SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO--Surplus tidak selalu berarti baik-baik saja. Lihat saja neraca perdagangan kita. Pada September, neraca perdagangan Indonesia surplus lagi selama 5 bulan berturut-turut.

Kali ini surplus perdagangan mencapai US$2,44 miliar, lebih besar dibandingkan dengan surplus pada Agustus sebesar US$2,3 miliar.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Bukan cuma angka bulanan, neraca perdagangan periode Januari-September juga surplus. Angkanya mencapai US$13,51 miliar. Padahal, pada periode sembilan bulan pertama tahun 2019 lalu, neraca perdagangan Indonesia defisit besar. Coba tebak, apa penyumbang surplus yang terjadi sejak Mei itu?

Sudah bisa diduga, penyumbang utama surplus neraca perdagangan itu adalah penurunan impor yang cukup drastis. Pada kurun waktu sembilan bulan pertama tahun ini, impor mencapai US$103,68 miliar. Angka itu turun 18,15% dibandingkan dengan periode Januari-September 2019.

Fitch Rating Indonesia Kembali Naikkan Peringkat Bank Bukopin

Pantesan. Surplus neraca perdagangan Indonesia itu tiba-tiba bengkak. Faktanya, ekspor tidak mengalami lonjakan berarti. Data BPS menyebutkan, ekspor pada September tahun ini memang naik hampir 7% dibandingkan dengan Agustus.

Kenaikan ekspor pada Agustus terjadi terutama karena dunia mulai membuka diri. Terutama pasar China, yang pulih lebih cepat dari pandemi Covid-19.

Namun, jika dihitung selama sembilan bulan ini hingga September, ekspor turun 0,51%. Periode terburuk adalah pada posisi Mei hingga Juli.

Apalagi kalau dijumlahkan volume perdagangan internasional kita, angkanya malah turun signifikan. Dari US$251,1 miliar menjadi US$220,87 miliar, atau anjlok 12% selama sembilan bulan pertama tahun ini.

Ini karena hampir semua negara mengunci diri akibat pandemi, sejak WHO menyatakan status Covid-19 sebagai pandemi global pada Maret tahun ini. Dampaknya tentu sangat besar, apalagi di era di mana integrasi ekonomi global sudah sedemikian dalam.

Turun Signifikan

"Global lockdown" ini berdampak pada mobilitas orang dan barang, yang turun sangat signifikan. Bukan cuma perdagangan, lihat saja kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Turis juga anjlok drastis.

Selama periode Januari-Agustus tahun ini, kunjungan turis asing ke Indonesia hanya tercatat 3,41 juta. Angka itu turun 68,17% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 sebanyak 10,71 juta turis. Bahkan sangat jauh di bawah kunjungan turis asing tahun 2019 yang mencapai 16,3 juta wisatawan. Dampaknya tentu saja ke mana-mana.

Pengamat Nilai UU Cipta Kerja Perkuat Pertanian Dan Pangan Dalam Negeri

Lihat saja, tingkat hunian kamar hotel klasifikasi bintang juga terpapar. Sekadar contoh, pada Agustus rata-rata tingkat hunian hotel klasifikasi bintang hanya 32,93%. Itu berarti turun 21,21 poin dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2019 yang tercatat sebesar 54,14%.

Secara makro pendapatan devisa pariwisata tentu saja anjlok drastis. Bappenas membuat hitungan, devisa pariwisata tahun ini hanya akan mencapai maksimal US$4 miliar. Anjlok drastis!

Padahal, sebelum pandemi Covid-19 terjadi, Kementerian Pariwisata menargetkan perolehan devisa pariwisata tahun ini bakal mencapai US$21 miliar.

Juga ditargetkan devisa senilai US$23 miliar dari ekonomi kreatif. Devisa ekonomi kreatif ini juga banyak yang terkait dengan pariwisata. Dengan kata lain, perolehan surplus perdagangan tak sebanding dengan kehilangan devisa di sektor pariwisata yang sangat besar.

Jalan Tembus Manyaran-Selogiri Wonogiri Sudah Jadi, Bisa Hemat Waktu 45 Menit

Berbagai Sudut Pandang

Maka, 2T ini memang perlu diselamatkan. Tentu bukan merujuk pada angka Rp2 triliun. Sengaja saya pakai singkatan itu untuk Trade dan Tourism. Perdagangan dan Pariwisata. Bisa saja pakai istilah Melayu, 2P. Tapi kok kedengarannya nggak seksi.

Nah, mengapa 2T ini begitu penting? Lihat saja keadaan dunia sekarang. Setelah lebih dari 7 bulan pandemi Covid-19 ini. 2T ini benar-benar tenggelam. Negara-negara yang ekonominya bergantung pada 2T, praktis terpuruk sangat dalam. Sebut saja Thailand dan Singapura.

Pemerintah Thailand memprediksikan pertumbuhan ekonomi -7,5% hingga 8,5% tahun ini. Pada kuartal kedua tahun ini, ekonomi Thailand anjlok 12%. Ini karena ekspor dan pariwisata Thailand hancur-hancuran.

Apalagi Singapura. Pada kuartal kedua tahun ini, ekonomi Singapura sudah merosot tajam hingga -41,2%, sehingga secara tahunan pertumbuhan ekonomi minus 13%.

Negeri jiran yang berpenduduk hanya sekitar 6 juta jiwa ini sangat tergantung kepada perdagangan internasional dan pariwisata. Dan faktanya, semuanya anjlok. Bahkan sekror jasa yang menopang negeri itu turun hingga 97%.

Indonesia, yang mengalami surplus perdagangan dan anjlok di pariwisata juga merasakan getirnya resesi. Tahun ini, diproyeksikan ekonomi akan mengkerut, dengan pertumbuhan -1,5% hingga -1,7%.

Angka-angka itu tentu dapat dimaknai dengan berbagai sudut pandang. Bagaimanapun, saya percaya, Indonesia lebih banyak ditopang oleh kekuatan ekonomi domestik, sehingga dampak resesi tidak seburuk jiran Singapura maupun Thailand.

Namun begitu ekonomi global kembali sepenuhnya membuka diri saat pandemi terlewati, dua jiran itu akan pulih lebih cepat tatkala 2T kembali bekerja maksimal. Dan, seperti biasa, Indonesia mendapatkan manfaat di belakang.

Relevan

Dalam konteks pengendalian pandemi Covid-19, kisah ekonomi ini jadi relevan. Apalagi, pandemi Covid-19 ini tidak ada presedennya di dunia modern, di mana globalisasi dan integrasi ekonomi dunia sudah sedemikian dalam seperti hari ini.

Karenanya wajar jika terjadi eksperimentasi kebijakan. Coba-coba, tentu dengan dasar pertimbangan yang logis. Bahkan pragmatis. Karena itu, "trial and adjust" lumrah saja dan normal saja terjadi dalam pendekatan kebijakan melawan pandemi Covid-19 ini.

Sebagai eksperimentasi kebijakan, tentu tidak ada yang salah dan benar. Yang pasti, untuk menyelamatkan 2T, kita harus lebih disiplin dalam protokol kesehatan, agar rasa aman melakukan kegiatan produktif semakin kuat. Begitu pula rasa aman mengunjungi Indonesia, pada saatnya nanti semakin terbangun.

Meski agak terlambat, untungnya kampanye gerakan disiplin terhadap protokol kesehatan melawan Covid-19 kini gencar dilakukan: Pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak.

Jika berhasil, Indonesia akan mendapatkan manfaat lebih besar untuk momentum pemulihan. Sebaliknya, jika tidak, Indonesia akan gagal memanfaatkan momentum pemulihan dengan maksimal.

Luar Biasa! Gadis Lumpuh Ini Dapat Mencapai Puncak Gunung Olympus Di Yunani

Masih Beruntung

Kita sebenarnya masih beruntung, karena di tengah pandemi ini, Indonesia menginisiasi sebuah perubahan besar, yakni pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Saya menganggap, UU Cipta Kerja ini menjadi momentum perubahan besar. Meringkas dan memangkas berbagai aturan yang saling bertubrukan dan bertabrakan.



Dengan itu, investasi yang mangkrak tahunan karena kendala perizinan, birokrasi yang ruwet, pertanahan dan perburuhan, moga-moga saja bisa dihidupkan kembali. Juga membuka kedatangan investasi baru. Geliat investasi inilah yang akan menjadi mesin utama untuk menciptakan pekerjaan bagi masyarakat yang membutuhkan.

Saya sepakat dengan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Karena aneka keruwetan iklim bisnis di Indonesia selama ini, banyak investasi yang tak dapat direalisasikan. Nilainya bahkan hampir mencapai Rp800 triliun, mangkrak dalam beberapa tahun terakhir.

Bahlil bahkan bilang, sampai "ayam tumbuh gigi" pun rasanya investasi mangkrak itu tak akan terealisasi kalau hal-hal yang membuat aneka keruwetan iklim bisnis tidak dibereskan.

Dalam konteks itulah saya sepakat, UU Cipta Kerja menawarkan perubahan besar. Karenanya, saya mencoba menebak jalan pikiran Pak Jokowi, panggilan populer Presiden Joko Widodo.

Daripada membiarkan investasi yang mangkrak semakin beranak pinak, lebih baik mengupayakan perubahan, dengan inisiatif UU Cipta Kerja. Mesti tidak disukai. Dan pasti tidak populer.

Apabila eksperimen kebijakan ini berhasil, maka masa depan anak Indonesia akan menjadi lebih baik, karena pekerjaan lebih tersedia. Dengan makin banyak orang yang bekerja, maka daya beli masyarakat akan jauh lebih baik lagi, yang akan memperbesar kapasitas ekonomi.

Maka, jika dilengkapi dengan keberhasilan dalam pengendalian pandemi Covid-19, Indonesia akan kembali masuk layar radar global kembali. Rasanya, kita tak perlu cemas berkepanjangan. Tak perlu khawatir ekonomi akan kian terkapar.

Nah, bagaimana menurut Anda?







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya