SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Terungkapnya kasus suap dan korupsi yang melibatkan para birokrat, politisi, serta merata keseluruh jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif, setidaknya menunjukkan bahwa di Indonesia ini banyak gentayangan uang haram hasil tindak pidana kejahatan. Uang haram/dirty money/illegal money ini dipastikan akan diupayakan dicuci melalui sistem keuangan, sehingga keluar sebagai uang halal (uang bersih). Ratusan kasus korupsi, suap dan sejenisnya yang muncul, nampaknya merupakan puncak dari gunung es persoalan yang menggelayuti bangsa ini.

Hampir semua harian belakangan ini gencar memberitakan kasus perpajakan yang melibatkan salah satu oknum Ditjen Pajak. Uang senilai Rp24,6 miliar yang untuk sementara tak bertuan itu, kini diributkan banyak kalangan. Fenomena semacam ini setidaknya menunjukkan puncak gunung es persoalan yang lebih besar lagi. Dari Sabang sampai Merauke, dari pejabat di daerah terpencil hingga ke pusat, semuanya melalukan ritual sama, yakni korupsi. Virus mematikan ini seolah sudah akut merasuk semua kalangan, sehingga ibarat kanker, negeri ini sudah memasuki fase stadium empat (sangat gawat). Kita sudah memasuki era darurat korupsi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bank sebagai penyedia jasa keuangan (PJK) terbesar –dalam artian hampir 98% transaksi keuangan dilakukan melalui bank–, dipastikan setiap harinya bergelut dengan upaya pencucian uang. Tak aneh, kalau alat paling efektif untuk menangkal dan menjerat praktik money laundering adalah melalui jasa bank. Memang, sudah ada beberapa kasus yang di meja hijaukan melalui laporan perbankan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK) yang kemudian diproses melalui Kepolisian atau Kejaksanaan. Namun, jumlahnya mungkin kurang signifikan dibandingkan dengan lalu lintas dirty money yang setiap harinya (mungkin) mencapai miliaran rupiah.
   
Know Your Customer (KYC)
Pintu awal untuk mendeteksi praktik pencucian uang adalah prinsip mengenal nasabah (know your customer/KYC). Di sini bank bisa mendeteksi dan melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap nasabah yang berpotensi tinggi melakukan kegiatan pencucian uang pada waktu pembukaan rekening, misalnya nasabah kategori high risk customer (HRCs), high risk business (HRB) dan high risk countries (HRCr). Info ini akan secara berkala di up date oleh PPATK. Di sini bank perlu membangun database nasabah yang lengkap dan terkini yang mencakup semua informasi penting yang berkaitan dengan profil nasabah. Bank perlu membuat profil nasabah yang telah ada (nasabah lama) dan membuat profil awal bagi nasabah baru.

Profil nasabah sangat membantu bank untuk mengetahui secara cepat adanya indikator (red flag) transaksi keuangan mencurigakan. Tak hanya itu, bank perlu membuat kebijakan dan prosedur pemeriksaan secara mendalam dan seksama terhadap nasabah yang tergolong/terkait sebagai HRCs, HRB, dan HRCr pada waktu pembukaan rekening. Tak hanya itu, bank juga perlu memberikan pelatihan yang cukup dan berkesinambungan kepada setiap karyawannya (terutama jajaran front liner) agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan sehubungan dengan penanganan transaksi keuangan mencurigakan (unusual transactions).

Menurut UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 13, para PJK wajib menyampaikan kepada PPATK untuk dua hal. Pertama, transaksi keuangan mencurigakan, dan kedua transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai (baik setor maupun tarik tunai) dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500 juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari (dari satu rekening yang sama). Hal yang pertama, sangat sering dijumpai, yakni unusual transactions di mana transaksi yang dilakukan keluar dari profil nasabah yang bersangkutan.

Mengapa dikatakan bahwa unusual transactions sering terjadi di bank, karena hampir semua pelaku kejahatan keuangan, dipastikan memiliki rekening di bank. Nah, logikanya, bank semestinya juga bisa mendengus dan mengidentifikasi transaksi mencurigakan yang dilakukan si pelaku tindak kejahatan keuangan tersebut. Sayangnya, belum begitu banyak para koruptor yang terjerat hukum, akibat langsung dari pelaporan pihak bank, yang kemudian dianalisis PPATK. Padahal, hasil analisis PPATK ini bisa dijadikan titik masuk (entry point) bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) –yang sekarang ini tengah disibukkan dengan skandal Bank Century—, untuk mengobok-obok para koruptor lebih jauh lagi.

Dilema bank
Bagi bank sebagai PJK, seringkali diperhadapkan pada dilema yang tidak mudah untuk dilakukan. Terlebih bagi beberapa bank yang masih kesulitan likuiditas misalnya, kehadiran nasabah funding (pemilik dana) adalah sesuatu yang sangat diharapkan. Bahkan mereka mati-matian mencari dana dari masyarakat dengan mengerahkan tenaga marketingnya plus produk yang marketable untuk diperhadapkan pada nasabah yang masuk kategori high risk customer dan seringkali menunjukkan perilaku transaksi yang mencurigakan. Nasabah semacam ini sebenarnya harus dimasukkan dalam laporan unusual transactions. Nah, di sinilah dilemanya menjadi muncul.

Kalau ini dilaporkan, mungkin bank akan kehilangan nasabah karena nasabah merasa tidak nyaman dan aman bertransaksi. Sementara kalau tidak dilaporkan, berarti bank dianggap melindungi nasabah kotor atau melindungi praktik pencucian uang. Padahal, perbankan disini memegang peran yang tidak kecil dalam memberangus praktik pencucian uang, yang belakangan ini kian marak dilakukan. Perbankan, merupakan ujung tombak dari gerakan antipencucian uang, sehingga perannya sangat vital dan strategis. Sayangnya, dengan adanya target untuk mencapai asset tertentu, perbankan seringkali mengabaikan perannya sebagai ujung tombak pemberantasan praktik money laundering ini.

Padahal, apabila semua bank (termasuk PJK lainnya) benar-benar mengindentifikasi dan melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK, dan kemudian PPATK melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian atau Kejaksanaan, maka ruang gerak para pencuci uang ini akan sangat terbatas. Bahkan kalau para dealer mobil, perusahaan property (developer), pedagang perhiasan dan emas, kospin, BMT, LKM, lawyer, serta PJK perorangan lain, termasuk instansi pemberi izin usaha franchise (waralaba), serta izin investasi lainnya, sudah mulai memberikan laporan transaksi keuangan mencurigakan, maka bukan tidak mungkin ruang gerak para pencuci uang ini akan semakin terbatas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya