SOLOPOS.COM - St. Tri Guntur Narwaya (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Upaya penuntasan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu sepertinya terus menemui jalan terjal. Sampai hari ini belum ditemukan konsensus jalan final yang bisa disepakati bersama. Sejak pembatalan UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), nyaris usaha tersebut seolah-olah semakin lirih terdengar.

Komitmen dan tanggung jawab pemerintah dalam penuntasan ini terus dipertanyakan. Asa atas munculnya terobosan baru itu semakin pupus. Desakan komunitas korban atau penyintas dan berbagai organisasi masyarakat sipil juga sering kali bertemu jalan buntu. Sampai hari ini penyelesaian kasus kejahatan hak asasi manusia berat masa lalu belum mendapatkan kepastian.

Promosi Perjalanan Uang Logam di Indonesia dari Gobog hingga Koin Edisi Khusus

Setelah pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 belum ada tawaran solusi yang lebih maju. Baru-baru ini, pada awal 2021, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merancang sebuah draf peraturan presiden tentang unit kerja presiden untuk penanganan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat (perpres tentang UKP-PPHB) melalui mekanisme nonyudisial.

Draf tawaran ini oleh pemerintah dianggap sebagai jalan logis dan realistis untuk penuntasan kejahatan hak asasi manusia berat yang masih belum terselesaikan. Sebagian korban, kelompok masyarakat sipil, termasuk juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai ide dan tawaran rancangan perpres tersebut masih mengandung banyak persoalan. Sepintas perpres ini terlihat memiliki kelemahan mendasar terutama dalam memahami makna pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.

Melanggengkan Impunitas

Dalam bagian pertimbangan, terutama di bagian (b) rancangan perpres ini, menyatakan bahwa penanganan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat dapat dilaksanakan melalui mekanisme nonyudisial dalam bentuk upaya pemulihan dan rekonsiliasi dalam rangka mewujudkan perdamaian dan kesatuan bangsa.

Setidaknya ada dua hal yang bisa ditangkap dalam pertimbangan tersebut. Pertama, meniadakan dan menghapus alternatif mekanisme yudisial yang sebenarnya lebih memberikan penuntasan kebenaran dan sekaligus rasa keadilan bagi korban. Kedua, preferensi nilai perdamaian dan kesatuan bangsa lebih diutamakan daripada preferensi keadilan untuk korban.

Persis pada penjelasan inilah pemerintah tampak lebih mengutamakan alternatif pertimbangan harmoni yang sifatnya politis daripada semangat pemenuhan kebenaran, pemulihan, dan rasa keadilan korban sepenuhnya. Mekanisme nonyuidisial pada prinsipnya semakin menutup jalan bagi proses penyelidikan atau proses hukum yang lebih transparan.

Kehendak untuk menutup mekanisme yudisial ini sebenarnya sejak awal terus dipaksakan. Ide ini digulirkan dengan nalar bahwa rekonsiliasi bisa dijalankan asalkan tidak menyentuh proses pengadilan bagi para pelaku. Sejak awal inisiasi gagasan rekonsiliasi nasional digulirkan, diskursus terbelah menjadi dua kutub besar, yakni pihak yang sepakat jalan rekonsiliasi tanpa mekanisme pengadilan dan pihak yang tetap mendorong proses hukum dijalankan.

Pengesahan UU KKR pada 2004 bisa dikatakan sebagai jalan kompromi politik terbatas yang muatannya tetap meniadakan jalan yudisial. Atas desakan dan penolakan berbagai pihak,  UU tersebut pada akhirnya dibatalkan sebelum berhasil direalisasikan. Inisiasi perpres tentang pembentukan UKP-PPHB ini menjadi gagasan yang terlihat kontraproduktif terhadap penuntasan kasus hak asasi manusia berat itu sendiri.

Ide dasarnya belum bergeser, yakni masih menutup jalan pengungkapan kebenaran melalui mekanisme hukum. Draf perpres ini hanya menawarkan dua proses yakni ”pemulihan” dan ”rekonsiliasi”. Jika isi rancangan perpres ini pada akhirnya disepakati dan disahkan, tentu sudah tidak ada harapan lagi untuk bisa menuntaskan kasus kejahatan hak asasi manusia ini secara adil, transparan, dan akuntabel. Demi tidak mengatakan gagal, tawaran langkah ini sepertinya justru akan menjadi jalan mundur dalam usaha mencapai kebenaran dan rekonsiliasi yang lebih substantif.

Pengungkapan Kebenaran

Prinsip dasar dari gagasan penanganan kasus kejahatan hak asasi berat masa lalu kalau ditilik lebih mendalam tentu saja bukan soal perkara mengadili yang bersalah semata. Ide utamnya juga menyangkut proses pengungkapan fakta kebenaran dan pemenuhan rasa keadilan untuk para korban.

Realitas kejahatan hak asasi manusia berat akan bisa terpahami dengan komprehensif ketika jalan pengungkapan kebenaran dilakukan dengan benar. Ada banyak konteks dan dimensi yang saling terkait sehingga sebuah tragedi kemanusiaan bisa muncul. Proses yudisial menjadi bagian utuh dari cara pengungkapan kebenaran. Ini bukan proses yang terpisah.

Satu hal lagi yang membuat penting adalah bahwa pengungkapan kebenaran adalah satu hak dasar penting bagi korban selain keadilan, pemulihan, dan juga ketidakberulangan peristiwa. Dengan begitu seluruh aspek ini haruslah menjadi fokus yang dilakukan tanpa mengesampingkan satu hal dengan memprioritaskan hal lainnya.

Maka makna ”mengadili” seharusnya bisa diterima sebagai usaha untuk memverifikasi dan mengkalirifikasi segal hal yang menyangkut dimensi perkara, termasuk siapa pihak-pihak yang bisa diputuskan bersalah dalam perkara besar ini. Jika proses ini tidak dituntaskan dengan sungguh-sungguh, akan sulit dibayangkan bahwa keseluruhan hak korban bisa dipenuhni.

Dengan mekanisme penyelidikan dan pengadilan yang jujur, bersih, dan adil dalam menangkap dan mengungkap kebenaran peristiwa maka dimensi keadilan dengan sendirinya akan terpenuhi dengan baik. Jika pengungkapan kebenaran berjalan baik, setidaknya aspek pemulihan juga akan berjalan benar dan sekaligus tepat sasaran.

Pada Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 ada penjelasan prinsip-prinsip utama dari gagasan pentingnya KKR sebenarnya tertuang sangat jelas arah dan tahapannya, yakni sebagai usaha mengungkap kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan dan pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, dan juga rehabilitasi.  Implementasi dari ketetapan MPR itu tidak dikerjakan dengan sepenuh hati.

Proses investigasi dan penyelidikan kasus kejahatan hak asasi manusia berat yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM juga belum mendapat respons yang sungguh-sungguh dari Kejaksaan Agung. Nyaris gagasan rekonsiliasi seolah-olah menemui jalan buntu dan tak ada lagi kemajuan yang bisa didapat.

Ide dan rancangan perpres tentang pembentukan unit kerja presiden ini sepertinya justru akan memiliki nasib yang sama. Dalam narasi aturan perpres sama sekali juga tidak menyebut secara tegas jaminan bahwa yang sudah dikerjakan oleh unit kerja ini bisa direalisasikan dengan sepenuhnya.

Terlebih beberapa tahapan kerja dalam pemenuhan hak korban seperti pengungkapan kebenaran, keadilan, pemulihan, dan ketidakberulangan peristiwa juga tidak dirumuskan secara eksplisit dalam perpres ini. Secara sepintas saja bisa terdeteksi bahwa perpres ini justru kontraproduktif dengan spirit penuintasan kasus kejahatan hak asasi manusia berat masa lalu dan bahkan hanya akan menjadi pepesan kosong yang mencederai rasa keadilan bagi korban.

Jika memang pemerintah serius dalam penanganan kasus hak asasi manusia berat masa lalu, pemerintah harus seluas mungkin membuka pintu bagi masukan, ide, konsep, dan gagasan dari berbagai pihak dan terutama korban dan keluarga koban yang selama ini masih menunggu kebijakan politik yang adil untuk mereka.

Yang terpenting lagi, apa yang dibutuhkan korban dan masyarakat secara umum adalah bahwa setiap kebijakan pemerintah seyogianyanya menegaskan bentuk kepastian hukumnya agar tidak semata-mata sebagai mekanisme pragmatis dan juga hanya menjadi siasat jalan melanggengkan watak impunitas yang justru akan mencederai rasa keadilan yang sesungguhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya