SOLOPOS.COM - Blontank Poer (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Seusai pandemi Covid-19 bermunculan aneka peristiwa yang mendatangkan banyak pengunjung. Konser musik, pergelaran budaya, pameran. Merata di hampir semua kota. Kota besar maupun kecil. Tak terkecuali di Kota Solo.

Setelah jeda dua tahun tanpa keramaian karena pandemi, kini saatnya merespons situasi dengan membuktikan Kota Solo sanggup menjadi kota tujuan wisata yang sesungguhnya, terutama wisata budaya. Termasuk wisata musik (music tourism).

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Saya bersama Komunitas Rumah Blogger Indonesia (RBI) terlibat inisiasi konser berskala menengah, yakni konser musik Dream Theater di Stadion Manahan dan Solo Batik Music Festival di Pamedan Pura Mangkunegaran, dalam waktu berdekatan.

Saya mencatat beberapa hal menarik. Pada pokoknya semua pemangku kepentingan perlu duduk bersama, membangun suasana baru, untuk memaksimalkan potensi wisata dan menghitung peluang ekonomi sebagai dampak peristiwa yang direncanakan/dibuat.

Bagaimana merancang event, perkiraan dampak bagi banyak pihak, aturan main pajak hiburan, perizinan, dukungan pengamanan, hingga kejelasan aturan main sewa lahan untuk lokasi kegiatan, serta kelenturan tafsir atas sebuah peraturan.

Satu contoh konyol yang saya rasakan ketika mengurus sewa lahan parkir Stadion Manahan untuk konser Dream Theater. Pada awal proses, dua orang anggota staf Dinas Kepemudaan dan Olahraga Kota Solo menyatakan sewa seluruh lahan yang bakal kami pergunakan Rp80 juta untuk konser.

Persiapan dan proses pembongkaran (loading/unloading) dikenai biaya per hari 30% dari sewa lahan atau Rp 24 juta per hari. Kami harus membayar Rp24 juta dikalikan jumlah pemakaian. Kami menyampaikan keberatan dan minta pengurangan. Kamis disarankan membuat surat permohonan keringanan kepada Wali Kota Solo. Maksimal pengurangan hanya 30%.

Yang terjadi sangat mengagetkan. Dalam pemahaman kami adalah diskon 30% dari angka Rp24 juta, namun pejabat (dan kepala dinas) menafsir diskon yang diberikan adalah 30% dari Rp80 juta! Akhirnya, promotor mengalah atas tafsir yang menurut saya “sangat aneh” dan membayar sewa sesuai tafsir mereka atas sebuah aturan.

Saya jadi teringat perkataan Joko Widodo saat menjabat Wali Kota Solo. Ia berkata tugas pemerintah adalah mengeluarkan duit, bukan mencari duit dari masyarakat. Berapapun besarnya biaya yang perlu dikeluarkan untuk sebuah kegiatan, tidak masalah asal hasil dari pembiayaan tersebut memiliki dampak, minimal sepadan, untuk masyarakat.

Contoh, di luar pajak tontonan dan biaya sewa lahan, konser Dream Theater yang dihadiri hampir 10.000 penonton yang berasal dari berbagai kota di Indonesia itu membawa dampak perputaran uang yang cukup besar. Mereka membayar sewa kamar hotel, biaya transportasi lokal, kebutuhan  makan/minum, hingga belanja oleh-oleh.

Jika dari 8.000 penonton itu membelanjakan uang Rp500.000 per orang selama d iKota  Solo, dalam sehari semalam ada tambahan perputaran uang sedikitnya Rp4 miliar.  Masyarakat yang terdampak banyak. Event itu tidak menggunakan duit pemerintah daerah serupiah pun.

Begitu pula Solo Batik Music Festival yang baru berlalu beberapa hari kemarin. Hampir 20.000 penonton memadati Pamedan Pura Mangkunegaran selama dua hari konser. Peristiwa itu justru mendatangkan pajak bagi daerah dan menyeleksi orang dari banyak kota berbondong-bondong datang ke Kota Solo untuk merayakan Hari Batik Nasional.

Menurut catatan saya, lebih dari 40% pengunjung datang dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Pasti ada banyak uang pengunjung yang dibelanjakan di Kota Solo selama, minimal, tiga hari dua malam kegiatan.

Proses perizinan event ini sederhana dan biaya-biaya tak terduga nyaris tak ada. Ini memudahkan siapa pun yang ingin menggelar event di Kota Solo. Penyelenggara kegiatan (event organizer) maupun penyedia peralatan pendukung (vendor) sangat diuntungkan jika Kota Solo makin ramai oleh aneka kegiatan.

Satu hal yang perlu dicarikan terobosan hukum (kelonggaran aturan) adalah perpajakan dan dukungan lain untuk aneka event budaya yang secara komersial tidak bisa mengharapkan dari hasil penjualan tiket kepada penonton. Tak ada salahnya festival seni pertunjukan, festival keroncong, konser gamelan, dan peristiwa sejenisnya tidak digratiskan.

Duduk Bersama

Dengan menjual tiket, terjadi seleksi penonton. Pendapatan dari tiket membantu meringankan biaya produksi aneka event sejenis yang memang tidak seksi bagi sektor usaha swasta terlibat sponsorship. Pembiayaan dari bantuan pemerintah (daerah maupun pusat), masih perlu, meski nilainya terbatas.

Sementara, untuk menyiapkan konten event lebih bermutu, ada konsekuensi pembengkakan biaya. Belum lagi anggaran yang harus dikeluarkan untuk biaya transportasi, honorarium penampil, hingga biaya jasa seluruh pekerja yang terlibat, yang jumlahnya bisa mencapai ratusan orang.

Edukasi kepada masyarakat harus dilakukan agar mengeluarkan effort lebih dengan cara membeli tiket, sekaligus belajar menghargai proses produksi. Konsekuensinya, dengan membayar maka penonton menjadi berhak menuntut kualitas. Penyelenggara wajib memenuhi harapan publik.

Tentu, untuk event yang demikian, pemerintah harus membebaskan penyelenggara dari kewajiban membayar pajak tontonan, meski penyelenggara harus menjual tiket kepada publik. Dana yang terkumpul akan memudahkan penyelenggara memenuhi ekspektasi calon penonton/penikmat.

Saya yakin, Kota Solo memiliki banyak seniman hebat yang layak diapresiasi. Ada banyak dramawan, penari/koreografer, musikus/komponis, dan grup-rgup/sanggar-sanggar kebudayaan yang perlu didukung keberadaan dan keberlangsungannya.

Untuk ”menjual” mereka perlu perlakuan khusus. Campur tangan pemerintah, terutama dalam pembiayaan dan dukungan kemudahan penyelenggaraan, sangat dibutuhkan. Eksperimen sosial kami melalui Solo Batik Music Festival, 1-2 Oktober 2022 lalu, menuai hasil memadai.

Sajian mural untuk menutup pagar Pura Mangkunegaran tidak ada yang rusak. Kehadiran pembatik dari Kota Solo, Pekalongan, dan Lasem (Rembang) memberi nilai tambah edukasi. Tawaran kami menyediakan shuttle bus dari/ke venue hingga lokasi parkir mobil di samping Benteng Vastenburg direspons positif sehingga kemacetan di sekitar lokasi acara bisa ditekan.

Jika pemerintah kota (termasuk DPRD), pemilik/pengelola venue, event organizer, vendor peralatan panggung, aparat kepolisian, pengelola hotel, pelaku usaha kuliner, pengusaha oleh-oleh dan kerajinan bisa duduk bersama, saling terbuka mengeluarkan kegelisahan dan masukan, Kota Solo akan menjadi kota tujuan wisata yang menarik, yang memberi dampak ekonomi, sosial, dan budaya sangat besar.

Sinergi pemerintah dan nonpemerintah bisa mendatangkan banyak mafaat untuk masyarakat. Siapa tahu, melalui forum duduk bareng itu, kita bisa merancang event bersama-sama, yang terukur dan bisa memberi manfaat kepada banyak pihak.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Oktober 2022. Penulis aktif di komunitas Rumah Blogger Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya