SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JOGJA—Jika dulu Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi satu-satunya sekolah yang bisa menampung anak berkebutuhan khusus (ABK), kini tidak lagi. Mereka bisa tetap merdeka bersekolah di sekolah umum dengan sistem pendidikan inklusi atau yang kini populer dengan sekolah inklusi.

Sekolah inklusi sendiri merupakan sekolah pencampuran anak-anak umum dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Thomas Riyadi, guru SD Negeri Tamansari I, yang merupakan sekolah inklusi di Jogja mengatakan pemahaman ABK adalah anak-anak yang memiliki keterbatasan ataupun kekurangan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun, imbuh Thomas, yang termasuk ABK tak hanya anak-anak yang memiliki keterbatasan intelejensia saja tapi juga yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di atas rata-rata.

“Yang namanya ABK itu, kan, sama dengan anak-anak lainnya. Hanya saja mereka memiliki ciri khusus. Dari proses pembelajarannya pun juga sama dengan anak-anak normal lainnya,” ujar pekan lalu kepada Harian Jogja.

Kepala Sekolah SD Negeri Tamansari I, Yahya, mengatakan munculnya sekolah inklusi menghapus paradigma lama tentang anak berkebutuhan khusus. Sehingga sekolah ini pun dipandang sebagai solusi terbaik bagi orang tua yang memiliki ABK. “Kalau dulu orang menyebut atau menganggap anak berkebutuhan khusus itu disebut anak cacat. Sekarang sudah tidak lagi, karena pada dasarnya belum tentu anak ABK itu demikian,” ujar Yahya.

Bahkan, lanjut Yahya, tidak sedikit orangtua yang malu memiliki anak berkebutuhan khusus dan enggan untuk menyekolahkannya di sekolah umum. Sekolah inklusi tidak hanya menjadi solusi bagi orangtua, tapi juga dapat membantu anak-anak berkebutuhan khusus untuk bisa setara dengan anak normal lainnya.

Menurut Dian Muldiati, orangtua siswa ABK Adinda Cahya Putri Kusuma Melati di  SD N Tamansari I sekolah inklusi sangat efektif bagi anaknya. Selama bersekolah di sekolah inklusi sejak masih kelas satu, diakuinya Adinda terus mengalami perkembangan yang baik.

“Kemajuannya dia [Dinda] tidak minder lagi, selain itu walaupun Dinda terlambat mengikuti pelajaran tapi dia selalu berusaha untuk bisa menyesuaikan pelajaran,” ungkap Dian.

Di DIY sekolah inklusi baru marak setelah munculnya SD Tumbuh di Jetis, Jogja. Kepala Sekolah SD Tumbuh 2, Admila Rosada, mengatakan penerapan metode pengajaran inklusi saat ini mengacu pada Permendiknas No.70/2009 tentang Pendidikan Inklusi Bagi Peserta didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi dan atau Bakat Istimewa.

Dalam Permendiknas ini anak dengan kebutuhan khusus adalah meliputi anak dengan daya penglihatan yang lemah (low vision), lambat belajar, autis, tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita ringan, dan beberapa kelainan lainnya baik mental, emosi, maupun sosial.

Sedangkan yang dikembangkan di SD Tumbuh, pembelajaran yang diterapkan sudah terprogram sendiri. “Konkritnya kami membatasi. Kuota kelas, per kelasnya ada 22 anak dengan dua ABK di dalamnya. Dan itu gabung tidak disendirikan,” ujar Admila.  Hal yang sama juga di terapkan di SD Tamansari I.

Sedangkan untuk proses belajar, Yahya mengatakan, di SD Tamansari I metode pembelajaran yang diberikan kepada ABK berbeda dengan siswa lainnya. “Dalam proses belajar mengajar siswa ABK diberikan soal sesuai dengan kemampuannya,” ujarnya. Guru di kelas tentunya tidak akan memberikan soal yang sama dengan teman-teman sekelasnya.

Guru Pendamping

Setiap sekolah inklusi yang memiliki anak-anak dengan kebutuhan khusus akan selalu didampingi oleh guru pendamping khusus. Menurut Admila hal ini juga sudah sesuai dengan peraturan pemerintah dan Peraturan Walikota (Perwal) No. 47/2008 tentang Guru Pendamping Khusus Anak Berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah inklusi.

Guru ABK di sekolah negeri dan swasta fungsinya secara umum, tidaklah jauh berbeda. Namun, secara peran menurut Mila sedikit berbeda. “Sejak ada Perwal dan Permen, Pemprov DIY memberi dukungan untuk sekolah-sekolah inklusi yang belum memiliki guru pendamping khusus dengan dikirimi guru SLB yang datang setiap dua kali seminggu,” terang Mila.

Di SDN Tamansari I sendiri disampaikan Yahya juga hanya ada satu guru ABK. Guru ini datang setiap dua kali dalam satu minggu. “Guru ini sebenarnya tidak kami posisikan sebagai tenaga pengajar. Tapi tenaga pengarah bagi guru untuk memberikan bimbingan terhadap anak ABK. Perannya mendampingi guru-guru kelas dalam hal memberi ketepatan pembelajaran terhadap siswa ABK,” paparnya.

Kehadiran guru pendamping khusus yang sangat terbatas, dirasakan sebagian guru kurang efektif. “Dari hasil sharing kami bertemu dengan guru-guru negeri, tidak efektif juga guru pendamping hanya hadir dua kali seminggu,” imbuh Mila.

Keluhan itu salah satunya muncul dari Forum Penyelenggara Pendidikan Inklusi (FPPI). Mila mengaku dari forum tersebut banyak keluhan yang disampaikan sejumlah guru tentang penyelenggaraan inklusi.

Ditambahkan Mila, keluhan tersebut meliputi pendanaan hingga penanganan tepat pada anak-anak ABK. Kesulitan lainnya yang ditemui sekolah inklusi, adalah fasilitas tes yang masih terbatas dan tidak murah.

2013 Menyeluruh

Permendiknas No.70/2009 mewajibkan setiap kecamatan memiliki satu sekolah dengan setiap jenjang pendidikan untuk sekolah inklusi. Namun, mulai 2013 setiap sekolah ditargetkan sudah siap menerima ABK.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa dan Pendidikan Dasar Dinas (PLB dan Dikdas) Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY Sri Widayati menilai perkembangan sekolah ini membaik. ”Mulai 2012 atau 2013, sekolah-sekolah tanpa terkecuali berkewajiban menerima siswa ABK,” terang dia saat ditemui Harian Jogja di ruang kerjanya, Jumat (13/1).

Percampuran antara ABK dengan anak normal didalam kelas yang sama disebutnya mampu mengembangkan potensi ABK secara maksimal. Pasalnya, secara psikis persamaan kesempatan ini memacu siswa untuk maju. Perhatian dan dukungan dari teman-teman sebaya juga mampu meningkatkan kepercayaan diri siswa jika ke depan ia dapat menjadi manusia yang mandiri.

Untuk mempersiapkan sekolah-sekolah umum menjadi sekolah inklusi, Sri menyampaikan tim penyelenggara dari tingkat provinsi, kabupaten, kota dan dibantu LSM terus melakukan sosialisasi dan pelatihan. Melalui program ini diharapkan, setiap guru memiliki kompetensi membantu mengembangkan potensi ABK.



Bila sekolah masih kesulitan, Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB siap membantu dan mendampingi sekolah-sekolah inklusi. Menurutnya langkah ini sama seperti yang diterapkan pada sekolah inklusi selama ini. Hanya, ia mengakui jumlah guru SLB yang terbatas mengakibatkan GPK hanya dapat mengajar seminggu dua kali di sekolah inklusi.

Agar semakin maksimal, pemerintah juga berupaya melakukan penambahan fasilitas dan akses untuk ABK. Sri mengakui untuk hal ini pemerintah masih memerlukan waktu. ”Misal untuk tuna daksa, membuat infrastruktur jalan yang bisa dilalui kursi roda. Ini butuh biaya besar, sehingga akan dilakukan secara bertahap,” pungkasnya.(Harian Jogja/Holy Kartika N.S & Mediani Dyah Natalia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya