SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — ”Ya, sak-sakku ta. Utang pribadi kami saja masih belum lunas, kami tak berani menambah beban dengan berutang kepada para penggemar [menjanjikan album baru akan keluar],” kata Arum Setiadi, vokalis band The Mudub.

Ia mengatakan itu kala menjawab pertanyaan saya tentang kapan The Mudub akan meluncurkan album baru lagi? Pada Minggu, 14 Juni 2020, malam lalu The Mudub menggelar konser live on Instagram dengan tema Cerita di Balik Nama. Di konser virtual itulah saya bertanya.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

The Mudub adalah band berbasis di Kota Solo yang diawaki empat orang anak muda yang justru lebih dikenal sebagai band humor, padahal menurut mereka konsep bermusik mereka adalah bermusik secara serius—dan terbukti dari lagu-lagu karya mereka yang serius.

Awak The Mudub adalah Arum Setiadi (vokal), Catur Ayudiono (gitar), Fauzan Abussalam alias Jampes (bass), dan Achmad Jeki Prillana alias Jeki (drum). Jawaban Arum itu memang jawaban cengengesan dan justru menunjukkan kekuatan The Mudub di urusan menebar guyonan.

Pada saat bersamaan jawaban cengengesan itu mengandung semangat kuat para personel The Mudub untuk tetap berkarya di dunia musik. Pentas malam itu, pentas live on Instagram, semacam upaya The Mudub memenuhi keinginan para penggemarnya sekaligus—pasti—juga keinginan personel band itu menunjukkan eksistensi bahwa mereka masih bermusik dan masih punya semangat tinggi berkarya di seni musik.

Pandemi Covid-19 jelas memukul eksistensi The Mudub. Hampir empat bulan mereka tak bisa tampil di pentas seni sekolahan, kampus, atau di konser-konser mini untuk memuaskan hasrat eksistensi mereka dan penggemar mereka: Muda Mudi Mudub.

”Bagaimana cara The Mudub berlatih di tengah pandemi Covid-19?” begitu pertanyaan salah seorang penonton konser live on Instagram malam itu.

”Kami tetap berlatih. Kami berlatih seperti biasanya, seperti band-band lainnya. Kami berlatih menggunakan alat musik, bukan alat vital,” kata Arum yang memang jadi front-man The Mudub.

Jawaban yang memancing gelak tawa ngakak para penonton yang berada di arena konser, di Rumah Blogger Indonesia atau RBI Solo, dan para penonton jarak jauh di Instagram.

Arum pernah menyebut aliran musik mereka adalah dramatic-pop. Dalam pemaknaan serius, ketika mencermati lagu-lagu The Mudub, setidaknya di dua album, Hidup Jaya Abadi dan Kicau Kacau Kota, memang pekat dengan kisah-kisah kehidupan, drama kehidupan.

Lagu Bakso Bakar Bang Brewok di album Kicau Kacau Kota adalah drama tentang bakso bakar yang pernah menjadi tren di kehidupan warga Kota Solo dan sekitarnya. Di mana-mana ada bakso bakar. Dijual di pinggir jalan hingga warung makan. Disukai anak-anak hingga orang tua.

Lagu Salon Rita di album Hidup Jaya Abadi adalah drama tentang stereotipe dan stigma yang pernah melekat di kawasan Pasar Nongko di Kota Solo, kawasan yang (dulu) terdapat banyak salon kecantikan. Ada drama tentang cinta, pengkhianatan, dan orientasi seksual.

Dalam pemaknaan lebih serius lagi, tiap kali manggung band The Mudud memang penuh drama. Arum sebagai vokalis lupa lirik lagu atau telat masuk. Catur Ayudiono sebagai gitaris salah kunci atau temponya beda dengan pakem di lagu. Jeki sang drummer salah ketukan. Fauzan alias Jampes sang bassist melamun sehingga ketinggalan akord.

Kegagalan-kegagalan itulah yang kemudian diramu oleh seluruh personel The Mudub menjadi bahan guyonan. Kegagalan yang serius itu kemudian menjelma menjadi bumbu konser yang justru kemudian menjadi ciri khas band ini: penuh humor. Dalam satu jam konser bisa jadi The Mudub hanya menyelesaikan empat lagu karena tiap lagu menjadi bahan guyonan berkepanjangan yang ditingkahi interaksi dengan penonton.

Arum memang menekuni dunia humor. Selain menjadi vokalis The Mudub, dia aktif di jagat stand up comedy atau lawakan tunggal di wilayah Soloraya. Karena itulah, sebagian besar humor yang dilontarkan The Mudub saat konser, yang sebagian besar berpangkal kegagalan di panggung, adalah humor yang berkonsep.

The Mudub adalah generasi kesekian band yang berbasis di Kota Solo dengan ciri khas humor. Humor ala The Mudub jelas berbeda dengan humor ala band yang lebih senior, seperti Suku Apakah, Pecas Ndahe, Team Lo, atau Nyiur Melambai.

Humor ala The Mudub adalah bagian terpisah dari musik mereka yang sebenarnya serius, walau sebagian lagu mereka adalah kisah tentang drama kehidupan yang berhumor. Lagu serius dan humor serius dipadukan dalam konser.

Konser live on Instagram pada 14 Juni 2020 malam lalu itu juga menunjukkan kematangan band serius yang cengengesan atau band cengengesan yang serius ini. Tampil ala akustik sama sekali tak mengurangi kualitas musikal mereka. Justru sangat terlihat kemampuan tinggi Catur sebagai gitaris.

Kerja Kebudayaan

Dalam ranah kebudayaan dan kesenian yang lebih luas, eksistensi The Mudub harus didukung agar mereka terus berkreasi dan berkarya. Perjalanan panjang The Mudub adalah wujud kerja kebudayaan yang tak melulu berorientasi uang.

Uang memang penting, tapi bukan satu-satunya tujuan. Kredo ini bisa dibaca dalam lagu Utamakan Karya yang pada konser live on Instagram itu menjadi lagu yang paling banyak pemintanya. Lagu ini tercantum di album Kicau Kacau Kota.

Bagi The Mudub, berkesenian bukan sekadar mencipta lagu untuk dijual dan kemudian laku keras serta mendatangkan banyak uang. Berkarya di jagat kebudayaan dan kesenian jangan sok artis, jangan sok seniman, jangan sok musisi, jangan sok superstar.

Yang harus diutamakan adalah prestasi, bukan sensasi. Berkesenian dan berkebudayaan adalah mengutamakan karya. Tak bisa dilakukan secara instan. Butuh waktu, butuh perjuangan. Karya bukan soal membuat lukisan. Karya tak melulu tentang mencipta lagu.

Karya adalah hidup dan kebaikan berbagi, semangat positif untuk terus maju. Inilah yang saya tangkap sejak awal saya bertemu The Mudub dan kemudian intensif mengamati aktivitas band ini. Kerja-kerja mereka, dalam level mikro sekalipun, adalah kerja kebudayaan yang harus didukung.



Humor yang menjadi bumbu dalam konser-konser mereka adalah kerja kebudayaan. Humor sangat penting untuk mencairkan suasana yang sumpek. Humor penting untuk mencairkan kebuntuan. Humor penting untuk mengkritik praktik politik yang nyebahi dan melukai publik, bahkan mengkhianati rakyat.

Guyonan atau humor ala The Mudub, yang kadang-kadang saru, bahkan sok-sok wagu, bisa jadi katarsis atau ekspresi keputusasaan terhadap keadaan. Situasi kehidupan yang begitu pengap dan membosankan, misalnya akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, butuh humor, butuh komedi.

Demokrasi acap kali memunculkan praksis politik yang tidak sehat. Praksis politik berbasis politik identitas dan populisme terbukti menciptakan residu sosial dan politik yang membuat kehidupan menjadi sumpek.

Kehidupan yang sumpek, kondisi sosial politik yang pengap, dan suasana kemasyarakatan yang begitu mencekam butuh pemecah, butuh katarsis. Humor adalah salah satu katarsis yang efektif. Humor, komedi, satire adalah energi positif untuk membangun demokrasi.

Demokrasi butuh krtik. Demokrasi butuh kontrol. Humor adalah metode kritik dan metode kontrol yang bersifat antikekerasan. Sangat relevan dengan tujuan membangun demokrasi yang berkeadaban, demokrasi yang substantif, bukan demokrasi prosedural semata.

Laporan Indeks Demokrasi 2019 yang dirilis The Economist Intelligence Unit yang berbasis di Inggris, beberapa waktu lalu, menunjukkan kualitas demokrasi kita belum sampai pada demokrasi yang berkeadaban tinggi. Indeks tersebut malah mendudukkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang cacat atau flawed democracy.

Indonesia mendapatkan nilai 7,92 untuk proses pemilihan umum, namun pada indikator lain mendapatkan nilai lebih rendah, yaitu partisipasi politik hanya mendapatkan nilai 6,11, budaya politik hanya mendapatkan nilai 5,63, dan kebebasan sipil hanya mendapatkan nilai 5,59.

Tak mengherankan hari-hari ini humor yang dimaksudkan sebagai kritik kepada penguasa malah berbuah dipanggil polisi dan diharuskan meminta maaf, humor yang bermaksud menguatkan kebinekaan malah berbuah persekusi, humor yang bermaksud menuntut keadilan hukum malah berbuah teror.

Pendek kata, bangsa kita tampaknya butuh belajar menikmati humor. Dalam konteks demikian inilah kerja-kerja kebudayaan yang dilakukan The Mudub, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, menemukan momentum, ruang, dan waktu untuk didukung agar terus berlanjut.

Jangan memilih yang instan karena tak tahan lama dan mudah dilupakan. Butuh waktu, butuh perjuangan, untuk membangun demokrasi yang berkedaban. The Mudub konsisten menjalani laku yang tidak instan itu demi mengukuhkan diri di ranah kerja kebudayaan dan kesenian.

Inisiatif menggelar konser live on Instagram adalah bagian konkret dari butuh waktu dan butuh perjuangan yang tidak instan untuk berpartisipasi membangun demokrasi yan berkeadaban. Meninggalkan jejak digital menjadi sangat penting untuk menawarkan portofolio di tengah kerja kebudayaan dan kesenian yang tampaknya makin berat.

Konser dua sesi yang totalnya lebih dari satu jam itu adalah ikhtiar meninggalkan jejak digital tentang kerja kebudayaan dan kesenian yang tidak instan. Jejak digital ini penting pada peradaban era sekarang. Jejak digital itu akan menjadi bagian dari pemberdayaan untuk kerja kebudayaan dan kesenian lebih lanjut.

Ketika saya meninggalkan konser live on Instagram itu, ada 27.000 penonton (catatan: angka nol tiga itu masih berupa harapan yang butuh waktu dan perjuangan yang tidak instan untuk mewujudkan).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya