitkan/membakar semangat dan mengarah ke aksi revolusioner. Di negara miskin atau sedang berkembang, masyarakat mayoritas kelas menengah ke bawah dengan pendidikan rendah sangat <em>vulnerable</em> dan mudah menjadi objek politik.</p><p><strong>Penghasut</strong></p><p>Mereka sering menjadi target propaganda karena mudah dimanupulasi dan kecenderungan lebih fanatik sehingga menjadi aset utama bagi politikus penghasut (<em>demogogic politiciant)</em>. Mereka seperti domba yang selalu mengikuti kelompok tanpa berpikir tentang tujuan dan arah kelompok itu.</p><p>Mereka bersedia mengorbankan tujuan diri untuk kepentingan kelompok besar yang dia sendiri tidak memahami hakikat dan tujuan perjuangan sebenarnya. Individu dalam kelompok tidak lagi menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadi robot (a<em>utomaton</em>) yang bertindak atau berperilaku seperti mesin yang deprogram.</p><p>Mereka tanpa berpikir dan tanpa menggunakan analisis serta pemahaman pribadi. Perilaku yang keluar merupakan hasil adopsi sesaat <em>(blind faith)</em> tanpa proses kajian dan analisis yang dalam dan tidak mengikuti pikiran jernih dan nurani diri sendiri.</p><p>Propaganda politik sering dikemas sebagai &rdquo;pendidikan&rdquo; kepada rakyat, namun sesungguhnya propaganda dan pendidikan memiliki esensi yang berbeda. Propaganda memengaruhi orang tentang apa yang harus mereka pikirkan (<em>tells people what to think</em>).</p><p>Pendidikan mengajarkan orang bagaimana berpikir (<em>education teaches people how to think</em>). Propaganda dibuat secara sengaja untuk tujuan memanipulasi individu untuk mengadopsi ide atau perilaku tertentu untuk tujuan politik atau ekonomi yang lebih besar.</p><p>Isu propaganda sengaja dibuat tidak jelas/samar, bias, dan hanya diungkap satu sisi yang dikemas sebagai kebenaran (<em>absolute true</em>). Sifat propaganda bukan mencari hakikat kebenaran secara <em>scientific</em>, tetapi lebih menonjolkan persuasi untuk membangkitkan dan mengangkat hak-hak seseorang secara mutlak dan sepihak.</p><p>Propaganda menggunakan teknik pursuasif untuk menggerakkan emosi, memanipulasi individu untuk meyakinkan kepada mereka bahwa ide dan aksi yang dilakukan adalah merupakan pemikiran dan kemauan mereka sendiri.</p><p>Propaganda politik biasanya bersifat vertikal, dilakukan oleh politikus/pemimpin yang mempunyai kedudukan superior/master untuk memengaruhi atau memanipulasi rakyat bawah yang memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman rendah (<em>gullible</em>) sehingga mudah dimanipulasi dan dipengaruhi total (<em>brain wash</em>).</p><p>Propaganda vertikal dilakukan secara terstruktur di kantong-kantong massa seperti dalam kelompok religius, kelompok etnis, kelompok tingkat sosial tertentu, menggunakan semua media komunikasi seperti TV, radio, media cetak, media digital, plakat, dan baliho dengan teknik manipulasi yang tujuannya menyatukan individu-individu menjadi kelompok massa yang fanatik dan militan.</p><p>Pada era modern ini propaganda dianggap sebagai sesuatu yang negatif (<em>evil</em>) karena dalam sejarah propaganda lebih banyak digunakan untuk menyebarkan kebohongan. Sejarah propaganda adalah teknik komunikasi massa yang bisa saja berujung pada kebaikan, tergantung siapa dan bagaimana menggunakan teknik persuasi massa untuk tujuan mulia.</p><p>Saat ini sentimen agama digunakan oleh banyak pihak untuk pergerakan politik karena agama menjadi salah satu sentral akulturasi kekuatan budaya dan ekonomi. Agama adalah basis kekuatan massa yang sangat sensitif dan signifikan dari sisi jumlah di negri ini.</p><p>Dalam situasi sosial ekonomi yang rentan, di tengah tingkat intelektual masyarakat yang rendah, ketidakpastian ekonomi, beban hidup yang berat dan kemiskinan,&nbsp; secara teori psikologi masyarakat banyak bergantung pada kehidupan spiritual/religi.</p><p>Religiositas merupakan salah satu tempat untuk menenangkan diri, memberikan jawaban yang mudah dan <em>hypothetical</em> tentang masalah keduniawian dan realitas hidup. Agama seperti kunci yang bisa menyelesaikan semua masalah, menjawab semua misteri alam dan kehidupan.</p><p>Propaganda politik seolah-olah sesuatu yang dapat memberikan jalan keluar untuk semua masalah di dunia yang dianggap sangat meresahkan dan mengancam kehidupan. Ada beberapa keuntungan psikologis dan emosional yang didapat dari ikut berkelompok dalam gerakan massa.</p><p>Dengan berkelompok, individu yang terbatas kemampuan intelektualnya, <em>ignorant, envious</em> (iri) dapat terbebas dari kelemahan dan ketidakmampuan, dan mempunyai kekuatan tambahan yang besar. Dalam berkelompok, individu dengan keterbatasannya merasa menjadi pribadi yang lebih kuat dan dan berarti, punya <em>self esteem</em>, percayaa diri, punya energi tambahan dari kelompoknya.</p><p><strong>Sensasi Kekuatan</strong></p><p>Dengan bergabung dalam kelompok massa, individu merasakan sensasi kekuatan dan kemampuan untuk mengubah semuanya. Mengapa di negara berkembang politisasi agama dan etnik marak? Mereka yang tak percaya diri dan merasa tak punya ruang untuk berkembang, akan berlindung di balik agama dan kepercayaan untuk mengekspresikan diri.</p><p>Dalam gerbong agama mereka merasa aman secara sosial dan politik. Loyalitas dan kepatuhan agama dirasa sebagai bentuk aktualisasi diri yang paling aman dan mudah dilakukan supaya terlihat eksis. Justru ekspresi diri yang dangkal ini yang akan menjadi penghancur karena agama adalah alat politik yang paling menghancurkan.</p><p>Berpartisipasi dalam kelompok gerakan massa dapat menjadi sarana untuk menunjukkan loyalitas, kebersamaan,&nbsp; kepatuhan, kepedulian, keberanian (<em>heroic</em>), kepandaian/intelegensia (seolah-olah memahami betul tujuan gerakan massa).</p><p>Ini semua adalah bentuk aktualisasi diri yang ingin mereka tunjukkan kepada publik atau kerabat. Sifat Ini semua tidak bisa mereka tunjukkan dalam keseharian sebagai individu dengan berbagai keterbatasan. Kelompok massa mudah menerima isu-isu secara <em>superficial</em>.</p><p>Sering digunakan secara tidak sadar untuk menyalurkan rasa frustrasi, kekecewaan, dan kemarahan yang sering mengarah pada aksi revolusioner. Gerakan massa akan sangat berbahaya karena bisa mengubah emosi seseorang menjadi <em>militant, fanatic, antusiastic</em>, membara mengobarkan kebencian (<em>hatred</em>), intoleran, yang akhirnya siap mengorbankan hidup untuk tujuan kelompok.</p><p>Individu-individu semacam ini biasanya berasal dari <em>poor class society</em>, frustrasi dengan kehidupan, tak memiliki makna dan tujuan hidup yang jelas, merasa tak diterima dalam masyarakat, terabaikan (<em>rejected</em>), <em>lack of creativity</em>, orang yang cenderung menyalahkan kondisi social.</p><p>Mereka orang yang sangat bersemangat menuntut perubahan sosial yang dianggap bisa memperbaiki dan mengubah jalan hidup ke depan. Apakah cara pengerahan massa di jalan bisa ditinggalkan? Bisakah pencapaian aspirasi politik disalurkan dengan cara-cara yang lebih <em>cost effective, less danger</em>, tidak mengganggu kepentingan dan ketertiban umum?</p><p>Kanal demokrasi yang dibangun melalui dewan perwakilan rakyat seharusnya menjadi media yang bisa menyalurkan mekanisme demokrasi dengan lebih damai dan teratur. Tentu semua kembali kepada kualitas para politikus kita di lembaga tinggi negara di pusat maupun di daerah.</p><p>Apakah mereka memang putra putri terbaik bangsa yang mengerti dan <em>genuinely</em> mewakili kepentingan rakyat, atau mereka hanya individu-individu <em>ignorant</em> yang hanya bisa berteriak lantang, namun tak memiliki nurani yang kita harapkan dapat memperjuangkan perbaikan dan kedamaian bagi bangsa ini?</p><p>Politik penghasutan dan pengerahan massa tidak akan efektif jika sebagian besar masyarakat kita sadar pentingnya c<em>ritical thinking</em> untuk menyaring segala informasi dan hasutan yang beredar dalam masyarakat.</p><p>Dengan <em>critical thinking</em> dan <em>knowledge</em> yang memadai, hasutan dari luar tidak akan banyak pengaruhnya kepada pendirian dan keyakinan politik atau keyakinan religi mereka, dan tentunya kesadaran dan tanggung jawab untuk menjadi warga negara yang bermartabat untuk ikut menjaga ketentraman dan kedamaian bersama.</p>

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya