SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (21/8/2018). Esai ini karya Dwi Supriyadi, karyawan swasta dan penulis. Alamat e-mail penulis adalah soeprei@gmail.com. </p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO –</strong> Sejak kecil, setiap bulan Haji (Zulhijah), kita mendengar kisah berulang tentang Ibrahim dan Ismail. Mungkin puluhan, ratusan, atau ribuan kali. Ada banyak kisah Ibrahim yang bisa disampaikan saat khotbah Jumat atau Iduladha. Kita bisa menyampaikan mengapa Ibrahim menjadi nabi, selain Muhammad, yang namanya disebut dalam salat.</p><p>Namanya juga sering disebut dalam Alquran (69 kali dalam 24 surat), bahkan digunakan sebagai judul sebuah surat. Mengapa ibadah haji, rukun Islam yang kelima, berkaitan pula dengan namanya? Ia dikenal sebagai orang yang hanif, orang lurus yang cenderung pada jalan yang benar.</p><p>Ia juga dikenal sebagai <em>al-musthafa</em>, orang yang disucikan dan terpilih. Sedangkan penyembelihan anaknya, Ismail, sebagai pelengkap saja, bukan sebagai inti cerita. Ibrahim istimewa bukan hanya terkait penyembelihan Ismail. M. Dawam Raharjo dalam <em>Ensiklopedi Alqur&rsquo;an</em> (1996) menyebutkan setidaknya ada tiga hal dalam diri Ibrahim yang membuat dia istimewa.</p><p><em>Pertama</em>, ia memperoleh pengertian tentang hakikat Tuhan melalui proses perjuangan berpikir sejak muda dengan cara observasi dan penarikan kesimpulan dari pengamatan tentang gejala alam dan kehidupan yang dia lihat.</p><p>Hal inilah yang&nbsp; membuat Ibrahim mampu memberikan argumen-argumen yang kemudian diungkapkan oleh kitab-kitab sesudahnya. <em>Kedua</em>, Ibrahim menyebarkan dan memperjuangkan keyakinan itu kepada berbagai bangsa dalam pengembaraan di wilayah yang sangat luas.</p><p><em>Ketiga</em>, ia adalah orang yang teruji dengan berbagai perintah dan larangan</p><p>Allah. Hal inilah yang menjadikan dia layak sebagai pemimpin umat manusia, bapak monoteisme murni yang menjadi cikal bakal tiga agama besar di dunia: Yahudi, Kristen, dan Islam.</p><p>Amir Hamzah, yang dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru, memberikan gambaran Ibrahim lewat sajak: <em>Bersemayam sempana di jembala gembala/ Duriat jelita bapakku Ibrahim/ Keturunan intan dua cahaya/ Pencaran bunda berlainan putra// Kini kami bertikai pangkai/ Di antara dua, mana mutiara/ Jauhari ahli lalai menilai/ Lengah langsung melewad abad// Padaku semua tiada berguna/ Hanya satu kutunggu hasrat/ Merasa dikau dekat rapat/ Serupa Musa di Puncak Tursina.</em></p><p>Sajak berjudul <em>Hanya Satu</em> ini mendapat tanggapan serius dari Sutan Takdir Alisyahbana dalam buku <em>Puisi Baru.</em> Puisi itu mengisahkan rahmat Tuhan kepada Nabi Ibrahim serta dua putranya, Ishaq dan Ismail. Keturunan Ishaq memberikan kepada dunia agama Nasrani, keturunan Ismail agama Islam.</p><p>Sekarang kedua penganut agama itu berselisih, masing-masing mengatakan agama mereka yang paling benar. Bagi penyair, perselisihan itu tiada berguna. Yang diinginkan hanyalah merasa bahagia dekat dengan Tuhan, seperti Nabi Musa di puncak Gunung Tursina.</p><p><strong>Esensi Cinta</strong></p><p>Kisah Ibrahim membawa kita pada esensi kecintaan mutlak manusia dan Tuhannya. Ibrahim menempuh perjalanan ribuan kilometer, mempertanyakan paradoks sejarah diri dan alam semesta sampai batas tak tentu.</p><p>Hingga pada suatu masa menemukan hakikat dari kebenaran sejati. Suara pekikan yang semakin lemah dan rendah. Ia tersungkur, bersujud, mencapai ekstase terdalam hingga batasnya. Melekatkan diri kemudian hilang dalam semesta takbir.</p><p>Takbir tak semata-mata penanda dalam setiap perayaan hari raya. Takbir mengandung makna membesarkan dan menyatakan keagungan (<em>kabbara-yukabbiru-takbiiran</em>). Takbir seharusnya terucap setelah seseorang menemukan kebesaran dan keagungan-Nya. Bukan kebesaran dirinya.</p><p>Seseorang yang bertakbir namun masih membawa kebesaran dirinya tidak akan bisa bertakbir, namun justru menjadi <em>al-kabir</em> kemudian <em>takabbur </em>(sombong). Takbir lisan seharusnya mengandung <em>tasghir</em> (pengecilan) terhadap diri sendiri. Diri harus melebur dalam takbir hingga menjadi kecil kemudian lenyap dan hanya tersisa:<em> Allahu akbar</em>.</p><p>Suara gemuruh takbir sepanjang perayaan hari raya Iduladha tidak seharusnya menghilangkan nilai <em>tasghir</em> (pengecilan) terhadap diri sendiri. Jika takbir terus dilantunkan namun masing-masing masih saja bertahan pada&nbsp; egosentrisme dan egoisme personal, nekat mengangkat kebenaran subjektif, kemudian arogansi memaksakan kebenaran, betapa lalainya takbir yang keluar dari lisan.</p><p>Takbir sekadar menjadi formalitas dan rutinitas. Bahkan takbir menjadi legitimatasi untuk merusak, menghancurkan, dan membunuh. Takbir kehilangan roh untuk menghilangkan takabur. Kita menduga Ibrahim tidak sekadar mengucap takbir.</p><p>Ia mengalami takbir sampai puncak ekstase memahami Sang Akbar atau tauhid, kemudian ia akan seperti Musa yang terempas di Gunung Tursina. Ia berada di puncak ketakjuban kemudian pingsan. Ketakjuban tanpa histeria, menyerahkan ibadah, hidup, dan mati hanya untuk Sang Akbar. Penyembelihan hewan kurban hanya salah satu cara yang dihadirkan Tuhan kepada manusia untuk menemukan Sang Akbar.</p><p><strong>Esensi Kurban</strong></p><p>Kita akan sulit menemukan motif pengorbanan yang lebih terang selain dalam kisah Ibrahim. Ia diperintah melepaskan apa yang paling dia cintai, anaknya: Ismail. Tentu kita akan melihat pengamalaman yang berbeda saat Iduladha.</p><p>Orang yang berkurban dan menyembelih justru bersuka cita. Tak ada lagi rasa gundah, bimbang, takut, dan pasrah seperti yang dialami Ibrahim. Ia berada dalam situasi absurd, dipertanyakan istri dan anaknya, dianggap gila oleh masyarakat, tak masuk akal karena harus bertindak tak manusiawi. Mengorbankan anak demi menjalankan perintah Tuhan.</p><p>Kala itu Ibrahim sebagai manusia sekaligus bapak mungkin merasa marah, sedih, kesakitan, dan merasa ditinggalkan. Ia harus menyembelih anak yang tak berdosa. Ia menyingkirkan rasa sebagai manusia dan menjadi Ibrahim sebagai nabi dan rasul yang sedang diuji untuk menjalankan perintah Tuhan.</p><p>Kini esensi berkurban tak akan sebanding dengan perih dan pedihnya Ibrahim. Orang cukup berkurban dengan sesuatu yang mungkin tidak ia cintai, bahkan tak ada ikatan emosial. Ia cukup pergi ke pasar, menemui pedagang, dan membeli hewan yang bahkan bisa diwakilkan kepada pengurus masjid dengan menitipkan sekian lembar uang.</p><p>Ia tidak perlu merawat dan memelihara sendiri hewan yang akan dikurbankan. Saat penyembelihan pun ia cukup menyaksikan dan menunggu pembagian daging di rumah, kemudian menikmati olahan daging tanpa mendapatkan esensi dari kurban yang baru saja ia lakukan.</p><p>Sudah semestinya saat Iduladha kita melakukan usaha lebih untuk bisa merasakan puncak ekstase Ibrahim saat menyembelih anaknya dan ekstase Musa saat tersungkur di Gunung Tursina, kemudian berjuang terus-menerus untuk menjadi orang yang <em>hanif</em> dan <em>musthofa</em>.</p><p>Ketakjuban demi ketakjuban hanya akan berdatangan saat seorang hamba berkurban dengan diliputi penghayatan, evaluasi, instrospeksi, dan penyucian diri, kemudian kita bisa diberi keistimewaan berdoa untuk masa depan layaknya Ibrahim.</p><p>Ibrahim memohon agar diberikan keturunan yang berserah diri kepada Tuhan dan lembah tak bertanaman dan terpencil (tempat Ismail dan istrinya ditinggakan) menjadi ramai dan menghasilkan buah-buahan. Kita pun tahu pada kemudian hari dua doa itu telah terkabul. Bagaimana dengan doa-doa kita?</p>

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya