SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Tak ada yang lupa dengan nama Ratna Sarumpaet. Seniman peran itu dianggap sebagai pembuat hoaks saat mengaku dikeroyok sejumlah orang sehingga mukanya lebam-lebam pada 2018. Saat itu, dia salah satu anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi dalam Pemilu 2019. Publik sempat menduga pengeroyokan itu ada kaitannya dengan kegiatan politiknya.

Akhirnya terungkap Ratna tak dikeroyok. Mukanya yang kelihatan bengkak dan lebam itu disebabkan operasi plastik. Dia melakukan itu di Rumah Sakit Bina Estetika Menteng, Jakarta Pusat, pada 21 September 2018. Ratna akhirnya mengaku berbohong. Banyak tokoh yang awalnya ngegas soal pengeroyokan akhirnya kecele. “Ternyata saya adalah pencipta hoaks terbaik, kebohongan saya telah menghebohkan negeri,” demikian pengakuan dosa Ratna saat itu. Ratna divonis dua tahun penjara karena menyebarkan informasi bohong yang bikin onar.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Kasus Ratna sering dijadikan contoh soal hoaks paling fenomenal di negeri ini. Kini, kita memiliki contoh lain yang lebih fenomenal daripada Ratna Sarumpaet, yaitu hoaks Irjen Pol. Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri. Kasus ini menjadi perhatian rakyat Indonesia. Maklum, Sambo adalah jenderal bintang dua yang lagi moncer kariernya.

Saya tak perlu menjelaskan kasusnya karena sudah pada tahu, hanya menjelaskan singkat Sambo mengaku ada tembak-menembak dua pengawal yang diawali pelecehan seksual terhadap istrinya pada 8 Juli 2022 di rumah dinas. Ternyata tak ada tembak-menembak. Yang terjadi adalah eksekusi terhadap Brigadir Pol. Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Yang memerintahkan eksekusi adalah Sambo. Penyidikan kasus ini masih berjalan. Motifnya belum diungkap.

Siapa yang jadi korban hoaks? Presiden, Kapolri, Kompolnas, dan tentu saja masyarakat Indonesia.

Ada persamaan dan perbedaan dua kasus itu. Persamaannya adanya hoaks. Hoaks adalah informasi bohong, palsu, atau tidak benar. Hoaks terdiri atas disinformasi dan misinformasi. Untuk memahami perbedaan keduanya, begini ilustrasinya.

Ratna dan Sambo sama-sama memproduksi hoaks jenis disinformasi. Ratna dan Sambo tahu yang mereka sampaikan itu salah, tetapi tetap dibagikan kepada orang lain.

Ketika Ratna dan Sambo membagikan disinformasi, orang di lingkaran keduanya tidak  tahu bahwa informasi itu palsu atau bohong. Mereka percaya lalu menyebarkan hoaks yang disampaikan Ratna atau Sambo. Mereka dianggap menyebarkan misinformasi.

Perbedaan misinformasi dan disinformasi ada pada motif. Penyebar disinformasi memiliki motif jahat. Sedangkan yang membagikan misinformasi bisa jadi motifnya karena peduli atau ingin berbagi informasi.

Persamaan lain kasus Ratna dan Sambo adalah menjadi perhatian warganet. Mereka curiga kasus itu tidak sesuai apa yang disampaikan ke publik. Selain warganet yang pintar dan kritis, tentu saja ada media massa mengawal kasus itu dengan pemberitaan masif.

Sedangkan perbedaan kasus Ratna dan Sambo antara lain soal motif. Yang pertama,  Ratna berbohong karena tak mau diketahui melakukan operasi plastik. Akhirnya dibikin narasi palsu. Tapi dampaknya politis karena Ratna adalah anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi. Orang lalu menuduh lawan politik Prabowo-Sandi di belakang pengeroyokan itu. Yang jadi korban adalah kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf serta rakyat Indonesia.

Sedangkan kasus Sambo ada unsur kriminalitasnya. Menyangkut nyawa. Brigadir Yosua ditembak oleh rekannya, Bharada Eliezer, atas perintah Ferdy Sambo.

Kemudian skalanya lebih luas karena menyangkut pejabat Polri. Kasus itu berdampak penonaktifan sejumlah jenderal dan polisi karena membantu Sambo. Sambo melibatkan anak buahnya dalam membikin skenario penembakan di rumahnya. Sambo menggunakan kekuasaannya untuk memaksa anak buah dan sejumlah pihak mengikuti narasi  yang dia bikin bahwa yang salah adalah Brigadir Yosua. Sambo mencitrakan diri sebagai korban, terlihat saat dia menangis saat berpelukan dengan Kapolda Metro Jawa Irjen Pol. Fadil Imran.

Anak buahnya tidak ada  yang menolaknya. Siapa bisa menolak perintah jenderal? Yang berperan adalah kekuasaan. Istilah yang dipakai Menko Polhukam Mahfud Md. adalah psiko-hierarki dan psiko-politis sehingga penyidikan kasus Sambo tidak semudah kriminalitas lain.

Kekuasan berupaya mengonstruksi kebenaran, menciptakan kebohongan, kemudian memaksa orang untuk mengakuinya. Ketika Sambo menggerakkan anak buahnya di Divisi Propam hingga ke Bareskrim dan Polres Jakarta Selatan, yang berlaku logika kekuasaan. Setidaknya ada 27 polisi terkena getahnya baik skalanya pelanggaran etik maupun menghalang-halangi penyidikan atau obstruction of justice. Mesin kekuasaan Sambo yang katanya punya pengaruh besar (bahkan disebut Kaisar Sambo) bekerja. Ada yang mengubah barang bukti hingga menyusun narasi palsu untuk disampaikan kepada publik.

Inilah yang disebut sebagai pseudosophy. Yasraf Amir Piliang menyebut pseudosophy sebagai wacana menggunakan perangkat kekuasaan baik personal maupun institusi untuk menciptakan realitas palsu.

Jika yang melakukan adalah penguasa, maka hoaks atau kepalsuan yang dibikin itu akan semakin canggih. Aparatur dan kekuasaan dijadikan mesin kepalsuan. Mesin kepalsuan bekerja demi kepentingan Sambo, melindungi kekuasaannya, mengemas citra Sambo sebagai korban, dan menyerang pihak lain (Brigadir Yosua).

Sebenarnya tak hanya dalam kasus Sambo. Siapa pun yang memiliki kuasa berpotensi melakukan itu. Menebar hoaks demi melanggengkan kekuasaan. Memproduksi narasi palsu, mencitrakan diri sebagai orang baik padahal sebaliknya. Kemudian lawan politik diserang dengan label negatif.

Piliang mengatakan di sinilah mesin kepalsuan bekerja, melakukan kekerasan simbolik (symbolic violence) dengan mendefinisikan realitas sesuai dengan selera dan kepentingannya. Yang berbahaya adalah jika realitas semu itu diterima oleh masyarakat  yang menganggapnya sebagai realitas sebenarnya. Antara fakta dan hoaks sulit dibedakan. Hoaks dianggap fakta, fakta dianggap hoaks.

***

Dari kasus Ratna dan Sambo, siapa yang berperan mengungkap kepalsuan itu? Warganet. Kita patut memberi apresiasi warganet yang gigih mengawal kasus itu. Dengan kreasinya, warganet yang selalu curiga (skeptis) bisa menemukan sesuatu yang aneh atau janggal.

Dalam kasus pertama, ada yang curiga bengkak di wajah Ratna itu seperti bekas operasi, bukan dipukuli. Salah satu yang curiga adalah Tompi, penyanyi yang juga dokter. Akhirnya terungkaplah kepalsuan itu. Ratna Sarumpaet jadi bulan-bulanan warganet.

Dalam kasus Sambo, selain keluarga mendiang Brigadir Yosua yang ngotot penyelidikan kasus penembakan, warganet curiga narasi yang dikembangkan polisi. Soal keanehan seorang prajurit berani melecehkan istri komandan, penembakan yang tak diketahui oleh tetangga, lamanya rilis kasus oleh polisi, dan lain-lain.

Riuh rendah di medsos memaksa Polri untuk bersikap transparan. Apresiasi buat warganet yang skeptis dan kritis dalam kasus Sambo. Warganet menjadi kelompok penekan yang efektif. Tetap kawal terus kasus ini sehingga terang-benderang.



Artikel ini ditulis Syifaul Arifin, wartawan Solopos, telah dimuat di Harian Solopos, 31 Agustus 2022.  

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya