SOLOPOS.COM - Mahmuduzzaman (Solopos/Istimewa)

Kebijakan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) terkait pencantuman keterangan nikah belum tercatat dalam kartu keluarga (KK) menuai pro dan kontra. Bagi pasangan nikah siri, untuk mendapatkan KK cukup dengan melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dan diketahui dua saksi, dengan keterangan kawin belum tercatat.

Ketua Komisi Kajian MUI Kabupaten Sragen, Dr. Nursalim dalam artikel berjudul KK untuk Pasangan Siri (Solopos, 18/10/2021) menyoroti kebijakan pemberian KK bagi pasangan siri sebagai bentuk “gerilya sekularisasi perkawinan” melalui semangat perlindungan hak asasi manusia (HAM). Sebab, untuk diakui negara, pasangan siri seolah-olah tidak perlu sah secara agama.  Hal ini dinilai membuka peluang seks bebas (seks non marital) yang secara tidak langsung menafikan Undang-undang Perkawinan dan melegitimasi perzinahan.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Semangat memberi kemudahan seluruh warga mendapatkan KK bagi pasangan siri dijadikan legitimasi publik mendapat jaminan hukum dari negara. Kondisi ini dikhawatirkan akan berakibat maraknya perkawinan siri di masyarakat.

istri dan anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tidak dapat menuntut warisan. Dalam hal ini, anak hanya bernasab pada ibu dan keluarga ibu. Oleh karena itu, meskipun nikah siri sah menurut agama, tetapi menimbulkan madarat yang  besar. Perkawinan harus dicatatkan resmi instansi berwenang sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif (madharat ).

 

Dampak Nikah Siri

Nikah siri merupakan istilah yang merujuk pada pernikahan yang dilakukan pasangan yang memenuhi syarat dan rukun menurut ketentuan fikih tetapi belum tercatat di lembaga resmi pemerintah.

Di masyarakat, praktik pernikahan tanpa pencatatan dikenal dengan istilah kawin bawah tangan, kawin syar’i, kawin modin dan kawin kiai (Halili,  2020). Perkawinan siri sering kali menjadi pilihan pelakunya karena dianggap jalan aman untuk menghindari dosa dan terbebas dari persyaratan administratif yang dianggap sangat merepotkan.

Dampak dari nikah siri baru terasa ketika terjadi permasalahan atau sengketa. Sebab, ikatan perkawinan itu tidak memiliki bukti otentik. Paling tidak ada dua dampak yang merugikan.

Pertama, dampak hukum. Perkawinan siri akan berdampak istri yang tidak dianggap sebagai istri yang sah. Istri dan anak tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. Istri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahan karena secara hukum perkawinan siri  dianggap tidak pernah terjadi.

Kedua, dampak sosial. Pasangan nikah siri akan sulit bersosialisasi. Pada umumnya, perempuan yang  melakukan  pernikahan siri acapkali dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan sah (kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.

Bagi penghulu atau kantor urusan agama (KUA), pencantuman status kawin belum tercatat ini dirasa menciptakan keruwetan administratif yang baru. Karena salah satu prinsip dasar UU Perkawinan adalah azas pencatatan. Pasal 2 ayat (2) menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku”.

Perkawinan yang dilakukan secara siri atau tidak dicatat oleh petugas pencatat, berakibat tidak diakui keabsahan perkawinan itu oleh negara dan anak-anak yang dilahirkan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan  keluarga ibunya (Pasal 43 ayat [2] UU 1/1974).

 

Menafikan Penghulu

Perubahan UU Administrasi Kependudukan mempertahankan Pasal 34 yang menyebutkan bahwa perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi pelaksana di tempat terjadi perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan. Bagi penduduk yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh KUA kecamatan.

Dalam melakukan pencatatan pernikahan bagi penduduk beragama Islam, KUA di kecamatan berpegang pada regulasi Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Nikah. Ketentuan ini mengatur tata cara pencatatan secara detail guna menjamin tertib administrasi, transparansi, dan kepastian hukum.

Kepastian hukum tidak sekadar hukum bernegara tetapi lebih dalam lagi menyangkut hukum agama agar pernikahan yang dilaksanakan tidak melanggar syariat sehingga sah sesuai kaidah fikih Islam. Hal ini perlu ketelitian khusus, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan keabsahan sebuah pernikahan.

Di antara yang memerlukan perhatian khusus adalah penelusuran, apakah ada hubungan mahram antara kedua calon mempelai sehingga menghalangi terjadinya pernikahan. Dalam hal perwalian harus dipastikan terkait tata urut atau tertib wali nasab.

Penelitian apakah perwalian harus pindah menjadi wali hakim karena berbagai sebab, memastikan mas kawin sebagai kewajiban yang harus ditunaikan. Saksi-saksi yang diajukan apakah memenuhi persyaratan, dan sebagainya.

Belum lagi kepastian usia calon mempelai. Apakah sudah memenuhi batas minimal yang dipersyaratkan undang-undang. Penulisan ejaan nama pihak yang bersangkutan berikut identitas sejenis yang dibutuhkan dan berbagai persyaratan adminstratif lainnya.

Singkatnya, mempersiapkan sah pernikahan dalam Islam bukan perkara yang mudah. Diperlukan penelitian yang detail melalui kegiatan pemeriksaan khusus sebelum kepastian pelaksanaan nikah pada waktu yang ditentukan.

Ini Dia Sosok Penghulu Viral yang Bikin Acara Pernikahan Heboh

Posisi penghulu dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 9 Tahun 2019 adalah jabatan fungsional kategori keahlian sebagai pegawai pencatat nikah atau perkawinan mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang melakukan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam, merasa keberatan dengan kawin siri bisa dimasukkan dalam satu KK.

Pernyataan bahwa kawin siri sekadar pernikahan yang belum tercatat, seolah-olah menafikan peran penghulu dalam ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang melakukan pemeriksaan kepada calon mempelai sebelum ada kepastian dilangsungkan pernikahan. Bekal pengakuan sepihak yang dibuktikan dengan SPTJM lantas diakui statusnya sebagai suami-istri dengan keterangan kawin belum tercatat, jelas-jelas menafikan peran penghulu dalam ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya