Di tengah kegalauan diri, masyarakat, dan bangsa dalam menghadapi beragam permasalahan, dalam beberapa hari ke depan kita akan sampai pada masa yang menjadi oasis umat. Masa ketika semua kemanjaan material wajib dikendalikan. Masa ketika kekuatan spiritualitas dikembangkan secara bertahap menuju puncak optimal, yakni predikat takwa.
Ramadhan adalah bulan agung dan penuh berkah. Bulan yang memiliki harapan pencapaian rahmat (kasih sayang Allah) pada paruh sepertiga pertama. Harapan memperoleh maghfirah (ampunan Allah) pada paruh sepertiga kedua. Juga harapan untuk mendapatkan pembebasan dari nar (kesengsaraan) pada paruh sepertiga ketiga.
Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia
Keindahan harapan yang dijanjikan di bulan agung ini selayaknya menjadikan motivasi untuk dapat meraihnya. Rosul pun selalu mengajak sahabatnya untuk menyambut dan mngelu-elukan kehadiran Ramadlan.
Persiapan menuju Ramadlan
Berdoa agar bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan sejak bulan Sya’ban merupakan persiapan awal meraih bulan suci tersebut. Doa sebagai upaya menggali kekuatan batiniah. Doa yang kita lantunkan pun menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan kewaspadaan diri untuk dapat tetap sehat, lahir-batin.
Persiapan berikutnya yaitu membersihkan diri. Menuju bulan suci patut dilaksanakan dengan kesucian diri pula. Misalnya suci dari hutang-hutang puasa pada Ramadhan yang lalu dengan cara mengingat kembali perhitungan puasa kita secara cermat.
Saling meminta maaf dan memaafkan dengan sesama sebagai persiapan selanjutnya. Tampaknya saling memaafkan ini lebih baik dilaksanakan di awal ramadlan dan disempurnakan di akhir ramadlan (atau saat ber-Idhul Fitri). Saling meminta dan memberi maaf tersebut sebagai wujud menjaga kesucian atas kesalahan terhadap orang lain.
Sebagai manusia biasa yang acapkali khilaf, dalam menuju Ramadlan, patutlah kita membebaskan diri dari perbuatan syirik (mempersekutukan Allah) dalam segala manifestasinya. Tengoklah badan kita, masih adakah alat atau benda yang kita yakini mampu memberi kekuatan lebih atau sebagai perantara untuk memperoleh kekuatan metafisik ? Atau kajilah laku ritual kita, masih adakah laku yang menyimpang (dan tidak pernah dicontohkan Rosul) dalam rangka bisa memperoleh kesejahteraan yang cukup bahkan lebih?
Secara batiniah kita pun patut menghapus sikap iri dan dengki kepada orang lain yang memperoleh sesuatu yang lebih dari kita. Allah telah mengatur rejeki setiap orang atas kehendak-Nya (QS Ali Imran : 37). Pun secara perlahan membuang syu’udhon (berprasangka buruk) serta mengembangkan husnudzon (berprasangka baik) kepada orang lain.
Dalam tradisi kita pada satu hari sebelum masuk bulan Ramadlan terdapat tradisi yang baik yakni “padusan”. Tradisi ini variasinya beragam, ada yang mandi di sungai atau kolam, bahkan ada pula yang mandi dari tujuh sumur di sekitar kita. Tradisi ini memang tidak pernah dicontohkan Rosulullah, tapi tidak memiliki niat apa pun pada si pelaku kecuali bermaksud sebagai upaya menghilangkan hadats besar dengan mandi junub. Maka yang paling pokok tradisi ‘padusan’ ini adalah bagaimana cara mandi junub yang sah dan benar.
Sebagai orang terpelajar, persiapan pun dapat dilakukan dengan mengadakan kajian agama sebagai bekal untuk menjalankan ibadah dengan mengetahui ilmunya. Pemahaman tentang puasa, cara-cara menjalankannya, ibadah yang menyertainya patut terus digali dengan semangat jihad dalam mencari ilmu. Tentu saja, jika kita dipercaya sebagai imam bahkan sebagai makmum pun, amat baik jika mau membuka kembali Al Quran sambil mencermati bacaannya yang benar (tajwid) dan maknanya. Barangkali memang kita atau imam sudah hafal beberapa surat pendek, namun sering lupa atau tertukar ucapan dan panjang pendeknya.
Sebagai anggota masyarakat, apalagi sebagai takmir masjid, menata kegiatan Ramadlan dengan menajemen yang baik layak dilakukan. Misalnya dengan membantu pembentukan panitia Ramadlan untuk mengatur pelaksanaan takjil, sholat tarawih, tadarus, ceramah/kultum, dan zakat fitrah. Bukankah Rosulullah menasihati bahwa orang yang terbaik adalah orang yang banyak manfatnya bagi orang lain.
Persiapan yang utama tentu saja dengan memotivasi diri bahwa orang yang berpuasa dan beribadah di bulan Ramadlan menjadi salah satu calon penghuni surga. Rosulullah pernah bersabda “Surga rindu untuk dimasuki empat golongan manusia, yaitu orang yang membiasakan diri membaca Al Qur’an, pandai mengendalikan lisan, memberi makan orang-orang lapar (terutama yang sedang berpuasa), fakir miskin ,dan dan anak-anak yatim dan menjalankan puasa Ramadhan dengan sempurna”.
Di samping persiapan mental, tidak kalah pentingnya adalah persiapan material. Bulan Ramadlan adalah bulan khusus, sehingga kita menuntut diri untuk menyiapkan hidangan yang khusus pula bagi keluarga. Ini akan memberikan gairah beribadah selama satu bulan penuh, khususnya bagi putera-puteri kita. Keistimewaan hidangan selama puasa juga akan memberikan kesan pada diri anak-anak tentang indahnya beribadah Ramadlan.
Keluarga yang telah memperoleh rezeki lebih hendaknya secara ikhlas menyiapkan sebagian harta untuk memberikan takjil (buka puasa bersama) di masjid atau mushola misalnya. Nilai-nilai sosial seperti ‘berbagi’ dan ‘kebersamaan’ akan terlihat pada saat buka puasa bersama ini.
Tentu saja, siapa pun kita wajib menyiapkan sebagian harta untuk zakat fitrah. Dalam surat An Nuh Allah menjajikan harta dan anak kepada mereka yang mau meminta ampun kepada-Nya. Dipertegas dalam Al Jin bahwa Allah akan memberikan rezeki yang besar bagi mereka yang mau menempuh jalan yang benar. Maka, dengan keyakina tersebut kita pun patut menyiapkan diri untuk mampu bershodaqoh, infak, memberi hadiah sesuai kemampuan kita, dan zakat.
Semoga Allah menjadikan kita pribadi-pribadi dan keluarga yang mampu bersiap untuk meraih keutamaan Ramadlan. Amin.