SOLOPOS.COM - Gutomo Bayu Aji/Dokumen Solopos

Solopos.com, SOLO — Tidak banyak pengamatan yang melihat bentang alam antara Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Lawu sebagai suatu cekungan unik atau setidaknya semicekungan seperti bentuk setengah mangkuk dan Kota Solo terletak di datarannya.

Sejauh ini cekungan tersebut lebih diletakkan sebagai bagian dari daerah aliran sungai (DAS), sebuah pendekatan pengelolaan daerah tangkapan air, yakni DAS Bengawan Solo, DAS terbesar di Pulau Jawa yang memiliki luas 16.100 kilometer persegi yang mengalir dari hulu di perbukitan Wonogiri, Jawa Tengah, hingga hilir di delta Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Selain isu lingkungan dan ekosistemnya, pendekatan ini juga berguna untuk menganalisis bencana alam, terutama banjir besar, yang terjadi hampir secara rutin kala setiap limpasan curah hujan paling tinggi mengguyur daerah-daerah di sepanjang DAS Bengawan Solo.

Tidak ada yang salah dengan pendekatan itu, tetapi setelah sekian waktu digunakan tampak kurang berkontribusi terhadap perbaikan ekosistem dan mengurangi dampak bencana alam. Jika melihat peta DAS Bengawan Solo terakhir, kondisi sangat kritis hingga kritis tersebar di bagian hulu. Selain itu, berita mengenai banjir terdengar semakin luas, juga kebakaran hutan Taman Nasional Gunung Merbabu dalam beberapa tahun terakhir.

Berbagai persoalan itu menunjukan antara pendekatan dan praktik pengelolaan daerah tangkapan air, baik yang berupa praktik kebijakan maupun program di kawasan, tidak menciptakan efek gerakan sosial yang luas terhadap perbaikan lingkungan.

Tidak Ada Perkembangan Baru

Pendekatan DAS (watershed management) mungkin harus ditinjau ulang. Selain studi-studi mengenai DAS sudah terasa jenuh dan tidak ada perkembangan baru, fungsi pendekatan ini kurang menunjukkan hasil nyata terhadap kondisi lingkungan. Belum lagi yang selama ini dikemas ke dalam kebijakan yang bersifat top-down, birokratis, formal, dan berbasis proyek-proyek singkat.

Berbagai masalah itu setidaknya bisa menunjukan bahwa pendekatan itu tidak cukup dipertahankan untuk memahami cekungan Soloraya yang unik serta untuk memperbaiki kondisinya yang semakin kritis. Cekungan ini harus dipahami bukan hanya ekosistem pengendali lingkungan, termasuk bencana alam seperti banjir, melainkan juga merupakan penopang sistem kehidupan dan kebudayaan yang tumbuh selama ribuan tahun.

Kita perlu memahami betapa kebudayaan adiluhung negara (baca: kota) Solo ditopang oleh ekosistem cekungan ini. Bukan produksi barang, jasa, serta gagasan rakyat secara tradisional, namun juga gagasan-gagasan besar yang tumbuh di negara itu seperti karya Ronggawarsito yang liberal ataupun selama masa perjuangan kemerdekaan seperti dicetuskan oleh H. Misbach yang melanjutkan gagasan Indische Partij sebagai partai politik pertama di negeri ini serta K.H. Samanhudi dalam Sarekat Dagang Islam.

Sejumlah gagasan besar yang begitu kosmopolitan telah tumbuh di cekungan ini dan menjadi akar kebangsaan Indonesia pada masa lalu. Kini, sejarah itu terasa berayun ke sisi sebaliknya, dari akar kosmopolitanisme ke kontestasi fundamentalisme-radikalisme transnasional seiring dengan semakin bangkrutnya ekosistem serta berbagai krisis yang melanda cekungan itu.

Dalam hal ini, petani yang melakukan praktik pertanian di sebagian besar cekungan itu di antara bagian hulu dan tengah tidak bisa dituding sebagai penyebab krisis ekologi. Persoalan ini perlu diletakkan dalam gambaran besar kebijakan pertanian yang meletakkan petani sebagai objek atau instrumen ekonomi-politik pertanian global yang didorong melalui serangkaian liberalisasi pertanian dan pangan.

Kemerosotan Keanekaragaman Hayati

Sejumlah masalah lingkungan di sepanjang DAS Bengawan Solo seperti sedimentasi, banjir, degradasi lahan dan hutan, polusi air oleh berbagai jenis racun kimia tanaman pertanian, merosotnya keanekaragaman hayati serta kebudayaan pendukungnya hanyalah dampak negatif dari desain kebijakan itu ketika petani juga berada dalam posisi sebagai korban.

Kini, mungkin agak sulit mengharapkan desain kebijakan seperti itu berubah, tetapi mengharapkan berbagai inisiatif dari bawah yang melakukan beragam praktik-praktik pertanian  berkelanjutan serta gerakan sosial lingkungan di berbagai level komunitas perdesaan dan perkotaan mungkin akan baik untuk memengaruhi perubahan kebijakan secara signifikan.

Di DAS Bengawan Solo, terutama di Sub-DAS Pusur, wilayah Kabupaten Klaten, tempat kebijakan itu terasa sangat intensif, kini berbagai inisiatif pertanian dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan mulai tumbuh berdasarkan kesadaran kritis. Gairah ini seperti memperlihatkan benih-benih kosmopolitanisme baru ketika praktik dan gerakan sosial itu menjadi bagian dari cara merawat lanskap serta kebudayaan pendukungnya secara berkelanjutan.

Pendekatan baru sebagai alternatif dari pendekatan DAS yang kini sedang menguat adalah pendekatan lanskap ekosistem dan penghidupan berkelanjutan. Pendekatan ini bukan hanya mempromosikan pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan, namun juga hak-hak serta partisipasi masyarakat yang semakin berkembang.

Melalui pendekatan lanskap ekosistem dan penghidupan berkelanjutan, sistem pertanian lama yang mewarisi model revolusi hijau sudah saatnya direvisi. Memang ada perdebatan akademis antara pandangan yang menyatakan model itu bisa memberi makan dunia versus pandangan baru berbasis pendekatan baru tersebut yang menyatakan agroekologi bisa memberi makan dunia karena lebih produktif dalam satuan per hektare.

Agroekologi

Terlepas dari perdebatan itu, fakta sejarah kebudayaan pertanian di cekungan Soloraya menunjukan bahwa agroekologi adalah sistem pertanian asli yang melekat dalam kebudayaan masyarakat. Sistem ini yang kemudian dirombak dengan model revolusi hijau sejak 1970-an sehingga sawah, tegalan, dan kebon (pekarangan) berubah total dari ruang pertanian dan pangan yang beraneka ragam menjadi ruang tanaman monokultur yang berorientasi politik (ketahanan) pangan nasional.

Perombakan itu mengakibatkan kebangkrutan ekosistem dan berbagai krisis lingkungan serta kebudayaan pendukungnya yang berbasis gotong royong. Pendekatan DAS yang diterapkan selama masa pembangunan tidak mampu memperbaiki, malah justru menjadi proyek birokratis. Di sini, pendekatan lanskap agroekologi menawarkan perbaikan ekosistem serta sistem pertanian dan pangan berdasarkan kebudayaan masyarakat setempat dengan perkembangan inovasi teknologi dan industri.

Berbagai inisiatif di Sub-DAS Pusur, walaupun belum memperlihatkan pendekatan lanskap agroekologi secara terpadu, sudah sudah menunjukan geliat ke arah sana. Diperlukan sistem jaringan yang bisa mengomunikasikan di antara berbagai inisiatif itu untuk mentransformasikan menjadi gerakan sosial yang berpengaruh terhadap perubahan kebijakan pertanian dan pangan serta lingkungan secara luas.

Lanskap agroekologi akan menjembatani transformasi itu melalui generasi muda yang perlu mempercepat pola warisan tanah keluarga melalui berbagai skema kebijakan publik terkait penguasaan tanah seperti skema pengelolaan tanah secara kolektif, tanah-tanah kas desa, atau berbagai program reforma agraria yang ditawarkan pemerintah sekarang.

Dimulai dari Sub-DAS Pusur, diharapkan gairah kebudayaan baru di cekungan Soloraya ini bisa menjalar seperti gerakan sosial untuk merawat kembali kosmopolitanisme negara Surakarta (baca: Kota Solo) yang pernah berakar kuat secara adiluhung dalam sejarah dan berkontribusi memperkuat rasa kebangsaan Indonesia yang terasa semakin rapuh sekarang ini.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya