SOLOPOS.COM - Pamikatsih (berkerudung) menaburkan bunga di makam Sapto Nugroho, suami yang juga pejuang difabel asal Solo di Astana Moren, Baturan, Colomadu, Karanganyar, Jumat (3/12/2021). Sapto yang meninggal dunia tahun 2019 dijuluki Bapak Difabel Indonesia karena kegigihannya memperjuangkan hak-hak kalangan difabel. Ziarah yang bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional 2021 itu turut dihadiri 20-an aktivis difabel se-Soloraya. (Solopos.com/Chrisna Chanis Cara)

Solopos.com, SOLO – Sekitar 20 anggota Sekretariat Bersama (Sekber) Difabel Soloraya berziarah ke makam Sapto Nugroho di Astana Moren, Baturan, Karanganyar, Jumat (3/12/2021). Sapto Nugroho adalah pejuang difabel asal Solo yang juga pendiri Yayasan Talenta.

Sapto terkenal dengan pemikiran “Ideologi Kenormalan” sebagai sarana memperjuangkan kesetaraan dengan kalangan nondifabel. Para peziarah berkumpul lebih dulu di rumah keluarga Sapto Nugroho di Fajar Indah, Colomadu, sebelum menabur bunga di Astana Moren.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Istri Sapto, Pamikatsih, dan kedua putra, Ravi Nugroho dan Ryan Nugroho turut mengikuti ziarah yang bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional 2021 itu. Pantauan Solopos.com, makam Sapto Nugroho tampak sederhana dibanding makam di sekelilingnya.

Baca Juga: Fasilitas Umum di Solo Dinilai Belum Ramah Difabel, Termasuk 2 Flyover

Ekspedisi Mudik 2024

Hanya ada susunan batu bata yang mengelilingi pusara. Sebagian nisan yang terbuat dari kayu pun sudah lapuk dimakan rayap. Sapto tutup usia pada 4 April 2019 karena mengalami gagal ginjal.

Meski sudah dua tahun berpulang, api perjuangan aktivis difabel itu masih membekas jelas di antara anggota Sekber. Pamikatsih masih konsisten menghidupi Sekolah Ideologi Kenormalan yang bersumber dari pemikiran “mendobrak” sang suami.

Ideologi Kenormalan memang berusaha menggugat paradigma kecacatan yang sudah kadung melekat di masyarakat. Di kehidupan sehari-hari, orang normal didefinisikan sebagai orang yang memiliki organ lengkap dan berfungsi.

Baca Juga: Mensos Paksa Tunarungu Bicara, Tokoh Difabel Solo Kritik Risma

Ketika seorang memiliki organ lengkap tetapi ada organ yang tidak berfungsi, orang akan memberi label sebagai seorang yang tidak normal atau cacat. Pemahaman keliru ini, menurut Sapto, lantaran tak ada interaksi sosial yang memadai antara difabel dengan masyarakat serta adanya konvensi sosial yang salah kaprah.

Koordinator Sekber Difabel Soloraya, Koko Prabu, mengatakan Sapto selama hidupnya sangat getol mendobrak stigma negatif tentang difabel. Koko menyebut Sapto adalah Bapak Difabel Indonesia karena mengedepankan istilah difabel ketimbang istilah lain yang berkonotasi buruk seperti cacat, handicap, ketunaan atau disable.

Selain itu Sapto juga membidani Perda Difabel di Kota Bengawan. “Sejak 1990-an almarhum berusaha keras mendobrak stigma-stigma negatif pada difabel. Hari ini, kami ingin mengenang sekaligus mewarisi perjuangan beliau,” ujar Koko Prabu saat ditemui di sela ziarah.

Baca Juga: Lukisan Karya Difabel Laku Rp357 Juta, Risma: Ada yang Bersejarah

Istri Sapto yang juga pemrakarsa Sekolah Ideologi Kenormalan, Pamikatsih, mengatakan pencetusan istilah difabel mampu menghapus stigma pada penyintas maupun keluarga kalangan difabel.

“Saya yakin kita semua setuju bahwa beliau telah mengangkat harkat martabat kita semua keluarga besar difabel Indonesia. Istilah ini dapat menyatukan gerak langkah perjuangan kita sampai hari ini,” ujar Pikat, sapaan akrabnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya