SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Muhammad Aslam Pembina Pramuka di SMPN 5 Solo, Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (ist)

Belum hilang dari ingatan kita dasyatnya gempa bumi 2006 dan erupsi gunung Merapi 2010. Kedua bencana alam tersebut mengakibatkan korban jiwa dan harta benda yang cukup banyak.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Jika ditelusuri, banyaknya korban jiwa tersebut karena terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang bencana alam. Selain itu juga buruknya manajemen lingkungan sehingga berpotensi menimbulkan bencana lainnya seperti banjir dan tanah longsor.

Indonesia adalah negara yang rawan bencana alam. Letak geografis Indonesia berada di zona cincin api Pasifik dan dikepung oleh lempeng Eurasia serta lempeng Indo-Australia yang bergerak aktif.
Akibatnya, 83% wilayah Indonesia rawan bencana. Gempa bumi dan letusan gunung berapi dapat terjadi sewaktu-waktu.

Ada dua kisah nyata yang bertolak belakang saat gempa bumi 8,9 SR diikuti gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 di tempat yang berbeda. Dua kisah itu menarik untuk disimak dan bisa menjadi bahan renungan serta inspirasi.

Kisah pertama adalah beberapa saat sebelum gempa bumi dan tsunami di Pantai Phuket Thailand yang saat itu sedang dipenuhi wisatawan dari berbagai negara.

Tiba-tiba seorang gadis kecil berumur 10 tahun dari Inggris bernama Tilly Smith mengatakan kepada ayahnya bahwa sebentar lagi akan terjadi tsunami.

Tilly Smith teringat materi pelajaran Geografi tentang lempeng tektonik dan gempa bumi bawah laut yang diajarkan oleh guru geografinya, Andrew F Kearney, ketika melihat gejala tsunami berupa gelombang tinggi yang memutih kemudian air di pantai surut secara tiba-tiba dan dalam waktu 20 menit-30 menit pasti terjadi tsunami.

Kemudian sang ayah menyampaikan gejala tsunami tersebut kepada penjaga pantai. Mendengar cerita tersebut, para penjaga pantai dengan cepat dan sigap memberikan peringatan dini kepada para wisatawan agar segera meninggalkan pantai.

Apa yang dikatakan Tilly Smith menjadi kenyataan. Tsunami menghantam Pantai Phuket. Beruntung, ratusan wisatawan telah dievakuasi sehingga korban jiwa dapat dicegah.

Tilly Smith mendapat gelar Angel of Beach karena berhasil menginternalisasi pengetahuan dari bangku sekolah. Ini contoh pendekatan pembelajaran kontekstual yang menghadirkan pemahaman konsep akademik yang realistis dan bermakna.

Kisah kedua, beberapa saat sebelum gempa bumi dan tsunami terjadi di Pantai Ulele, Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah gempa bumi, muncul gejala tsunami berupa surutnya pantai secara tiba-tiba.

Masyarakat sekitar bukannya berlari menyelamatkan diri, tetapi mereka malah berlomba-lomba menangkap ikan di sepanjang pantai yang surut. Akibatnya, lebih dari 150.000 orang tewas dan hilang karena kedahsyatan gelombang tsunami.

Siap siaga
Dua kisah nyata di atas seharusnya menyadarkan kita bahwa sudah saatnya dirancang dan dibangun sikap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana melalui pelajaran di sekolah akan membentuk masyarakat yang sadar dan siaga bencana. Diharapkan jumlah korban dan kerugian sosial ekonomi dapat diminimalkan.

Saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Pemerintah Kabupaten Klaten yang telah menyiapkan regulasi dalam bentuk Perda untuk memasukkan materi siaga bencana dalam kurikulum pendidikan formal.

Negara-negara maju seperti Jepang telah memasukkan materi siaga bencana dalam kurikulum pendidikan. Jepang telah membuktikan pada dunia internasional bahwa gempa bumi dan tsunami 11 Maret 2011 tidak membuat rakyat Jepang panik sehingga korban jiwa dapat diminimalkan.

Memasukkan materi siaga bencana dalam kurikulum sekolah adalah upaya yang paling efektif mengingat fungsi dan peran sekolah yang tidak hanya sebagai ruang transfer ilmu pengetahuan tetapi juga internalisasi nilai.

Upaya ini dijamin UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana yang merancang sistem penanggulangan bencana secara sistematis dan terstruktur.

Memasukkan ilmu pengetahuan tentang bencana ke dalam kurikulum sekolah dan didukung simulasi menghadapi bencana merupakan upaya preventif atau pencegahan untuk meminimalkan korban jiwa dan kerugian harta benda.

Pengetahuan tentang bencana bisa disiasati dengan memasukkan materi itu ke dalam materi-materi muatan lokal. Ada kearifan lokal tentang tanda-tanda akan terjadi bencana yang masuk akal.

Jika tidak bisa dimasukkan kurikulum sekolah, bisa dimasukkan dalam ekstrakurikuler misalnya Pramuka seperti yang dilakukan Pramuka SMPN 5 Solo saat latihan rutin pada Februari 2011.

Pada kegiatan tersebut, peserta didik yang mengikuti ekstrakurikuler Pramuka diberikan pemahaman di dalam kelas maupun di luar kelas tentang berbagai bencana dan mempraktikkan simulasi tanggap bencana gempa bumi mulai dari peringatan dini, pertolongan pertama, evakuasi atau penyelamatan dan dapur umum.

Pelajaran tentang gempa bumi dan kebencanaan lainnya disertai dengan pelatihan tanggap bencana adalah cara paling efektif untuk meminimalkan korban jiwa dan kerugian harta benda.

Ikhtiar ini diharapkan membentuk generasi yang sadar dan siaga bencana serta memiliki kemampuan dasar penanganan bencana dan tahu langkah-langkah antisipasi agar dapat mengurangi risiko bencana yang lebih besar.

Investasi jangka panjang
Kemampuan dasar itulah yang harus disebarluaskan kepada masyarakat bahkan anak-anak agar selalu siap dan siaga ketika bencana terjadi.

Kurikulum siaga bencana di sekolah adalah investasi jangka panjang yang akan melahirkan pemikir dan pembuat kebijakan masa depan yang adaptif terhadap bencana dengan meminimalkan dampak destruktifnya.

Masuknya materi siaga bencana dalam kurikulum pendidikan juga dapat melahirkan calon relawan-relawan yang siap untuk dilatih, dididik dan dibina oleh Palang Merah Indonesia (PMI) dalam jumlah yang cukup besar.

PMI Kota Solo saat ini membina 300-an orang relawan yang direkrut dari unsur Palang Merah Remaja (PMR) di berbagai sekolah menengah di kota Solo maupun kelompok Search and Rescue (SAR) untuk menjadi anggota Korps Suka Rela (KSR) dan Tenaga Suka Rela (TSR). J

umlah tersebut sangat kurang. Idealnya jumlah relawan di Kota Solo adalah 5% dari jumlah penduduk atau kurang lebih 30.000 orang yang terlatih untuk bertugas pada misi-misi kemanusian.

Apabila materi siaga bencana masuk kurikulum pendidikan, PMI tidak akan kekurangan relawan yang siap untuk dilatih, dididik dan dibina untuk menjalankan misi-misi kemanusiaan.

PMI tidak hanya mengandalkan PMR di setiap sekolah menengah, tetapi juga bisa mengandalkan Pramuka Penggalang dan Pramuka Penegak yang aktif di sekolah maupun yang aktif di 10 satuan karya atau Saka Pramuka Penegak di Kwartir Cabang Utama Saka Bakti Husada atau siapa pun yang berminat menjadi relawan.

Modul pendidikan siaga bencana harus disusun dengan cara yang menyenangkan. Pemahaman atau pengetahuan siaga bencana dikemas tidak hanya teori atau ceramah tetapi juga melalui simulasi siaga bencana agar siswa tahu apa yang harus dilakukan sebelum, saat dan sesudah bencana.

Materi-materi siaga bencana dan manajemen risiko bencana dapat dikemas dalam bentuk cerita-cerita lucu, menyenangkan dan memanfaatkan alat-alat peraga.

Ini seperti yang dilakukan Agus Nur Amal atau PM Toh seorang pemain teater yang pernah berperan sebagai pendongeng pada iklan layanan masyarakat tentang kearifan lokal di Pulau Simeulu, Nanggroe Aceh Darussalam.

Masyarakat di pulau ini selalu siaga menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Cara ini sangat membantu siswa agar mudah menyerap materi yang disampaikan. Cerita-cerita yang menyeramkan tentang bencana alam harus dihindari bahkan dihilangkan.

Padatnya kurikulum pendidikan nasional tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengajarkan siaga bencana di sekolah karena hal tersebut dapat disiasati dengan ekstrakurikuler Pramuka atau PMR.
Selain itu, perlu pula melibatkan orangtua peserta didik dalam pemahaman materi siaga bencana dan manajemen risiko bencana.

Tantangan paling berat dalam materi siaga bencana adalah mengajarkannya secara berkelanjutan. Faktor dana, birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit sering menjadi kendala untuk menjamin keberlanjutan kegiatan ini.

Merancang kurikulum siaga bencana secara nasional yang disesuaikan dengan kearifan lokal harus segera dilakukan. Harapannya agar masyarakat selalu siaga bencana baik pada tahap prabencana, pada saat tanggap darurat dan pascabencana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya