SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (8/11/2018). Esai ini karya Ardian Nur Rizki, penulis buku Pustaka Sepak Bola Surakarta dan Koordinator Divisi Riset Solo Societeit. Alamat e-mail penulis adalah ardian1923@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Perayaan ulang tahun ke-95 peresmian Persis Solo yang jatuh pada hari ini, Kamis 8 November 2018, berlangsung dengan ”bersahaja”. Tidak ada gegap gempita perayaan juara. Tanpa hura-hura perayaan promosi ke kasta tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia–yang tiap tahun setia menjadi bunga mimpi.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Prestasi Persis pada musim kompetisi terini memang hanya patut dihargai dengan rapor merah. Rencana dan renjana suporter yang telanjur bersiap menyambut babak delapan besar seketika sirna. Persis tidak lolos ke babak delapan besar Liga 2 Indonesia!

Seribu alasan dihimpun untuk memohon permakluman atas kegagalan. Mulai dari revitalisasi Stadion Manahan dan sukarnya izin penggunaan Stadion Sriwedari yang memaksa Persis pindah kandang ke Madiun.

Alasan nonteknis yakni intervensi the invisible hand yang menghendaki ketidaklolosan Persis. Entah siapa yang benar, namun jika sudi menganalisis dengan objektif, Persis memang sepantasnya gugur prematur dari percaturan kompetisi.

Dari segi permainan–terutama di putaran kedua—Persis acap kali memperagakan sepak bola yang monoton dan tidak berpola. Hasil minor acap kali dituai kala melawan tim selevel. Faktor ini pula yang membuat Persis terdepak karena kalah head to head.

Persis kini butuh injeksi gairah untuk mengangkat kembali muruah. Kejayaan tidak bisa direngkuh hanya dengan glorifikasi kisah masa silam. Persis harus berhenti mewarisi abu sejarah dan mulai berikhtiar menggelorakan api sejarah. Ada berjuta kisah heroik dan inspiratif dari hamparan panjang sejarah Persis yang laik diungkit sebagai modal untuk bangkit.

Sejarah Juang

Dua puluh dua tahun sebelum Indonesia merdeka, separuh dekade sebelum Sumpah Pemuda, Persis telah ada! Persis ibarat anak kandung gerakan kebangsaan. Di dalam nadinya tersemat pemasyhuran bakti perjuangan, di dalam darahnya memaktub genetika luhur perlawanan. 

”Persis” dan ”perjuangan” ibarat dua sisi mata uang yang muskil dipisahkan. Ini bukan predikat yang berlebihan karena sejarah Persis memang berkelindan erat dengan kejuangan. Perjuangan Persis mendongkrak muruah bangsa tentu bukan dengan mengokang senjata, melainkan dengan berjuang via sepak bola.

Persis turut serta membidani kelahiran induk organisasi sepak bola Indonesia Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Jauh sebelum PSSI berdiri, Persis telah berkali-kali mencetuskan inisiatif membentuk induk organisasi sepak bola yang berskala nasional (Bintang Mataram edisi 22 April 1930).

Lebih dari itu, Persis–bersama PSIM Yogyakarta—adalah martir yang menjaga martabat bangsa Indonesia di medan rumput hijau. Berkali-kali klub asal Belanda dan Tionghoa dipermalukan sepanjang 1930-1940-an.

Kunci kedigdayaan Persis adalah pelaksanaan liga internal yang sistematis dan kompetitif, apalagi setelah pembangunana Stadion Sriwedari. Pelaksanaan liga internal selalu melahirkan pemain-pemain lokal jempolan yang nantinya akan menjadi pilar utama tim nasional.

Refleksi

Pelbagai inovasi brilian dan kisah heroik masa silam semestinya bisa dijadikan preseden bagi Persis untuk menyongsong masa depan, misalnya dengan menggeliatkan kembali liga internal Persis yang kompetitif dan atraktif sebagaimana yang pernah diikhtiarkan Persis pada 1930-an.

Sebagai klub perserikatan yang masih eksis hingga sekarang, Persis mesti memegang filosofi ngeli nanging ora keli. Salah satu pengejawantahan dari falsafah tersebut adalah dengan mempertahankan corak khas klub perserikatan, yakni pembibitan pemain muda melalui kompetisi internal.

Merunut khitah pendiriannya, Persis memang bukan semata-mata klub sepak bola yang berkewajiban memberi tontotan dan penghiburan, melainkan juga tuntunan dan pelatihan. Dengan adanya kompetisi internal yang diurus dengan serius, tentu menjadi kawah candradimuka bagi penyemaian bakat-bakat pesepak bola se-Soloraya sekaligus sebagai bentuk penunaian tugas luhur: memberi tuntunan dan pelatihan (bukan sekadar tontonan dan penghiburan).

Dengan demikian, Persis juga dapat mengambil talenta-talenta muda dari klub internal tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Pemain dari luar tentu tetap perlu direkrut, tetapi hanya sebagai komplementer dari penggawa lokal ”putra daerah”.

Kearifan dan inovasi menawan pada masa silam yang dapat dilestarikan Persis bukan ihwal kompetisi internal saja. Dalam Madjalah Olahraga edisi Desember 1940 ada berita ”…pohon di sekitar Stadion Sriwedari telah penoeh berboeah orang… Oentoek meramaikan pertandingan poela sebagai penghormatan terhadap penonton di Stadion Sriwedari telah diperdengarkan gamelan Tjaro-Balen.”

Dari nukilan warta di atas dapat ditarik benang merah bahwa panitia pelaksana pertandingan dan pengurus Persis kala itu mafhum betul bahwa sepak bola merupakan hiburan yang mampu menyedot perhatian khalayak.

Misi Luhur Kebudayaan

Oleh karena itu, pertandingan sepak bola tidak disajikan sebagai pertunjukan olahraga semata, tetapi juga membawa misi luhur sebagai pelestari budaya Jawa yang adiluhung. Sangat disayangkan, dewasa ini sinergitas antara seni budaya dan sepak bola tidak lagi segendang-sepenarian.

Tentu akan sangat arif bila musim depan panitia pelaksana pertandingan Persis sudi melestarikan lagi ikhtiar luhur ini, apalagi kapasitas Stadion Manahan bakal berkurang pascarevitalisasi. Dengan demikian, agar pendapatan tidak turut berkurang, pengurus dan panitia pelaksana pertandingan bisa menaikkan harga tiket.

Penaikan harga tiket seyogianya diiringi sajian pertunjukkan seni dan budaya Jawa yang sarat kearifan dan nilai-nilai pendidikan. Pengurus Persis bisa bersinergi dengan, misalnya, otoritas kebudayaan dan pariwisata di Kota Solo untuk menyukseskan pembangunan pertandingan sepak bola sebagai objek wisata, sekaligus juga agen sosialisasi seni dan budaya.



Coba bayangkan betapa menyenangkan kalau sebelum menyaksikan pertandingan sepak bola, seorang bapak bisa menceritakan kepada buah hatinya mengenai filosofi gamelan atau tembang macapat sembari menikmati rancak dan indahnya pertunjukan gamelan. Sepak bola bisa menjadi pasak penyangga keluhuran slogan The Spirit of Java dan Solo kota budaya.

Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomics (2010) dengan sarkastis mencela pengurus klub sepak bola sebagai orang-orang dungu. Pengurus klub sepak bola acap kali malas melakukan perubahan dan pembaruan.

Setiap inovasi selalu datang dari luar klub sepak bola. Semoga penelitian Kuper dan Szymanski yang skeptis ini dapat ditepis oleh pengurus dan pemangku kepentingan Persis. Selamat ulang tahun, Persis! Songsonglah musim kompetisi depan dengan optimistis!

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya