SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Ada banyak guyonan pada masa Orde Baru yang beredar di bawah tanah. Perlawanan dilakukan dengan humor. Kumpulan humor itu  diterbitkan dalam buku berjudul Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto.

Tentu kebanyakan kritik, sindiran, dan humor soal Presiden daripada Soeharto itu, soal kekuasaan absolut, dan sejenis. Salah satu humornya, alkisah, arwah filsuf politik Machiavelli berkeliling dunia hendak melihat konsep kekuasaan di berbagai negeri.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kepada Presiden Prancis ia bertanya,“Bagaimana cara Anda bisa berkuasa?” Presiden Prancis menjawab,“Kalau saya dipilih via pemilu, yang suka memilih saya, yang tidak suka boleh jadi oposisi!”

Kepada Presiden Amerika Serikat ia bertanya,“Bagaimana kau bisa berkuasa?” Dijawab,“Saya bisa berkuasa karena para bankir dan pengusaha ada di belakang saya.”

Ekspedisi Mudik 2024

Kepada Presiden Rusia ia bertanya, “Bagaimana engkau bisa berkuasa?” Dijawab,“Saya bisa berkuasa karena menjanjikan kemakmuran bersama.”

Kepada Presiden Indonesia ia juga bertanya.“Bagimana cara kau bisa terus berkuasa.” Dijawab,“Karena saya berkuasa!” Mendapati jawaban Presiden Indonesia itu, Machiavelli akhirnya bersujud.

Guyonan itu menunjukkan betapa kuatnya rezim Orde Baru. Pemilu sih ada, akan tetapi dibikin sedemikian rupa agar dimenangi oleh pendukung rezim. Pelajaran Pancasila sih ada, akan tetapi ditafsirkan sesuai kepentingan penguasa.

Kritik diperbolehkan asalkan jangan keras-keras dan menyerang pemerintah. Istilah Jawa-nya, ngono ya ngono ning aja ngono. Kalau mengkritik keras diganjar pasal subversif. Kritik yang diganjar represi terjadi tak hanya pada masa Orde Baru.

Pemerintah sebelum-sebelumnya juga mempraktikkan hal sama, termasuk saat pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa itu, kritik disampaikan salah satunya melalui media massa. Saat itu kebanyakan tokoh pergerakan merangkap wartawan.

Mereka terjun ke dunia jurnalistik karena media massa menjadi alat yang efektif untuk membangun kesadaran berbangsa dan menuntut kemerdekaan. Akan tetapi, penguasa reaktif terhadap kritik. Kritik yang disampaikan secara langsung dalam vergadering (rapat umum) maupun melalui tulisan sering kali diganjar represi.

Seperti dialami tokoh sosialis Sneevliet yang menulis dengan judul Zegepraal yang artinya Kemenangan di De Indier pada 19 Maret 1917. Lewat Zegepraal dia mengkritik kondisi Hindia Belanda yang rakyatnya miskin dan bodoh, kekayaan alamnya mengalir ke kantong orang Eropa Barat, perkumpulan politik dilarang, hak bikin vergadering dibatasi, dan kritik lewat surat kabar diancam (Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, hal. 13).

Gara-gara tulisan itu, dia ditangkap dan harus menjalani sidang delik pers di Pengadilan SemarangAkhirnya hakim memutus Sneevliet bebas karena tulisannya dianggap sebagai kritik. Akan tetapi, pemerintah kolonial menganggap Sneevliet sebagai pengganggu sehingga dia diusir dari Hindia Belanda.

Satu lagi tokoh pergerakan yang dikenai delik pers, bahkan sampai empat kali. Mas Marco Kartodikromo asal Cepu, namun banyak menghabiskan waktu di Solo. Sampai sekarang, saya belum menemui jejak fisik dan warisan Mas Marco di Solo. Setelah belajar jurnalistik kepada Tirto Adhi Suryo di Koran Medan Prijaji Bandung, Marco ke Solo.

Dia mendirikan organisasi wartawan Inlandsche Journalisten Bond (IJB), hingga menerbitkan Koran Doenia Bergerak. Dia menggunakan pena sebagai senjata untuk mengkritik pemerintah kolonial. Tulisannya pedas.

Pada akhirnya, Marco dibuang ke Boven Digul pada 1927. Dia meninggal di sana karena malaria pada 1932. Ada kata-kata Mas Marco yang fenomenal “Saya berani bilang, selama kalian rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia”.

Mas Marco tidak sendiri. Banyak wartawan dan tokoh pergerakan yang direpresi oleh pemerintah kolonial dengan delik pers. Yang mereka tulis kebanyakan upaya menggambarkan kondisi rakyat pribumi yang bodoh, miskin, tidak kuasa melawan, dan sebagainya. Padahal, Hindia Belanda adalah negeri makmur.

Wartawan dan tokoh pergelaran lain adalah murid Mas Marco, Fachrodin. Pada 1919 Fachrodin yang juga murid K.H. Ahmad Dahlan itu menulis nasib petani tebu di Klaten. Keboen teboe jang penoeh ditanami di atas tanah kita dengan djalan jang koerang menjenangkan, hingga menjebabkan kelaparannja anak-anak boemi…. (ibtimes.id).

Gara-gara tulisan itu, Fachrodin dianggap menghasut rakyat dan dituntut hukuman tiga bulan atau membayar denda 300 gulden. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan delik pers untuk mencegah tulisan provokatif yang menyerang pemerintah.

Pada 1856, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Regelmen op de Drukwerken in Nederlansch-Indie (Peraturan tentang Pers di Hindia Belanda). Sebelum dicetak, naskah harus disetor dulu kepada pemerintah.

Pada 19 Maret 1906, Staatsbladvan Nederlandsch-Indië 1906 No. 270 mengubah cara preventif diganti represif. Modelnya, penerbit wajib menyerahkan hasil cetakan satu eksemplar kepada pemerintah. Pada 15 Maret 1914, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Wet boek van Strafwetboek yang kemudian menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 66a beleid itu mengatur siapa saja yang menyebarkan rasa permusuhan, kebencian, atau penghinaan kepada pemerintah Belanda atau Hindia Belanda baik melalui tulisan, gambar, mauupun tindakan, akan dihukum kerja paksa di lingkungannya selama 5 tahun hingga 10 tahun.

Sedangkan Pasal 66B menyebut konten sejenis yang ditujukan di antara penduduk Belanda atau Hindia Belanda akan dihukum kerja paksa di luar lingkungannya paling lama lima tahun (Yuliati, 2018). Pasal-pasal ini dikenal sebagai Haatzai Artikelen atau pasal-pasal tentang penanaman benih kebencian.

Pasal 154 dan 155 menjerat siapa saja yang menyebarkan permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap pemerintah Belanda atau Hindia Belanda. Pasal 156 dan 157 menjerat sekelompok penduduk di Hindia Belanda. Ancamannya pidana dan denda. Pada masa itu, tokoh pergerakan mengkritik pemberlakuan delik pers.

Haji Misbach, tokoh SATV asal Kauman, Solo, mengkritik represi pemerintah kolonial.  Dalam Sroean Kita (Medan Moeslimin 5 Desember 1918), Misbach mengatakan rakyat dan jurnalis mendapat tekanan luar biasa. Ancaman untuk jurnalis bertambah berat, harus berhadapan dengan pengadilan yang butuh ongkos banyak untuk proses sidang.



Misbach walaupun keras mengkritik rezim, dia tidak terkena persdelict. Dia dijerat kasus spreekdelict atau pelanggaran berbicara (Haroen Rasjid, Medan Moeslimin, 11 1924). Pada kasus itu, dia dituduh memprovokasi, menghasut, sehingga terjadi kerusuhan di Tarukan. Misbach ditahan dua tahun di penjara Klaten, Mei 1920.

Pada 7 September 1931 Gubernur Jenderal De Graeff memberlakukan Persbreidel Ordonnantie (Peraturan tentang Pemberangusan Pers). Media yang dianggap mengganggu ketertiban umum versi pemerintah Hindia Belanda akan diberangus oleh Gubernur Jenderal.

***

Belakangan ini, kalangan akademis dan masyarakat sipil sedang waswas. DPR dan pemerintah tengah menyusun revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Rancangan KUHP ini memuat pasal-pasal yang mengancam pelaku penghinaan.

Misalnya, pasal tentang ancaman bagi penghina presiden yang pernah ditolak publik beberapa waktu lalu kembali muncul. Dalam RUU KUHP diatur orang yang menyerang martabat presiden/wakil presiden diancam hukuman maksimal 3,5 tahun penjara.

Bila penyerangan harkat martabat itu dilakukan lewat media sosial, hukuman bisa diperberat menjadi 4,5 tahun penjara. Dalam penjelasannya, RUU KUHP menegaskan mengkritik kebijakan presiden/wakil presiden bukan tergolong menyerang harkat martabat atau kehormatan.

Tidak tergolong tindakan menyerang kehormatan jika untuk kepentingan umum atau membela diri. Masyarakat perlu menaruh sikap kritis terhadap aturan yang disusun itu. Kenapa? Aturan dibuat untuk melindungi publik, bukan mengancam.

Kita setuju orang tidak boleh menyebar fitnah maupun hoaks. Namun, peraturan untuk penghina atau penista ini bisa jadi peluang untuk menyerang lawan politik. Berdasar pengalaman sebelumnya, penguasa berpotensi menyalahgunakan peraturan perundang-undangan untuk menekan lawan politik.

Harus ada ketentuan jelas, gamblang, tak multitafsir bahwa aturan perundang-udangan tak bisa dimanfaatkan untuk menyerang pihak yang berseberangan dengan penguasa. Berbahaya sekali jika itu terjadi.

Apalagi, belakangan ini ada penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Freedom House menyebut kebebasan Internet Indonesia pada 2020 bernilai 49, sedangkan pada 2019 nilainya 51. Indikatornya perintangan akses, pembatasan konten, dan pelanggaran hak pengguna.

Laporan Democracy Index 2020 dari The Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 secara global.  Pada 2020, indeks demokrasi Indonesia 6,30, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang 6,48.

Indikatornya pemilu dan pluralisme, berfungsinya pemerintahan, partisipasi politik, kebebasan sipil, dan budaya politik. Gambaran turunnya kualitas demokrasi bisa terlihat dari hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 24-30 September 2020.

Nerdasar survei terhadap 1.200 responden, 21,9% warga sangat takut berpendapat dan 47,7% agak takut untuk berpendapat. Tingkat kepercayaan survei 95%. Dari gambaran itu, publik harus mengawal jangan sampai beleid yang dibikin DPR dan pemerintah merugikan rakyat, menurunkan kualitas demokrasi.

Soal rancangan KUHP ini, Amnesti Internasional Indonesia menilai pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden bisa mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi. Jadi, kita harus menjaga dan merawat kebebasan berpendapat itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya