SOLOPOS.COM - Ratmurti Mardika (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Sampai saat esai ini saya tulis Bu Tejo masih menjadi buah bibir warga. Bu Tejo tak hanya hidup di dalam film Tilik. Bu Tejo telah berlipat ganda di kehidupan nyata. Tokoh fiktif ini terus menjadi bahan perbincangan, jadi bahan bercanda sampai yang super serius menjadi perbincangan antropologi.

Saat esai ini saya tulis, Tilik telah menghimpun 10 Juta penonton di Youtube setelah enam hari penayangan. Sebagai seorang penggemar film pendek, saya mencatat film ini salah satu film pendek Indonesia dengan penonton terbanyak.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya merasa senang melihat sebuah film pendek mampu meraih penonton begitu banyak, namun tentu saja sebuah film tak bisa hanya diukur atau dinilai dari jumlah penonton saja. Banyak elemen dalam film yang bisa dinilai setelah ditonton. Penonton awam sampai kritikus film berhak membuat penilaian sendiri-sendiri.

Banyak yang menyukai Tilik. Banyak juga yang marah-marah setelah menonton Tilik. Kritikus film ternama di Indonesia, Hikmat Darmawan, menyebut secara keseluruhan cerita dalam Tilik mengukuhkan budaya stereotipe perempuan dan kontra produktif terhadap gerakan antihoaks yang mengedepankan cek dan ricek.

Di film itu, pelintiran (plot twist) di akhir cerita membuat kabur tokoh antagonis-protagonis, dan Bu Tejo, sang penyebar gosip, bertemu dengan kebenaran segala bahan gosipnya. Seakan-akan ada semacam blind spot terhadap film ini: nilai keterampilan pembuatan film ini dan nilai hiburannya menutupi sama sekali nilai problemnya.

Begitu penjelasan Hikmat dalam kritik Film Tilik dan Titik Buta Stereotipe. Para aktivis kesetaraan perempuan sampai para pengamat antropologi pun beramai-ramai mengupas film ini sesuai dengan bidang masing-masing. Film garapan Wahyu Agung ini tak hanya membuat penonton sekadar menonton, tapi juga menghidupkan topik-topik multidisiplin yang terkandung di dalam film itu, bahkan sampai ada yang membuat catatan di koran.

Film Tilik ini memunculkan kehebohan setelah berumur dua tahun. Setelah berputar-putar di berbagai festival film pada 2018, kini film ini bisa dinikmati secara daring, gratis. Saya menduga absennya festival-festival film karena pandemi dan umur film ini yang semakin banyak membuat rumah produksi melepas karya ini di Youtube.

Setelah mudah diakses dan tak terbatas pada ruang-ruang festival, film ini bertemu dengan penonton yang juga semakin tak terbatas pula. Bu Tejo yang diperankan dengan baik oleh Siti Fauziah, tema yang dekat dengan keseharian orang-orang Jawa, serta strategi distribusi yang tepat adalah suspect utama film ini meraih begitu banyak engagement: 10 juta penonton dalam enam hari di Youtube. Itu prestisius.

Film Tetangga

Saya mengigat film The Neighbors' Window (2019). Film ini memenangi  piala Oscar untuk kategori Best Live Action Short Film di acara Academy Awards 2020. Film ini juga telah dilepas di Youtube delapan bulan yang lalu. Pemilik resmi meraih 4,8 Juta penonton di Youtube. Hampir setengah dari penonton Tilik.

Pesan utama yang dibawa film The Neighbors' Window ini sangat bertolak belakang dengan film Tilik. Dalam The Neighbors'Window, tokoh utamanya adalah "emak-emak" bernama Alli yang mengamati tetangganya dari jauh, tanpa pernah mencoba mendekati dan bertemu dengan tetangganya itu.

Menjadi mata-mata terhadap tetangganya membuat Alli ini membuat "profil" tetangganya itu sesuai dengan bayangannya sendiri. Prasangka-prasangka terhadap tetangga memunculkan konflik dengan suaminya yang membumbui drama film itu. Pelintiran cerita di akhir film itu menunjukkan ternyata bayangan tentang tetangga yang dibangun sendiri oleh Alli salah semua.

Setelah pertemuan antartetangga itu, Alli mendapatkan pengalaman bahwa silaturahmi dan hidup yang wang sinawang (memandang dengan banyak sisi) adalah sesuatu yang sangat berharga. Tentu silaturahmi itu untuk mengonfirmasi fakta (cek dan ricek) dan wang sinawang adalah memandang orang lain dengan banyak perspektif hingga tidak salah menilai, stereotyping, serta memberi stigma. Ini yang bertolak belakang dengan film Tilik.

"Pesan Moralis"

Saya mencintai film. Menonton banyak film membuat saya mendapatkan banyak pengalaman menonton, dari mulai penghiburan sampai mendapat "wahyu". Dari hanya melihat film sebagai produk seni budaya sampai mencurigai agenda esoterik yang dibawa. Ada film yang tidak selesai saya tonton, ada pula film yang saya catat karena penting bagi saya.

Disadari atau tidak, film-film itu membawa "sesuatu" masuk ke kehidupan saya, yang biasa saya sebut sebagai nilai atau value, ada pula yang suka menyebut dengan istilah "pesan moral".  Anehnya, saya  kurang berselera terhadap film-film yang cerewet berkothbah dan terkesan menggurui.

Di situlah saya memahami bahwa kekuatan seni film terletak pada cara-cara yang sangat halus menyuntikkan nilai hingga berpengaruh terhadap penonton lewat audio-visual-storytelling. Ada yang masuk tanpa kita sadari, mungkin seperti virus.

Apabila film mampu menciptakan perbincangan-perbincangan di luar film itu, maka film telah menjelma menjadi bahan kajian dalam menambah wacana dan perspektif. Seperti dalam film Tilik di antara 10 juta penonton bisa menghasilkan banyak kajian, dari mulai kritik film, kritik feminisme, sampai artikel ini.

Ditambah dengan kegiatan meragui sebuah film alih-alih menyetujui mentah-mentah pesan dalam film, menjadikan film sebagai sesuatu yang semakin menarik. Mendukung atau kontra terhadap Bu Tejo sah-sah saja bila disertai argumen yang kuat. Perlu kita ingat bahwa argumen-argumen itu memiliki nilai tersendiri pula.

Seberapa dalam "perpustakaan" dan tingkat akurasi dari argumen itu menjadi parameter tersendiri yang bisa meningkatkan kualitas wacana, tentu untuk meraih kebijaksanaan.

Jargon "Bu Tejo adalah Kita" muncul belakangan. Adanya kemiripan dengan jargon peserta pemilihan presiden yang lalu bisa dicurigai ada kepentingan politik di belakangnya.

Mungkin jumlah penonton yang sangat banyak itu sangat sayang untuk dilewatkan. Membonceng isu ini tanpa harus capai bertukar wacana dan tinggal main stereotipe seperti Bu Tejo memang lebih efisien waktu, tenaga, dan pikiran.

Saya berdiri di seberang Bu Tejo. "Bu Tejo bukan Kita". Ada sebagian yang seperti Bu Tejo, ada pula yang seperti Alli. Jangan lalu disamaratakan. Ingat, hidup kita ini majemuk, berbinneka. Jika budaya bergunjing dan stereotipe dinormalisasi dan dianggap sebagai kearifan lokal ya silakan saja, pembuat film pun dilindungi dengan hak kebebasan berekspresi.

Membuat film dengan wacana dan sikap yang kuat disertai dengan sensitivitas terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang sedang terjadi adalah kebijaksanaan tersendiri bagi seorang seniman.



 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya