SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Konsultan komunikasi dan motivator Aqua Dwipayana datang ke Griya Solopos, awal Oktober 2020 lalu, tanpa diundang. Dia mengajukan diri berbicara dengan karyawan Solopos untuk memotivasi. Apa tumon, motivator malah mengajukan diri tanpa diminta. Tanpa bayaran lagi.

Biasanya motivator diundang untuk memberikan masukan, inspirasi, semangat kepada karyawan. Tentu dengan bayaran yang tidak sedikit. Sebenarnya Aqua datang ke Solo bukan khusus untuk ke Solopos. Ada acara di kota ini pada Jumat pagi.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Lalu, di sela-sela acara, dia mampir untuk bersua dengan karyawan Solopos. Dia memang dekat dengan wartawan karena pernah jadi wartawan Bisnis Indonesia, kakak tertua Solopos. Dia juga akrab dengan Mas Arif Budisusilo, Presiden Direktur PT Aksara Solopos.

Dalam pertemuan pada sore itu, Aqua bercerita ngalor-ngidul tentang pengalamannya. Bertemu pejabat A, membantu tokoh B. Awalnya saya sempat menduga ini orang butuh didengar dan diakui eksistensinya. Setelah sekian menit dia berbicara, perkiraan saya salah.

Ternyata, dia tidak hanya sering bertemu pejabat tetapi juga orang biasa, teman-teman lamanya, termasuk wartawan. Dia melakukan itu untuk sekadar bersilaturahmi. Bertemu dengan banyak orang, teman lama, menanyakan kabar, dan menjalin relasi yang lebih intensif.

Motifnya adalah silaturahmi. Dia lakukan tanpa pamrih. Termasuk ketika berbincang dengan karyawan Solopos. Aqua melakukan itu untuk merawat persahabatan dengan teman lama dan menambah teman baru.

Hal inilah yang menurut saya luar biasa, padahal sebagian kalangan memilih sebaliknya, merusak persahabatan lama, enggan mencari teman baru terutama yang berbeda pandangan dan keyakinan.

Biasanya, hal itu disebabkan oleh perbedaan pilihan politik, agama, ras, ekonomi, dan sebagainya. Pada dua kali pemilihan presiden di Indonesia, terjadi segregasi dan polarisasi politik dahsyat yang keraknya masih ada hingga kini. Masalah ekonomi dan ras juga bisa jadi pemicu konflik.

Dalam situasi seperti itu, sahabat bisa jadi musuh. Kekerabatan bisa renggang. Kalau di media sosial (medsos), pertemanan terputus. Mereka yang melakukan itu tak melihat betapa silaturahmi sangat bermanfaat, sebagaimana dirasakan Aqua. Bisa berupa materi dan nonmateri. Betapa nikmatnya punya banyak teman. Silaturahmi terjaga, bahkan makin erat.

***

Saya pernah pasang status di Facebook yang isinya pertanyaan apakah teman-teman saya di media sosial bikinan Mark Zuckerberg ini pernah memutus pertemanan gara-gara politik. Kalau di media sosial, orang bisa menyetop pertemanan dengan unfriend, unfollow, dan block.

Konteksnya adalah situasi politik yang memanas gara-gara pemilihan presiden. Ada yang menjawab pernah memutus pertemanan di media sosial. Gara-gara sebel dengan status teman yang isinya politik melulu, tulisan partisan yang dianggap njelehi, orang memilih memutus pertemanan di media sosial.

Ada juga yang melakukan dengan halus dengan cara menyembunyikan status dan postingan teman agar tidak muncul di linimasa (timeline). Aman. Pertemanan tetap terjaga, tapi tidak perlu membaca komentar-komentar yang nyinyir soal politik, demikian alasannya.

Itu yang sering terjadi di media sosial. Politik ternyata berpengaruh terhadap pertemanan. Betapa banyak orang saling sindir gara-gara pilihan politik. Itu sih mendingan. Kadang kala di media sosial, orang saling hujat.

Jadi, tidak saja menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, media sosial juga bisa merusak pertemanan, bahkan persaudaraan. Bukan menuai bermanfaat, malah mendapat mudarat.

Algoritme di media sosial makin membuat segregasi politik menjadi-jadi. Orang hanya bergaul dengan yang seide dan  sepemahaman. Jika saya pendukung partai A, media sosial akan mengarahkan saya untuk bergaul dan menjalin pertemanan dengan pendukung partai A.

Media sosial tak merekomendasikan saya berteman dengan pendukung partai B. Jadi, media sosial makin menjadi ruang eksklusif. Rentan konflik dan tak mendukung relasi atas dasar keberagaman.

Perseteruan di media sosial kadang berlanjut di dunia nyata. Pernah saya baca berita orang berantem diawali perang di dunia maya. Mereka itu angel dikandhani. Mbok yang santai dalam bermedia sosial. Jangan dibawa ke hati.

***

Bung Karno dan Bung Hatta adalah proklamator kemerdekaan Indonesia, sebutan untuk mereka Dwitunggal. Dua yang menyatu. Keduanya tergolong dua dari sekian banyak perancang fondasi negeri ini. Keduanya tak selalu seiring sejalan.

Banyak pertentangan di antara keduanya soal politik dan ekonomi. Sampai-sampai muncul istilah Dwitanggal. Gara-gara perbedaan haluan, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember 1956.

Setelah tak menjadi wakil presiden, Bung Hatta lebih banyak mengisi seminar maupun mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, dan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

Bung Hatta masih keras mengkritik pemerintah Soekarno. Perseteruan politik keduanya berlanjut.  Gemala Rabi’ah Hatta dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya, menyebut ayahnya sampai dilarang mengajar di tiga universitas itu karena tekanan politik pemerintah.

Bung Hatta juga dilarang mengisi seminar. Akses ekonomi dan akademis disetop. Tak hanya itu, ketika tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita dimuat di Majalah Pandji Masyarakat, pemimpin media itu, Buya Hamka, dipenjara pada 27 Januari 1964-26 Mei 1966 tanpa pengadilan. Majalah itu juga diberedel. Orang yang menjualnya ditangkap.



Pada masa itu, Dwitunggal benar-benar menjadi Dwitanggal. Politik yang memisahkan, namun tak ada dendam pribadi di antara keduanya. Gemala bercerita saat Bung Hatta sakit saraf pada pertengahan 1963, Bung Karno menjenguk di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Pertemuan di Paviliun Cendrawasih itu awalnya berlangsung canggung. Maklum, Bung Hatta dikenal kritis terhadap Bung Karno.  Akhirnya pertemuan di RSCM itu berlangsung akrab, penuh tawa. Pemerintah kemudian mengirim Hatta untuk berobat ke Swedia.

Pertemuan ikonik keduanya terjadi saat Bung Karno sudah lengser. Orde Lama digantikan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Soekarno menjadi tahanan rumah.  Pada 19 Juni 1970, Hatta mendapatkan kabar Bung Karno dalam kondisi kritis di RS Pusat Angkatan Darat (PAD).

Setelah mendapatkan izin dari pemerintah, Hatta menjenguk pada sore hari, didampingi sekretarisnya Wangsa Widjaja, kedua putrinya, Meutia dan Gemala. Awalnya, Bung Karno dalam keadaan tidak sadar, akhirnya  membuka mata dan mengetahui kedatangan sahabat lamanya.

Gemala menyebut keduanya lebih banyak berbicara dengan hati, bukan dengan kata-kata mengingat kondisi kritis Bung Karno. Dengan wajah sedih, Bung Hatta mengusap-usap tangan Bung Karno dan memijit kakinya.

Air mata Bung Karno menetes ke pipi lalu jatuh ke bantal. Dua hari kemudian, Minggu 21 Juni 1970, Soekarno wafat. Perseteruan politik antara Bung Karno dan Bung Hatta tak menyebabkan keduanya putus tali silaturahmi.

Relasi pertemanan tetap terjaga. Relasi karena politik itu hanya sesaat, tetapi pertemanan akan langgeng. Bukan malah dibalik, relasi politik itu dilanggengkan, sedangkan pertemanan hanya sesaat.  Pertemanan karena politik biasanya rapuh. Berteman saat ada kepentingan sama. Jika kepentingannya sudah berbeda, yang terjadi pecah kongsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya