SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (17/1/2019). Esai ini karya M. Abdur Rohman, guru SDIT Muhammadiyah Al-Kautsar, Boyolali, Jawa Tengah. Alamat e-mail penulis adalah rohmanabdur40@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Jerry Baldin, Zev Siegl, dan Gordon Bowker mendirikan Starbucks dan menjadikan sebagai tongkrongan berkelas. Sekalipun Starbucks tak memasang iklan, tak memberi diskon, tetap saja dikunjungi banyak orang dari kalangan ekonomi kelas menengah ke atas.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tongkrongan saja memiliki kelas. Perbedaan kelas tongkrongan sesuai dengan kemampuan dan juga kebiasaan di masyarakat. Anak sekolah juga memiliki kelas masing-masing dalam menjalani aktivitas. Begitu juga yang terjadi saat pojok baca kelas digunakan sebagai tempat nongkrong.

Selama ini pojok ruang kelas sering kali dianggap sebagai tempat yang buruk. Tempat yang dibenci oleh guru dan siswa yang rajin. Pojok ruang kelas sering dipakai siswa yang malas belajar, dipakai untuk tidur ketika jam kosong, dipakai sebagai pos mengobrol urusan pribadi dan luar sekolah.

Dengan dialihfungsikannya pojok kelas dari pos “membuang malas” menjadi pojok baca kiranya akan timbul kesan berbeda dari suasananya. Kini pojok baca kelas kian produktif dengan buku-buku nonmata pelajaran serta digunakan untuk nongkrong membahas tentang isi buku.  

Itulah yang saya amati selaku guru kelas satu tahun terakhir ini. Dulu pojok ruang kelas hanya menjadi tempat anak-anak yang kurang semangat dalam belajar, namun kini pojok baca di pokok ruang kelas berubah menjadi tongkrongan yang digunakan anak untuk membahas mengenai apa yang mereka baca.

Banyak siswa yang ketika saya tanya tentang isi buku yang ada di pojok baca mampu menjelaskan kepada saya, tentu dengan bahasa mereka. Inilah yang saya sebut pojok baca di kelas telah menjadi tongkrongan berkelas seperti halnya Starbucks.

Penilaian saya ini kiranya tak berlebihan. Tentu ”berkelas” yang saya maksud di sini adalah anak sejak dini dikenalkan dengan budaya pustaka. Buku di pojok baca kelas menjadi bacaan yang akan membuka pandangan anak bahwa ilmu tidak hanya terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru-guru di dalam pembelajaran.

Bentuk Pelayanan

Dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada Bab V Pasal 12 ayat (1) huruf, ada penjelasan peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan. Pojok baca kelas jelas merupakan bentuk pelayanan sekolah untuk meningkatkan kemampuan anak didik.

Masyarakat Indonesia memiliki tingkat budaya membaca yang sangat rendah. Jauh berbeda dibandingkan dengan negara tetangga dekat seperti Singapura dan Malaysia. Tak mengherankan, mau diakui atau tidak, dalam pembangunan dan sumber daya manusia kita tertinggal begitu jauh.

Minat dan bakat yang dimiliki anak didik sering kali tidak terberdayakan dengan alasan teknis yang sangat mendasar. Sering kali guru tidak mendapatkan informasi tentang kesempatan pengembangan potensi membaca anak karena kurang membaca informasi. Inilah yang menjadi persoalan bersama bahwa permasalahan kurang membaca sudah mengakar di negeri ini.

Pojok baca di kelas diharapkan benar-benar mampu membuka cakrawala peserta didik. Pojok baca menjadi tempat nonkrong yang berkelas, berkualitas, dengan budaya pustaka yang kuat. Dari situ diharapkan tak banyak lagi anak didik yang malu bercerita, malu maju ke depan kelas, malu ketika bernyanyi, dan malu ketika mempraktikkan sesuatu.

Dengan membaca akan membuka pandangan seseorang. Wawasan semakin luas. Orang akan lebih terbuka terhadap suatu permasalahan. Pojok baca kelas sudah pasti menjadi bentuk pelayanan sekolah kepada anak didik.

Perlu ada kreativitas dari guru kelas agar pojok baca kelas menjadi tempat yang nyaman. Pojok baca tidak hanya berisi buku, namun ada hal pendukung, misalnya vas bunga, hiasan dinding, rak buku yang memadai, serta konsep pojok baca kelas yang unik. Itulah yang disebut sebagai bentuk pelayanan.

Jenderal Soedirman dalam buku Soedirman, Seorang Panglima, Seorang Martir terbitan Tempo (2012), ketika masih menjadi guru sekolah Muhammadiyah di Cilacap, Jawa Tengah, memiliki konsep pelayanan pendidikan. Hal itulah yang kemudian dilakukan pula ketika menjadi panglima tentara.  

Itulah yang bisa kita adopsi dalam bentuk pelayanan pendidikan. Anak didik perlu pelayanan yang baik, bukan dengan dimanja, tetapi dengan didampingi dalam meningkatkan kemampuan belajar. Salah satu hal yang bisa diperbuat yaitu dengan menjadikan pojok baca sebagai tongkrongan berkelas bagi anak didik.

 

 

 

 

 

 

 



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya