SOLOPOS.COM - Ilustrasi belajar online. (Freepik)

Solopos.com, KARANGANYAR — Berbicara Merdeka Belajar terbayang konsep siswa dibebaskan memilih untuk lulus dengan cara apa atau bebas belajar dengan metode apa pun. Bagaimana menurut Anda?

Satu billboard di Kota Solo mengiklankan salah satu perguruan tinggi (PT) di Soloraya. Perguruan tinggi itu menggunakan program Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Merdeka Belajar, sebagai materi promo. Salah satu poinnya, mahasiswa merdeka memilih skripsi atau tidak.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Terbesit pemikiran apakah betul demikian konsep Merdeka Belajar yang dicetuskan Kemendikbud Ristek di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim? Pada beberapa artikel, Nadiem menyampaikan konsep Merdeka Belajar mewakili reformasi metode pembelajaran selama ini.

Baca juga: Rencana PPN Pendidikan Dinilai Bentuk Komersialisasi dan Hambat Mutu

Ekspedisi Mudik 2024

Dalam Merdeka Belajar terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi lingkungan pendidikan menentukan cara terbaik dalam proses pembelajaran. Konsepnya, anak-anak bisa menggunakan metode belajar paling cocok.

Kemerdekaan juga menjadi milik guru. Mereka dapat menentukan cara mengajar hingga memilih komponen kurikulum yang terbaik untuk anak didik. Lalu, bagaimana penerapannya di daerah, khususnya Kabupaten Karanganyar?

Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Karanganyar, Endang Trihadiningsih, menuturkan penerapan Merdeka Belajar tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Sekolah sudah mendapat informasi. Konsepnya pembelajaran tidak lagi fokus pada guru, tetapi siswa center. Nah, merubah itu tidak serta merta. Dimulai dari guru bagaimana menyusun silabus, berinovasi. Jadi ya sudah dilakukan [di Karanganyar], tapi belum 100%. Pelan-pelan,” kata Endang saat berbincang dengan Solopos.com, Sabtu (4/7/2021).

Baca juga: Zonasi, Akselerasi Pendidikan yang Berefek Samping Buruk

Endang mendorong guru dan tenaga pendidik memanfaatkan momen pandemi Covid-19 untuk mempraktikkan konsep Merdeka Belajar. Guru diberikan keleluasaan mengajar menggunakan metode apa pun selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau daring.

“Ini kesempatan guru berinovasi bagaimana merdeka belajar diterapkan. Misalnya memancing diskusi, memancing anak mencari materi, dan lain-lain. Menggunakan media sosial, Instagram, Youtube, streaming, WhatsApp. Yang penting mengacu kompetensi inti dan kompetensi dasar [KIKD],” jelas dia.

Bebas Berkreasi dan Berinovasi

Salah satu sekolah yang mengklaim sudah mengadopsi konsep Merdeka Belajar adalah sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) Jenawi. Kepala SMKN Jenawi, Sri Eka Lelana, memahami arah Merdeka Belajar adalah memberikan kebebasan guru, tenaga pendidik, dan siswa berkreasi dan berinovasi.

Baca juga: Orang Tua Wajib Tahu, Ini Cara Menanamkan Pendidikan Karakter Anak

Di tengah kungkungan pandemi Covid-19, sekolah kejuruan di lereng Gunung Lawu itu menggunakan media sosial untuk proses pembelajaran. Pemicunya anak usia sekolah menangah sudah melek teknologi informasi. Mereka sudah bermain Instagram, WhatsApp, Facebook, Youtube, TikTok, dan lain-lain.

Guru didorong mampu mengimbangi kemahiran peserta didik bermedia sosial. Dimulai dari menggunakan media sosial sebagai salah satu metode pembelajaran. Dia mencontohkan siswa diminta membuat contoh perilaku Pelajar Pancasila, yakni Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia serta Bergotong Royong.

“Kami secara garis besar sudah melaksanakan konsep Merdeka Belajar. Minimal dimulai dari guru diberikan kebebasan berpikir, mengembangkan diri, berinovasi, dan kreatif. Di masa pandemi guru menyiasati keterbatasan dengan melaksanakan pembelajaran yang baik,” kata Eka saat berbincang dengan Solopos.com melalui sambungan telepon, Sabtu.

Baca juga: Ekonom Sebut Jasa Pendidikan Tak Pantas Kena Pajak

Dari sisi lain, lanjut Eka, peserta didik diarahkan “melewati” batasan formal sekolah di kelas, menghadap papan tulis, memegang buku. Di masa pandemi ini mereka diajak merasakan metode pembelajaran “luar kelas” dengan metode lain.

“Kuncinya pada guru. Bisakan membantu siswa keluar dari kewajaran sehingga anak-anak bisa berkreasi pada jalurnya. Intinya kebebasan dan kemerdekaan berpikir oleh seluruh civitas pendidikan. Tentunya tanpa mengurangi esensi pokok pembelajaran dan pendidikan,” kata dia.

Pada akhir obrolan, Eka mengaku enggan berbicara muluk-muluk tentang Merdeka Belajar di tengah keterbatasan. Setidaknya dia optimistis pendidikan di Indonesia mulai berkembang dari sebelumnya.

Tak Bisa Dipaksakan

Hal senada disampaikan Kepala sekolah dasar negeri (SDN) 01 Jati, Kecamatan Jaten, Reni Asyaroh Nur Syamsiyah. Reni sepakat dengan Eka bahwa Merdeka Belajar berarti memberikan kebebasan kepada sekolah mengelola potensi.

Baca juga: Kritik PPN Pendidikan, Muhammadiyah: Mana Tanggung Jawab Pemerintah?

Tetapi di tengah pandemi yang berdampak kepada keterbatasan akses dan mobilitas ini Reni menyebut Merdeka Belajar tidak bisa dipaksakan. Untuk anak usia sekolah dasar, kunci Merdeka Belajar di masa pandemi Covid-19 berada di tangan orang tua. Bagaimana, lanjut dia, orang tua sanggup mendampingi anak belajar.

“Pelibatan orang tua. Salah kaprahnya kalau orang tua enggak mau ribut, ya sudah [tugas sekolah] dikerjakan sendiri. Itu yang terjadi. Kalau dicek satu-satu akan ketahuan anak belum mantap dalam pembelajaran,” ujar Reni.



Padahal, harapan dari Merdeka Belajar adalah anak memiliki pengetahuan terbuka dan luas. Tetapi, Reni menyampaikan tidak bisa memaksa orang tua hanya fokus pada pendidikan anak. Banyak faktor sehingga menyebabkan orang tua tidak bisa 100% mendampingi anak.

Baca juga: Entah Apa Yang Merasuki Pemerintah, Jasa Pendidikan dan Sekolah Mau Dikenakan Pajak

Salah satunya ekonomi dan keterbatasan sarana prasarana. Reni mencontohkan belum semua siswa usia SD memiliki smartphone untuk pembelajaran daring. Beberapa menggunakan smartphone milik orang tua dan dibawa bekerja.

“Kalau orang tua mengarahkan dan tertarik dengan perkembangan anak maka hasilnya bagus. Tetapi kami tidak bisa menutup mata pada siswa dan orang tua lain yang memiliki keterbatasan. Pada akhirnya ya [guru] bisa 24 jam mengajar. Belum lagi masalah kuota, jaringan internet, dan lain-lain. Itu kendala,” jelas dia.

Konsep Luar Biasa

Dihubungi secara terpisah, Anggota Komisi D DPRD Kabupaten Karanganyar, Endang Muryani, mengapresiasi konsep Merdeka Belajar yang dicetuskan Kemendikbud Ristek. Bahkan, Endang menyebut konsep Merdeka Belajar itu luar biasa.

Tetapi, dia berharap pemerintah dapat ambil bagian dalam upaya mewujudkan Merdeka Belajar yang sesungguhnya.

Baca juga: Berangkat dari Data PISA, FJP Ajak 15 Jurnalis Angkat Isu Pendidikan Lewat Jurnalisme Data

“Konsepnya bagus, tetapi mari melihat masalah sumber daya manusia, sarana prasarana. Apakah yang di daerah sudah siap? Ini kan kuncinya metode pembelajaran berubah. Butuh guru dan tenaga pendidik yang kreatif, inovatif, dan mampu memahami kemampuan, karakteristik anak,” tutur dia.

Endang berharap pemerintah setop meluncurkan program tanpa mendukung kesiapan lain, seperti SDM dan sarana prasarana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya