SOLOPOS.COM - Munawir Yusuf (Istimewa/edc.fkip.uns.ac.id)

Solopos.com, SOLO -- Situasi pendidikan di sekolah pada semester II 2019/2020,  terutama kondisi pada Maret-Juni 2020, menjadi pelajaran yang sangat berharga. Dampak pandemi Covid-19 memaksa praktik pendidikan berubah 180 derajat dari pendekatan luring ke pendekatan daring.

Semua pihak permisif dengan praktik pendidikan persekolahan dan  sedikit banyak telah mengorbankan prinsip-prinsip dan standar mutu pelayanan pendidikan yan berlaku di setiap sekolah pada waktu itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pandemi Covid-19 telah memaksa pelaku pendidikan melakukan berbagai inovasi teknologi pembelajaran baru untuk memenuhi kebutuhan pendidikan melalui pembelajaran daring. Hampir semua pihak, guru, siswa, orang tua--khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah--merasakan betapa pendidikan daring tidak efektif.

Hampir semua pemangku kepentingan pendidikan menginginginkan segera kembali ke pembelajaran tatap muka/luring, ke pendidikan normal lagi. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan hanya sekitar 6% dari seluruh wilayah kabupaten/kota di Indonesia yang memungkinkan dapat menyelenggarkan pembelajaran normal lagi.

Dalam situasi tidak menentu, dalam jangka waktu tidak terbatas, kekhawatiran bertambah dan tidak ada kepastian bagaimana kebijakan pendidikan harus dipilih. Orang tua yang berubah peran menjadi “guru” di rumah mulai jenuh dan lelah. Demikian juga siswa dan guru.

Semua berharap situasi segera normal lagi sehingga pembelajaran tatap muka dapat segera dilaksanakan di sekolahan. Kemeneterian Pendidikan dan Kebudayaan belum menetapkan sampai kapan batas pembelajaran jarak jauh (PJJ) diterapkan. Semua dalam situasi yang penuh ketidakpastian.

Kita khawatir dunia pendidikan akan semakin jauh dari mutu yang diharapkan. Kita khawatir ada generasi yang kehilangan jati diri karena sekurang-kurangnya setahun berada dalam situasi pendidikan yang penuh ketidakpastian.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) atau penyandang disabilitas (meskipun tidak sepenuhnya tepat) termasuk kelompok yang paling rentan terdampak Covid-19. Dengan segala keterbatasan, mereka memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang lain, terutama orangtua, guru, terapis dan/atau pendamping.

Sesuai UU No. 8/2016, penyandang disabilitas dikelompokkan menjadi disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, disabilitas sensori, dan/atau gabungan dari beberapa jenis disabilitas. Semua jenis disabilitas tersebut termasuk kelompok yang paling rentan terjadi degradasi pendidikan akibat Covid-19.

PJJ yang berkepanjangan yang berakibat pusat pendidikan bergeser dari sekolahan ke rumah dapat merusak perolehan pendidikan ABK. Pembelajaran yang telah dibangun bertahun-tahun di sekolahan bisa hilang karena tidak terjadi kesinambungan dengan pembelajaran di rumah.

ABK tidak hanya butuh pengetahuan, tetapi juga butuh interaksi langsung dengan orang yang dipercaya, butuh sentuhan, nasihat dan bimbingan yang intensif dari guru dan pengasuh di sekolahan.

Terputusnya komunikasi dan interaksi langsung antara guru dengan ABK secara berkepanjangan berdampak sangat serius, seperti tidak ada gairah lagi untuk bersekolah atau jika semangat bersekolah masih ada semua harus dimulai dari nol lagi.

Evaluasi

Hasil evaluasi faktual (Yusuf, dkk., 2020), menemukan banyak guru sekolah luar (SLB) biasa maupun guru pembimbing khusus di sekolah inklusi kesulitan memilih media belajar yang sesuai untuk ABK, terutama untuk ABK kategori tunagrahita, down syndrome,  dan autis.

Sebagian besar dari mereka, selain kebutuhan pendidikan, juga butuh terapi dan/atau perawatan khusus. Orang tua ABK banyak yang kebingungan. ABK tidak mau diajari orang tua dan ingin segera bisa bertemu dengan guru. Pembelajaran cenderung sekadarnya sehingga para guru merasa PJJ tidak efektif.

Tingkat keterlaksanaan PJJ di SLB kurang dari 80%. Ini sangat mengkhawatirkan. Meskipun PJJ bagi ABK pada semester ini tetap berlangsung, dalam kenyataan banyak yang ala kadarnya, sekadar menggugurkan kewajiban. Memang mulai muncul terobosan-terobosan baru dari para guru dalam mengatasi berbagai kendala.

Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil siswa yang berdekatan tempat tinggal agar dapat saling memanfaatkan fasilitas teknologi informasi bersama, guru mengunjungi rumah door to door secara selektif, dan lain-lain, namun upaya-upaya itu tidak mengatasi persoalan mendasar kebutuhan pendidikan ABK.

Mereka tidak hanya butuh pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesuai yang ditargetkan dalam kurikulum sekolah, tetapi yang jauh lebih penting adalah kebutuhan membangun semangat dan motivasi belajar serta melatih kemandirian mereka sesuai jenis disabilitas.

Perlu dibuat panduan pembelajaran khusus bagi ABK yang menerapkan sistem pembelajaran perpaduan antara daring dan luring. Pembelajaran bagi ABK tidak bisa hanya mengandalkan model daring, tetapi harus dengan blended learning yang memadukan PJJ dan tatap muka. Anak-anak dengan keterbatasan intelektual, autis, dan difabilitas gandamasih membutuhkan tambahan layanan terapi dan pelatihan-pelatihan khusus untuk menunjang activities of dayli living (ADL).

Secara bertahap harus dibuka kemungkinan ABK (dengan didampingi orang tua/pendamping) dipertemukan dengan guru dan lingkungan sekolah.  Paling tidak satu atau dua pekan sekali secara selektif dan bergiliran siswa masuk ke sekolahan dengan durasi waktu belajar yang dipersingkat.

Bagi siswa yang lain yang belum memugkinkan,  guru dapat melakukan home visit untuk melakukan pembelajaran langsung door to door secara individual atau dalam bentuk kelompok-kelompok kecil yang berdekatan tempat tinggalnya.

Pemerintah harus menyediakan sumber belajar yang sesuai dan mudah diakses dengan tuntutan kurikulum berbasis jenis ketunaan, misalnya tunanetra dengan materi pembelajaran audio, tunarungu disediakan materi yang dilengkapi video tetapi dengan  narasi tertulis, dan sebagainya.

Sekolah pada Umumnya

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terkait dengan rencana implementasi pendidikan di sekolah pada umumnya. Pertama, perlu dibuat standar normatif kurikulum fleksibel selama masa pandemi dan transisi menuju kenormalan. Dalam menuju  masa normal, waktu belajar diperpendek, pembatasan-pembatasan juga diberlakukan.

Fleksibilitas kurikulum harus dimungkinkan. Fleksibilitas ini tetap mengacu standar kurikulum nasional agar tidak terjadi pola pembelajaran seadanya. Kalau kelonggaran kurikulum ini tidak diatur akan berdampak pada kualitas proses dan mutu lulusan.

Harus ada kebijakan mengatur mekanisme monitoring dan supervisi serta pengendalian mutu proses PJJ maupun tatap muka yang dilakukan oleh guru di setiap satuan pendidikan. Peran kepala sekolah dan pengawas sangat penting dan perlu lebih diatur.

Kedua, pemerintah daerah diberi otoritas untuk melakukan langkah-langkah penyelenggaraan sekolah tatap muka dengan perencanaan yang tegas dan tidak membingungkan. Misalnya, di setiap kecamatan yang aman mulai membuka kelas-kelas tatap muka sebagai percontohan dengan waktu belajar yang dipersingkat.

Ini untuk membantu masyarakat mempersiapkan masa normal. Tentu dengan tetap mempertimbangkan protokol kesehatan. Sekarang kondisi psikologis guru, orang tua, dan siswa, bahkan masyarakat, secara kolektif pada umumnya semakin tidak peduli dengan apa yang tejadi di lingkungan sekitar.

Masyarakat belajar dari ketidakpastian kebijakan pendidikan yang berkepanjangan sehingga menimbulkan “masyarakat masa bodoh” dan ini sangat berbahaya bagi kemajuan pendidikan pada masa yang akan datang.

Ketiga, pengelola sekolah harus dengan tegas menetapkan guru mulai menerapkan PJJ dari sekolahan (bukan dari rumah) agar terjadi interaksi dan diskusi dengan para guru yang lain ketika terjadi masalah pembelajaran. Gurulah yang mestinya sangat kita percaya akan mampu menjadi contoh dalam menjaga dan menerapkan protokol kesehatan. Semua guru seharusnya sudah mulai bekerja di sekolahan, bukan di rumah.

Keempat, saat ini banyak yang mengalami kesulitan mengakses sumber belajar yang disediakan pemerintah. Perlu diperbanyak sumber belajar yang sifatnya open source yang setiap orang dengan mudah bisa mengakses. Jangan terlalu terikat kepada satu management learning system  tertentu.

Penggunaan media radio dan bahkan televisi lokal yang khusus untuk pembelajaran daring pada masa pandemi, atau pascapandemi, seharusnya dapat dikembangkan di setiap daerah terutama untuk mengatasi siswa yang terhambat koneksi Internet atau keterbatasan  fasilitas smartphone, laptop, dan pulsa.

Kelima, persoalan sistem evaluasi pembelajaran jangan diabaikan. Jika sistem evaluasi pembelajaran tidak tegas, hasil evaluasi belajar di rRapor akan banyak yang semu. Kita sulit memercayai portofolio pekerjaan anak, apakah merupakan karya sendiri atau karya orang lain.



Oleh karena itulah, perlu dibuat sistem pengujian kompetensi belajar anak selama di rumah agar ada dokumen evaluasi akademis yang lebih terstruktur dan terukur. Misalnya, setiap satu bulan sekali siswa secara bergilir datang ke sekolahan untuk mengerjakan penilaian pencapaian kompetensi siswa.

Ujian tengah semester dan akhir semester seyogianya dilakukan di sekolahan, bukan di rumah. Dengan demikian ketika anak belajar di rumah akan tetap serius belajar karena akan ada tuntutan evaluasi yang akan dilaksanakan di sekolahan.

Keenam, banyak anak yang membutuhkan diskusi, konsultasi, dan kerja kelompok untuk mengerjakan proyek dan/atau praktikum. Ini tidak hanya di SMK, tetapi juga di sekolah-sekolah yang lain, termasuk SLB. Mereka juga harus diberi kesempatan datang menemui guru di sekolahan sehingga fungsi pembinaan kesiswaan tetap berjalan.

Ketujuh, ada hak anak yang masih terabaikan yaitu kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler, seperti kepramukaan, PMR, OSIS, UKS, kepemimpinan, pembinaan bakat minat seni dan olahraga. Ini perlu menjadi perhatian dalam masa PJJ. Ini tidak mungkin semua dibebankan kepada orang tua yang harus mendampingi. Hal ini perlu difasilitasi guru dan dibuatkan panduannya.

Kedelapan, peran orang tua dalam masa PJJ sangat luar biasa. Pemerintah sebaiknya menyediakan semacam kompensasi atau insentif khusus yang dapat memperlancar kebutuhan pembelajaran di rumah dengan efektif bagi anak masing-masing.

Dulu guru kita sebut sebagai garda terdepan dalam bidang pendidikan, kini orang tua juga menjadi garda terdepan, bahkan juga masyarakat. Pembelajaran model apa pun yang akan diterapkan, daring, luring, atau blended learning pada masa menuju normal, peran orang tua atau keluarga dan masyarakat sangat penting.

Keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai tripusat pendidikan semua memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas di Indonesia.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya