SOLOPOS.COM - Kedung Grujug di Desa Sendangboto, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen. Foto diambil Jumat (11/10/2022). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo)

Solopos.com, SRAGEN — Museum Miri di kompleks SDN 1 Girimargo, Desa Girimargo, Kecamatan Miri, Sragen menjadi salah satu bagian penting dari penelitian arkeolog tentang kehidupan di zaman purba dahulu. Di Museum ini terdapat fosil hewan dan tumbuhan berusia jutaan tahun.

Memang Situs Miri tak sepopuler Situs Sangiran. Namun, Situs Miri ini dirasa tak kalah penting dalam menyumbangkan pengetahuan atas zaman purba dulu, khususnya dari Bumi Sukowati.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Tak jauh dari Museum Miri, tepatnya di Desa Sendangboto, Kecamatan Miri, terdapat Kedung Grujug, air terjun kecil. Untuk bisa sampai ke sana harus melewati medan yang cukup menantang, seperti jalan berkelok-kelok dan cukup terjal.

Tinggi air terjun Kedung Grujug tingginya hanya sekitar lima meter. Namun yang menarik, relief bebatuan di sekitar pancuran airnya seperti pada batu karang di pinggir pantai. Bebatuan tersebut bermotif garis-garis mendaftar, serta terlihat rongga berlubang sebagaimana batu karang.

Kedung Grujug sendiri merupakan bagian dari aliran hulu Kedung Cumpleng. Airnya mengalir ke timur Gunung Kemukus dan bermuara di Waduk Kedung Ombo.

Baca Juga: Cikal Bakal Museum Miri Sragen, Ternyata Rumah Dinas Kepala Sekolah

Warga setempat, Jumadi, menjelaskan motif bergaris dan rongga bebatuan di Kedung Grujug tersebut terbentuk karena diterpa derasnya arus sungai selama puluhan juta tahun.

“Bisa dikatakan pantai jika dilihat dari sisi temuan lapisan permukaan batu. Lapisan dasarnya kalau nggak salah namanya Kalibeng. Di sekitar sini [Kedung Grujug] juga ditemukan fosil akar tumbuhan bakau atau mangrove,” terang penjaga Museum Miri itu.

Berdasarkan penelitian, sambungnya, usia bebatuan tersebut kurang lebih 1,8 juta tahun. Bebatuan tersebut dinamakan bedrock. Situs Miri lebih dulu menjadi daratan daripada di Situs Sangiran yang posisinya lebih rendah. Maka dari itu, fosilnya yang ditemukan di Situs Sangiran lebih tua usianya.

“Ada yang mengatakan bahwa ini [situs iri] dulunya lautan, kebanyakan lapisan ini bukan endapan,” terangnya.

Baca Juga: Tak Banyak yang Tahu Ada Kepingan Surga di Desa Soko Sragen

Dulunya Lautan Dangkal

Dalam catatan di Museum Miri, lokalitas di Miri telah mengalami beberapa fase perubahan lanskap. Mulai dari lautan dangkal, lingkungan pantai, hingga lingkungan daratan yang dihiasi oleh hutan dan rawa-rawa.

Perubahan ini tentunya erat berkaitan dengan dinamika naik turun permukaan air laut, tenaga tektonik dan vulkanik yang menyebabkan tersingkapnya daratan di wilayah ini.

Masih berdasarkan catatan di Museum Miri, pada masa Pleistosen Awal, yaitu sekitar dua juta tahun yang lalu, Miri adalah lautan dangkal. Pengangkatan Perbuktian Kendeng pada masa peralihan dari Pleistosen Awal menuju Pleistosen Tengah, sekitar 800.000 tahun yang lalu, ditambah turunnya muka air laut, menyebabkan tersingkapnya daratan di wilayah ini.

Keunikan bebatuan di Kedung Grujug tersebut menjadikan wilayah tersebut menjadi salah satu destinasi wisata.

Baca Juga: Jejak Pantai Purba di Daratan Miri Sragen

Penjaga loket, Suwarti, mengatakan bebatuan seperti karang tersebut terlihat ketika sungai tidak banjir. “Kedung Grujug semacam jadi wisata pemancingan. Tiap hari ada yang mancing. Lokasi ini dikelola oleh RT setempat. Orang seringkali salah bahwa Kedung Grujug berada di Desa Doyong, padahal di Desa Sendangboto,” terang Suwarti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya