SOLOPOS.COM - Muh. Nursalim (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Penentuan awal waktu Subuh adalah persoalan ijtihadi. Demikian pula jadwal waktu salat yang dipedomani kaum muslimin selama ini juga hasil ijtihad para ulama ahli falak. Yang sudah beredar puluhan tahun di masyarakat adalah jadwal hasil ijtihad para ahli yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Waktu Subuh itu bukan hanya berkaitan dengan salat, juga terkait batas akhir waktu sahur dan mulainya ibadah puasa.

Pada Ramadan yang dimulai Selasa (13/4/2021), perubahan waktu Subuh menjadi sangat berarti, walaupun hanya beberapa menit. Waktu salat memang abadi, berubah hanya disebabkan berganti tanggal. Misalnya, 1 Januari waktu Salat Asar di Sragen selalu pukul 15.10 WIB karena setiap tanggal yang menjadi pertanda tahun baru itu posisi matahari pada waktu Asar selalu sama. Tidak pernah bergeser sedkit pun.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Soal waktu Subuh, jadwal yang dipedomani Kementerian Agama adalah saat ketinggian matahari  -20 derajat. Belakangan jadwal ini dikoreksi dua derajat oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah menjadi -18 derajat. Sebelumnya, ada beberapa koreksi seperti K.H. Zubeir Umar al Jailani dalam kitab Al Khulashah al wafiyah yang menyebut -18 derajat, Muhammad Maksum bin Ali dalam buku Ilmu Falak dan Hisab menyebut -19 derajat.

Yang paling ekstrem adalah pendapat Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Hamka Jakarta, yaitu -13 derajat. Setiap derajat ditempuh empat menit. Ketika selisih tujuh derajat dengan jadwal salat Kementerian Agama  seperti yang disampaikan ISRN berarti akan terjadi perbedaan 28 menit.

Ada pun Majelis Tarjih Muhammadiyah mengoreksi hanya dua derajat sehingga waktu Subuh mundur delapan menit dari jadwal salat yang sudah beredar selama ini. Salat adalah ibadah tauqifi, yaitu ibadah yang tata cara dan teknisnya telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk dalam penentuan waktunya.

Secara teknis Rasulullah Muhammad SAW memberi penjelasan dalam hadis: Dari Abdulah bin Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Waktu Salat Zuhur itu ketika matahari telah tergelincir ke barat ketika itu panjang bayangan sama dengan tingginya seseorang selama belum tiba waktu Asar, waktu Salat Asar adalah selama matahari belum menguning, waktu Salat Magrib adalah selama belum hilang cahaya merah di ufuk barat. Waktu Salat Isya adalah sampai pertengahan malam. Waktu Salat Subuh adalah saat terbit fajar sebelum terbit matahari” (HR Muslim).

Para ulama fikih lalu mengambil konklusi bahwa sudah masuk waktu adalah menjadi syarat sahnya salat fardu. Jika salat dilaksanakan di luar waktu yang ditentukan, salatnya tidak sah. Mengetahui dan menentukan waktu salat menjadi amat penting.

Uraian waktu-waktu salat dari Rasulullah Muhammad SAW tersebut bersifat kualitatif. Hanya efektif ketika langit terang tak berawan sehingga cahaya matahari dapat terlihat. Ketika mendung menggelayut akan kesulitan menentukan kriteria dari indikator waktu-waktu salat tersebut.

Untuk waktu Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya relatif mudah dan jelas memperoleh tanda-tandanya. Sedangkan waktu Subuh adalah yang paling samar, yaitu saat terbitnya fajar. Dalam Al-Qur’an disebutkan terbit fajar adalah ketika orang yang akan puasa harus berhenti makan sahur sebagai berikut: Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam (Al Baqarah: 187).

Saat itu para sahabat mengikat kain putih dan hitam di kaki mereka. Ketika mata sudah dapat membedakan keduanya maka saat itulah makan sahur harus berhenti karena sudah  memasuki waktu Subuh. Dalam sejumlah hadis diceritakan keadaan suasana alam ketika salat Subuh ditunaikan Rasulullah SAW. Aisyah RA telah berkata,”Kami perempuan-perempuan mukmin melaksanakan Salat Subuh beserta Rasulullah SAW dengan menjulurkan kain ke tubuh mereka, kemudian mereka kembali sampai ke rumah masing-masing ketika mereka selesai melaksanakan salat, mereka tidak mengenali satu sama lain karena keadaan masih gelap” (HR Muslim).

Kadang kala Rasulullah SAW juga Salat Subuh dalam keadaan yang lebih terang, sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat berikut. Abu Mas’ud Al Anshari berkata,”Dan beliau Rasulullah SAW Salat Subuh pada saat gelap pada akhir malam, kemudian beliau salat pada kesempatan lain ketika mulai terang. Kemudian setelah itu salat beliau dilakukan saat gelap dan itu dilakukan sampai wafat dan beliau tidak lagi melakukannya pada waktu hari telah terang” (HR Abu Dawud).

Beberapa hadis tersebut menjelaskan kebiasaan Nabi Muhamamd SAW menjalankan Salat Subuh saat ghalas, yaitu alam masih gelap sehingga kalau ada dua orang berpapasan tidak bisa mengenali wajah. Walaupun demikian, Rasulullah SAW juga pernah Salat Subuh ketika keadaan sudah terang.

Ulama ahli falak kemudian melakukan riset dengan berpedoman kepada ayat dan hadis-hadis tersebut. Untuk memudahkan kaum muslimin ketika akan menjalankan salat fardu keluarlah jadwal salat seperti yang saat ini kita nikmati. Khusus untuk waktu Salat Subuh peluang berbeda memang sangat mungkin. Penulis kitab Raudhatut Talibin membagi waktu Subuh itu menjadi empat; yaitu waktu utama pada awal, waktu ihtiyar sampai menguning, waktu jawaz dengan tidak makruh ketika sampai memerah, dan waktu jawaz dengan karahah ketika terbit warna merah.

Abdurahman Al Jaziri dalam kitab Al Fiqhu ala Madzahabil ‘Arba’ah menulis bahwa  ulama Malikiyah membagi waktu Subuh menjadi. Pertama, waktu ihtiyari yang dimulai ketika  terbit fajar shodiq sampai warna kuning yang nyata dilihat oleh mata manusia dan sinar bintang mulai redup. Kedua, waktu dharuri yakni waktu ketika langit berwarna kuning sampai terbitnya matahari. Ketika perbedaan menentukan waktu Subuh ini masih dalam wacana, kaum muslimin tidak ada masalah. Mereka masih dapat guyub rukun menjalankan salat Subuh di masjid secara berjemaah.

Ikamah

Saat Ramadan, koreksi waktu Subuh ini diberlakukan dalam wujud jadwal Imsakiah Ramadan. Seperti kita ketahui bahwa pada Muyswarah Nasional Tarjih Muhammadiyah 29 November-20 Desember 2020 diputuskan kriteria awal Subuh berdasarkan acuan -20 derajat perlu dikoreksi menjadi -18 derajat. Waktu Subuh mundur delapan menit. Agar tidak terjadi gejolak di kalangan umat dan mereka tetap dapat salat berjemaah di masjid yang sama, perlu kiranya kearifan para pemangku kepentingan. Terutama para takmir masjid.

Misalnya, jika azan Subuh tetap dikumandangkan mengacu jadwal salat dengan kriteria matahari -20 derajat, kumandang  ikamah dilakukan 15 menit kemudian. Langkah ini akan dapat mengakomodasi jemaah yang mengikuti ijtihad Majelis Tarjih. Selama ini interval waktu antara azan dan ikamah di sejumlah masjid hanya tujuh menit hingga 10 menit. Bagi warga Muhammadiyah, jarak itu terlalu pendek, bahkan bisa jadi mereka akan salat sebelum masuk waktu yang menjadikannya tidak sah.

Dengan jarak antara azan dan ikamah 15 menit, warga Muhammadiyah dapat mengikuti salat jemaah Subuh dan masih bisa salat qabliyah Subuh. Sebaliknya di masjid yang dipakai untuk umum, warga Muhammadiyah juga tidak perlu memaksakan diri menunda azan Subuh delapan menit sesuai putusan Majelis Tarjih. Hal itu akan menimbulkan reaksi dari jemaah lain yang tetap berpedoman dengan jadwal salat yang dibuat Kementerian Agama. Di samping itu, karena memasuki Ramadan, sebaiknya juga tidak perlu mengumandangkan imsak sebagai tanda akan berakhirnya waktu sahur karena dapat  menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Hukum Islam mengenal tsawabit dan mutaghayirat. Tsawabit adalah yang tetap tidak boleh berubah, adapun mutghayirat adalah sesuatu yang boleh berubah. Salat adalah tsawabit, dalam keadaan apa pun seorang muslim harus menjalankannya. Tetapi teknis pelaksanannya dapat berubah menyesuaikan keadaan. Misalnya, bagi yang tidak dapat berdiri boleh duduk, tidak bisa duduk boleh berbaring.

Pada awal pandemi Covid-19, Komisi fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang sangat ekstrem tentang salat. Yaitu, bagi para tenaga kesehatan yang harus memakai alat pelindung diri dan tidak boleh lepas boleh salat tanpa berwudu. Seandainya ia dalam keadaan najis karena kencing di diapers, salatnya tetap sah. Ijtihad Majelis Tarjih tentang koreksi waktu Subuh adalah bagian dari hal mutaghayirat. Bisa berubah sesuai dengan data ilmiah baru. Faktanya, sama-sama dari unsur Muhammadiyah antara ijtihad ISRN Uhamka Jakarta berbeda dengan Majelis Tarjih Pusat.

Kebenaran hasil ijtihad itu tidak mutlak. Di samping itu ijtihad seorang ulama tidak bisa menghapus ijtihad ulama lainnya. Masing-masing dipersilakan mengamalkan hasil ijtihadnya. Kata Nabi, jika seorang mujtahid melakukan ijtihad dan benar, baginya dua pahala. Sebaliknya bila seorang ulama melakukan ijtihad tetapi salah ia tetap dapat pahala walaupun hanya satu.

Dengan munculnya ijtihad baru tentang waktu Subuh ini, muslimin diharapkan guyub rukun dan salat berjemaah Subuh seperti biasa. Untuk mengakomodasi warga Muhammadiyah, alangkah baiknya kumandang ikamah diundur beberapa menit. Dari yang semula 10 menit menjadi 15 menit. Hal ini agar jemaah merasa lega karena yakin mereka menjalankan salat pada waktu yang ditentukan.  Wallahu alam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya