SOLOPOS.COM - Agung Pambudi, Mahasiswa Fakutas Hukum Universitas Sebelas Maret. Alumni Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS) . FOTO/Istimewa

Agung Pambudi, Mahasiswa Fakutas Hukum Universitas Sebelas Maret. Alumni Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS) . FOTO/Istimewa

Kecelakaan di jalan raya makin sering terjadi.  Setelah kecelakaan dahsyat di Tugu Tani Jakarta Pusat yang memakan 9 korban jiwa, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan kecelakaan lain yang tak kalah tragisnya. Jumat, 10 Februari 2012, di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat bus Karunia Bhakti mengalami kecelakaan beruntun yang menyebabkan 14 orang tewas dan 47 orang terluka.
Banyaknya kecelakaan yang terjadi harus memantik pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terkait agar melakukan evaluasi dan perbaikan. Kompleksitas penyebab kecelakaan sangat tinggi. Sebagian di antaranya, jumlah kendaraan yang beredar di pasaran semakin meningkat. Akses masyarakat untuk mendapatkan kendaraan semakin mudah. Kredit kendaraan bermotor yang lunak semakin menambah parah kondisi lalu lintas di Indonesia. Apalagi sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif semakin memperburuk situasi.
Ibarat api disiram bensin, semakin menjadi-jadi. Sementara itu, sarana dan prasarana lalu lintas masih banyak yang tak layak. Jalan yang kurang baik dengan rambu yang kurang. Hal-hal ini hanya sebagian kecil faktor penyebab kecelakaan. Yang tak kalah penting sebagai faktor penyebab kecelakaan adalah sistem pengujian kelayakan kendaraan bermotor tak bisa dipertanggungjawabkan, pekat dengan kongkalikong.
Kecelakaan di jalan raya sepertinya sudah menjadi fenomena yang jamak terjadi di masyarakat. Korban pun akhirnya berjatuhan, tidak hanya harta-benda, tetapi nyawa pun turut menjadi korban. Padahal peraturan mengenai lalu lintas selalu diperbarui dan beragam. UU No 20/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah peraturan tebaru yang mengatur lalu lintas, belum lagi peraturan turunannya.
Sepertinya sudah terlalu banyak peraturan yang mengatur, akan tetapi tidak serta-merta menurunkan angka kecelakaan di jalan raya. Persyaratan bagi pengemudi kendaraan bermotor untuk  memiliki surat izin mengemudi (SIM)) dari kepolisian juga belum terbukti efektif menurunkan angka kecelakaan. Faktanya, kecelakaan terjadi bukan hanya karena cakap atau ketidakcakapan pengemudi dalam berkendara. Banyak faktor yang berpengaruh dalam kecelakaan, di antaranya pengemudi, kendaraan,rambu, cuaca dan sebagainya.
Perlu diketahui, SIM hanya menekankah teori-teori dasar berkendara. Bagaimana cara mengemudikan kendaraan yang aman. Padahal, dalam berkendara di jalan raya, pengemudi tidak hanya dituntut membutuhkan kemampuan mengemudi. Lebih penting lagi, pengemudi harus mempunyai etika berkendara. Kemahiran pengemudi dalam menjalankan etika berkendara inilah yang paling berperan dalam meminimalkan kecelakaan di jalan raya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sikap
Etika berkendara berisi bagaimana cara pengemudi bersikap di jalan raya. Dalam berkendara, pengemudi harus menjaga keselamatannya sendiri, penumpang, pengguna jalan lainnya dan pengemudi kendaraan lainnya sehingga seluruh pengguna jalan dapat beraktivitas dengan baik, benar, aman dan nyaman. Kesadaran terhadap keselamatan dan kenyamanan bersama inilah tujuan dari etika berkendara.
Namun, etika berkendara sangat susah diterapkan sebagian besar pengendara sewaktu di jalan raya. Kemampuan untuk berbagi ruang di jalan raya sepertinya masih sulit terjadi. Rasa egois dan tidak mau mengalah justru sering muncul di jalan raya.
Etika berkendara mempunyai nilai lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang mengatur lalu lintas. Pada dasarnya sebagian etika berkendara tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu. Permasalahannya, apakah masyarakat mau menjalankan peraturan tersebut? Itu yang menjadi pertanyaan besarnya.
Situasi sosial masyarakat sangat erat hubungannya dengan etika berkendara. Pelanggaran terhadap peraturan dapat dengan mudah dijumpai. Kita dapat dengan mudah menemukan pengemudi berhenti melewati marka jalan sewaktu lampu merah pengatur lalu lintas menyala, menerobos lampu merah, memakai jalur pejalan kaki dan sebagainya. Kemampuan masyarakat untuk menaati peraturan masih lemah. Secara otomatis kesadaran terhadap etika berkendara juga masih lemah.
Kesadaran masyarakat untuk menjalankan etika berkendara yang kurang dan diperparah dengan kondisi manajemen transportasi yang buruk merupakan cermin buruknya transportasi di Indonesia. Kemacetan lalu lintas semakin memperparah kondisi fisik dan psikis pengendara. Berdasarkan penelitian kepolisian, pengemudi hanya dapat tetap fokus berkendara selama delapan jam per hari, dengan catatan harus istirahat setiap empat jam. Faktanya, di kota-kota besar yang mengalami kemacetan parah, sangat dimungkinkan pengemudi mengendarai kendaraan lebih dari delapan jam. Keadaan inilah yang semakin memperbesar risiko kecelakaan.

Ekspedisi Mudik 2024

Doktrin
Etika berkendara pertama kali harus ditumbuhkan di keluarga. Lingkungan keluarga memungkinkan terjadi transfer nilai. Di keluarga dapat dengan mudah menanamkan etika berkendara. Dengan kata lain, doktrin etika berkendara mudah diserap dan tertanam kuat. Media bahasa dalam keluarga lebih ringan dan mudah dipahami sehingga doktrin etika berkendara dapat diterima dengan bagus.
Tahap selanjutnya, doktrin etika berkendara harus dikembangkan  melalui pemangku kepentingan terkait. Lembaga pendidikan adalah media yang paling mumpuni untuk menebarkan doktrin secara efektif. Dengan memberikan pelajaran mengenai bidang lalu lintas, para generasi muda diharapkan menguasai etika berkendara dengan baik sehingga mereka dapat menerapkan etika berkendara.
Mereka sekaligus sebagai agen penebar doktrin etika berkendara dalam pergaulan di masyarakat. Dengan konsep doktrin berkendara yang berantai diharapkan dapat menekan angka kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas adalah permasalahan bersama.
Semua pihak harus ikut berperan serta dalam menanggulangi kecelakaan di jalan raya. Kita semua harus sepakat bahwa kecelakaan lalu lintas adalah tanggung jawab kita bersama. Masyarakat, pemangku kepentingan terkait dan pemerintah harus saling bekerja sama memecahkan dan mengurai permasalahan kecelakaan dijalan raya.
Etika berkendara yang baik harus selalu ditanamkan pada semua pengendara. Sarana dan prasarana lalu lintas harus terus diperbaiki. Hanya dengan upaya itulah kecelakaan dapat diminimalisasi. Terlepas dari kecelakaan adalah takdir Tuhan, sebagai manusia kita bisa berusaha meminimalisasi.
Di Kota Solo, slogan yang sering diperdengarkan sewaktu lampu merah pengatur lalu lintas menyala harus senantiasa dijalankan. Tertib berkendara adalah cermin budaya wong Solo. Slogan yang padat, singkat dan jelas, akan tetapi bernilai mendalam. Semoga kecelakaan bus Karunia Bhakti dapat dijadikan pelajaran berharga dan kita dapat mengambil hikmahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya