SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe Mahasiswa Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM (FOTO/Istimewa)

Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe Mahasiswa Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM (FOTO/Istimewa)

Kusno S Utomo, peneliti BPPS DIS, datang dengan tulisan berkepala ”Hilangnya Haminte Kota Surakarta” di SOLOPOS (1/11) patut untuk kita simak bersama. Sepotong tulisan tersebut lumayan mengejutkan lantaran memuat sebuah fragmen sejarah Surakarta yang mengalami tidur panjang di rak sejarah.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Melalui kacamata sejarah hukum ketatanegaraan, Kusno menyorongkan pernyataan cukup penting, juga genting [kalau tidak boleh disebut gugatan] terkait malapetaka hukum sebagai imbas dari digabungkannya daerah Surakarta yang bersifat istimewa ke Provinsi Jawa Tengah. Penulis yang bermain di panggung sejarah institusi ini mempertanyakan area kekuasaan walikota sekarang yang sejatinya tak memiliki wilayah yang jelas. Pasalnya, UU No 16/1947 sebagai dasar hukum pembentukan Kota Surakarta yang mengatur daerah atau batas-batas wilayahnya telah dicabut, dan sampai detik ini belum dibuatkan UU penggantinya. Problem ini jangan dianggap sepele, apalagi sudah menyangkut eksistensi walikota dan masa depan Kota Bengawan.

Akar Haminte

Menurut sejarawan Onghokham, sejarah institusi ialah sejarah yang kaku, mengingat sejarah berbicara tentang manusia (his-story). Tapi, sekaku apa pun, dalam konteks ini, berhelai-helai kertas sejarah kelembagaan menarik untuk dibentangkan demi mengetahui akar haminte sekaligus menjernihkannya. Pemerintahan Haminte (dari Inlandsche gemeente) yang diterapkan di kota berjuluk ”surganya Hindia Belanda” ini memang punya riwayat historis nan panjang dan mengadopsi gagasan toewan-toewan kulit putih. Pemerintahan macam begini kali pertama diujicobakan di Batavia dengan nama gemeente atau kotapraja yang diatur dalam Decentralisatiewet (UU desentralisasi) pada 23 Juni 1903. Selain Batavia, kota besar di Jawa yang akan dijadikan kotapraja, yaitu Semarang, Bandung, Sukabumi, Tegal dan Surabaya. Sedangkan untuk seluruh wilayah Hindia Belanda tercatat 32 kota yang akan diberikan pemerintahan swapraja dalam bentuk geemente.

Pola pemerintahan gemeente terdiri atas dewan kotapraja (gemeente raad), walikota (burgemeester), dan badan pekerja harian kotapraja (college van burgemeester en wethouders). Arsiparis sepuh ANRI, Mona Lohanda, lewat penelitiannya tentang orang-orang berpangkat di Jakarta tempo doeloe (2007) mengemukakan bahwa pada dasarnya pemerintahan kotapraja itu lebih merupakan pemerintahan lokal orang Eropa yang umumnya berdiam di kota besar. Dasar pertimbangan membentuk pemerintahan swapraja di perkotaan besar di Indonesia, yakni keberadaan komunitas Eropa yang menempati lapisan sosial teratas. Tidak mengherankan bila detik itu keanggotaan dewan kotapraja penuh sesak oleh para bule.

Sebagaimana ditiru oleh pemerintahan Haminte di Solo kemudian hari, dewan kotapraja kala itu dikasih wewenang mengurusi administrasi kota. Mulai soal transportasi (jalan, lalulintas, penerangan jalan), perumahan rakyat termasuk bangunan dan pemeliharaan kota, pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit, kebersihan kota (got, selokan, sampah) pengadaan air minum, inspeksi makanan, dinas peternakan dan pemotongan hewan, penyelenggaraan pasar, pengadaan tempat rekreasi, pengadaan sekolah dan perpustakan, sampai urusan perawatan kaum papa dan anak yatim-piatu.

Baik di lembaga dewan kota maupun dewan pemerintah kota, pada hakikatnya walikota duduk di kursi paling tinggi (ketua). Sekalipun di pundaknya diberi amanah mengurus kota, walikota tak ditemploki kekuasaan menangani soal keamanan dan ketertiban kota. Sebab, bidang tersebut dikendalikan oleh administrasi pemerintahan lokal di residensi. Tak ayal, ada kalanya sang walikota diadang kesulitan dalam mengawasi jalannya implementasi hukum di lapangan yang bersumber dari peraturan yang diterbitkan.

Surakarta pada faktanya adalah daerah swapraja dengan bercokolnya Keraton Kasunanan dan Praja Mangkunegaran. Dalam perkembangannya, Solo ialah kuali besar tempat bertemunya aneka ideologi politik yang mengalami nasib nahas dibanding saudara kembarnya, Yogyakarta. Bermula dari tahun 1946. Terjadi gerakan masif dengan dipelopori oleh kaum revolusioner yang menabuh genderang melawan kerajaan yang feodalistik, karena dinilai tidak mendukung terciptanya masyarakat egaliter dan dituding sebagai bonekanya Landa. Mereka meminta dihapuskannya DIS, melucuti kekuasaan konkrit raja, dan meminta perubahan dalam peraturan DIS yang anakronis.

Dalam situasi senjakala elite bangsawan istana jelang pertengahan abad XX itu, kelompok penentang swapraja meneruskan aksinya menuntut agar Surakarta diubah sebagai kota otonom yang berada langsung di bawah Pemerintahan Pusat. Kalau Surakarta mampu dibuat model demikian, maka upaya keraton untuk kembali berkuasa ibarat mimpi di siang bolong, sulit terwujud. Juga dimaksudkan guna melepaskan diri dari belenggu pemerintahan Karesidenan Surakarta yang masih mengandung sifat-sifat istimewa. Agar tidak timbul pertumpahan darah serta mencegah suasana kota kian mencekam, pemerintah lalu meloloskan permintaan itu. Walhasil, digedoklah UU nomor 16 tahun 1947 perihal Pembentukan Haminte Kota Surakarta. Sampai di sini, kita mahfum bahwa haminte merupakan sintesis dari puncak konfrontasi masyarakat terhadap keraton.

Kusno dalam artikelnya itu mencatat secara rinci batas-batas wilayah atau daerah Kota Surakarta sesuai penjabaran Pasal 1 ayat (1) UU No 16/1947. Yang mengganjal, menurutnya, adalah pemerintah telah ingkar. Kurun waktu lima tahun selepas pencabutan atau penghapusan UU tersebut kudu dibikin peraturan pengganti, rupanya tak dijalankan pemerintah. Ketika memerkarakan wilayah walikota sekarang, saya berpikir Kusno hanya melihat dari dimensi sejarah hukum ketatanegaraan, tampaknya tidak menengok sejarah sosial masyarakat dan kondisi zaman itu yang gawat. Justru aspek inilah yang sebetulnya jauh lebih penting untuk dipelajari.

Bagaimana mungkin pemerintah punya kesempatan memikirkan UU batas administrasi yang baru, sementara Solo belum sembuh dari trauma akibat agresi militer II tahun 1949. Memang, tempo itu segala sendi kehidupan Surakarta remuk. Belum ditambah panasnya pertarungan ideologi dan pembenahan sistem baru Pemerintah Kota Besar Surakarta yang memeras pikiran. Lagi pula, seiring waktu merangkak, batas-batas kawasan itu sudah menjadi kesepakatan sosial, bahkan terukir abadi dalam ingatan kolektif warga. Itulah yang kemungkinan besar dipakai alasan kuat pemerintah untuk tidak perlu menggodok UU pengganti. Di sini, kita mestinya berlapang dada menerima keputusan sejarah itu dan belajar dari kearifan masa lalu. Apalagi, dalam sejarah juga terdapat sebuah pengecualian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya