SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Keadaan pluralisme bangsa adalah realita hidup sosial budaya kita. Hal ini terjadi nyata di lingkungan kehidupan masyarakat kita. Fenomena ini berarti merupakan fenomena ekologi masyarakat Bangsa Indonesia. Masyarakat kita adalah majemuk, multietnik dan multikultural. Hanya saja menurut saya, sayang secara sosiologis ke depan bangsa kita belum memiliki kesatuan visi kehidupan bersama yang demikian. Keadaan kita sangat beragam dalam kontinum yang cukup panjang, sehingga sangat sulit untuk dapat kita gerakkan bersama-sama.

Saya kira, kesalahan kita ialah kita selalu menggunakan pendekatan sentralistik dan uniform dalam membangun masyarakat. Keanekaragaman bangsa kita diakui tapi tidak ada diversifi kasi pendekatan pemberdayaannya. Hasilnya hanyalah menimbulkan konfl ik di antara masyarakat itu sendiri. Konfl ik terjadi karena adanya berbagai kesenjangan, ialah kesenjangan antara si kaya dan miskin, kesenjangan antara masyarakat yang dapat mengikuti pendidikan dan tidak, kesenjangan status sosial, yang kesemuanya itu berdampak terhadap
terjadinya kesenjangan sikap mental antar kelompok masyarakat. Akhirnya terjadi keadaan masyarakat yang beragam sekaligus penuh dengan berbagai perbedaan yang dapat menjadi sumber konflik.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam kehidupan masa kini, saya melihat kita menggunakan pandangan fi losofi think globally, act locally. Tapi kehidupan global itu telah mewarnai persepsi ekologi kehidupan kita. Sehingga mental kita tidak dapat membedakan dan memisahkan diri dari dampak globalisasi itu dan perlunya kita memahami budaya lokal.

Interaksi antara dampak dan respons ekosistem sosial budaya kita itu pengaruhnya dalam mengontrol perkembangan anak lebih lanjut yang tergantung kepada modal budaya dasar kita
masing-masing. Kecuali lingkungan global faktor yang menjadi komponen ekosistem sosial budaya lokal kita adalah keluarga, tetangga, sekolah, masyarakat luas, keadaan geografi lokal kita, sejarah masyarakatnya, politik kenegaraannya, dan lain lain.

Kesemua komponen ekosistem itu mempengaruhi sikap mental dan penampilan kita sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Berbeda dengan keadaan masyarakat yang telah menjadi realita masyarakat kita, keadaan individu kita merupakan produk interaksi antara diri kita sendiri dengan keadaan lingkungan kita, yang mewarnai karakter kita masing-masing.

Karakter tidak bergerak secara isolasi tapi terjadi dari asimilasi kombinasi diri kita dengan dampak ekologis masyarakat kita. Antara keadaan multikultural dan karakter merupakan sisi berbeda yang penggarapannya dapat menggunakan pendekatan berbeda pula.

Pendekatan dari interaksi gejala sikap mental dengan gejala sosio-ekologis ini dapat dipersoalkan dalam konteks psikologi sosial, suatu gejala jiwa yang menyikapi fenomena masyarakat.

Kita membangun karakter anak yang belum berkembang justru melalui pendekatan sosiokultural kita yang telah menjadi kenyataan hidup kita. Saya rasa, realita yang nyata yang kita hadapi adalah realita sosio-kultural sebagai masyarakat yang majemuk. Sedangkan yang kita bangun sebenarnya adalah karakter anak, yakni membangun sikap mental mereka dalam menyikapi kehidupan yang majemuk itu.

Sehingga ada dikotomi antara realita hidup masyarakat dengan status budaya dasar dan arah perkembangan karakter anak-anak kita dalam menyikapi kehidupan yang majemuk itu. Anak dengan status budaya dasar masing-masing sebagai pelaku pengembangan, dan sikap mental menghadapi realita kehidupan majemuk itu sebagai motivasi tujuan atau pencapaian pembangunan karakter anak-anak bangsa yang kita harapkan.

Saya berpendapat, bahwa penerapannya dalam pendidikan, sasaran pengkajiannya memerlukan beberapa pertimbangan ialah: Pertama, dari realita kehidupan yang tampak jelas menuju
ke realita kehidupan yang tidak jelas. Kedua, dari realita kehidupan yang sederhana menuju realita kehidupan yang kompleks.

Ketiga, dari realita kehidupan yang menarik menuju realita kehidupan yang kurang menarik. Dan, keempat, dari realita kehidupan yang dekat menuju ke realita kehidupan yang jauh.
Adapun contoh kisi-kisi membangun kurikulumnya pendidikan multikultural menurut saya adalah sebagai berikut:

No. Substansi sosial-budaya( Sasaran Kajian) Tujuan (Perolehan)
Pengembangan karakter
1 Keadaan masyarakat sekitar kita Pemahaman rasional
2. Perbedaan yang sulit dipadukan Pemahaman emosional
3. Syarat membangun persatuan dan kesatuan bangsa Pemahaman rasional dan emosional
4. Syarat membangun kebersamaan Pemahaman instituisional
5. Kemajemukan etnik dan kultural, mana kebih sulit? Pemahaman emosional dan rasional
6. Multikulturalisme sebagai budaya lokal Pemahaman rasional
7. Kecepatan adopsi budaya lokal dan budaya global Pemahaman emosional dan rasional
8. Multikulturalisme sebagi bidang kebudayaan, bidang politik dan fi lsafat Pemahaman rasional dan emosional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya