SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Berbicara mengenai penanganan bencana di Indonesia setelah lima tahun peristiwa tsunami Aceh, tentu banyak hal yang harus dilakukan. Tamu kita kali ini, Del Afriadi Bustami, Koordinator Pendidikan Publik untuk Program Persiapan Masyarakat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akan menjelaskan bagaimana seharusnya menyusun standar operasional prosedur (SOP) secara nasional, dari saat ini masing-masing juga dimiliki oleh kabupaten/kota, polisi, TNI, PMI, dan Tim SAR. Berikut petikan wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Del Afriadi Bustami;

Apa kekurangan kita dalam penanganan bencana selama lima tahun sejak tsunami di Aceh?
Kita tidak bicara kekurangan, kita tidak mau bicara ke belakang. Kita bicara ke depan dan terus belajar, ternyata kita masih banyak tertinggal dalam persoalanpersoalan penanganan bencana. Pertama, dalam menangani pe ngurangan risiko bencana secara rinci, kita belum memprioritaskan ini menjadi sebuah planning untuk pemerintah. Prioritasnya ada tapi nomor sekian sementara bencana selalu mengintai kita, itu satu poin. Kedua, kita tidak punya hirarki wewenang jelas dari semua institusi penanganan bencana di Indonesia. Misalnya, Badan Nasional Penanggulang an Bencana (BNPB), Kemen terian Negara Riset dan Teknologi (Ristek), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan sebagainya tidak memiliki hirarki wewenang yang jelas.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Apakah soal mekanisme koordinasi dan segalam macam nya itu tidak diatur?
Di dalam Undang-Undang (UU) No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana sebenarnya banyak diatur. Namun, siapa yang menjadi leading sector tidak jelas. Seharusnya BNPB yang menjadi leading sector di situ tapi kita lihat kapasitas masih BNPB harus ditingkatkan terus menerus. Jika dengan kapasitas yang ada sekarang, kita khawatir teman-teman BNPB tidak bisa bekerja 24 jam sehari dan itu tidak mungkin. Jadi masih banyak solusi yang harus kita cari bersama.

Dalam peristiwa gempa Padang, Sumatera Barat kemarin, bagaimana kira-kira gambaran ketidakterkaitan tersebut, koordinasi semeraut dan se gala macamnya?
Di Padang sebenarnya ada political will. Jusuf Kalla yang luar biasa pada saat itu. Namun, kalau kita lihat apakah tanggap darurat (emergency response) di Padang itu terlaksana berdasarkan contigency planning di tingkat kabupaten/kota maka jawabannya adalah bukan. Kita selama ini belajar karena memang komunikasi krisisnya tidak jalan. Koordinasi yang tidak jelas adalah ada instansi yang kita sebut instansi vertikal seperti TNI dan Polri. Saya khawatir mereka tidak disiapkan secara benar dalam arti logistik. Mereka punya kemampuan karena punya kapasitas untuk membela negara. Namun pada saat melakukan emergency response, apakah dipikirkan mengenai hal seperti apa yang akan dia makan di daerah bencana. Itu tidak dipikirkan.

Apa yang harus dilakukan di daerah yang terjadi bencana alam?
Kita lihat bahwa kalau melakukan emergency response, itu berkaitan dengan contigency planning. Jadi emergency response disiapkan terlebih dahulu sebelum bencana datang. Kalau kita bicara itu, kita bicara tentang kesiapsiagaan. Ada lima poin penting, yaitu: warning system, pengetahuan dan sikap masyarakat, legal formal, prioritas, dan infrastruktur yang ada. Kalau kita lihat, warning system sudah menginvestasikan banyak sekali kapasitas ilmu dan budget. Kita lihat secara infrastruktur sudah terpasang dengan bagus, warning system di bawah leading sector oleh Ristek. Namun di tingkat masyarakat, apakah masyarakat mengerti arti apabila sebuah sirine dibunyikan?

Apa yang harus diperhatikan dan tingkatkan dalam konteks Indonesia sebagai ‘supermarket bencana’?
Pertama, untuk teman-teman aparat, kita kembali pada Hyogo Framework of Action (Konferensi Sedunia tentang Peredaman Bencana – suatu tindakan yang diinisiasi oleh negara-negara rawan tsunami, diadakan pada 18-22 Januari 2005, Kobe, Hyogo, Jepang) yaitu prioritas-prioritas kebijakan pengurangan risiko bencana di tingkat internasional kemudian regional lalu nasional, provinsi dan distrik. Kedua, susunlah standar operasional prosedur (SOP). Dengan SOP itu kita bisa menjalin kordinasi antar institusi. Saat ini kita melihat banyak SOP, misalnya, Kabupaten/kota memiliki SOP, polisi punya SOP, TNI punya SOP, Palang Merah Indonesia punya SOP, SAR punya SOP. Kalau masuk dalam penanganan bencana, SOP yang dipakai adalah yang dimiliki oleh kabupaten/kota. Mereka larut dan tunduk pada SOP kabupaten/kota, itu yang kita sebut dengan SOP tingkat daerah. Di tingkat nasional belum ada SOP. Kita belum melihat bagaimana koordinasi BNPB dengan BMKG dan juga dengan Kementerian Kordinator Kesejahteraan Rakyat bisa lebih tajam supaya penanganan bencana lebih bagus. Selain itu, teman-teman di daerah harus juga membuat nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) yang tegas dengan institusi vertikal. Itu karena bila terjadi bencana akan banyak institusi vertikal seperti SAR, TNI, Polri akan datang ke suatu daerah. Kalau kita tidak punya SOP daerah, kita akan sukar memetakan siapa melakukan apa, dimana, dan lain-lain. Itu juga poin.

Bagaimana pendidikan soal bencana di Indonesia. Apakah sudah ada daerah yang menerap kannya?
Saya melihat di Kabupaten Bantul,DIY, ada dalam tahap transformasi, belum internalisasi karena internalisasi perlu uji dahulu. Kita lihat mereka sudah melakukan transformasi pengetahuan dalam bentuk kegiatan sekolah dibantu teman-teman dari Muhammadiyah, dan lainlain. Kemudian dari sisi kebijakan dan infrastruktur, mereka menyediakan jalur-jalur evakuasi. Malah masyarakat sudah bisa membuat warning system sendiri.

Apakah pemerintah daerah punya peran besar juga untuk penanganan bencana?
Kalau boleh sedikit agak nakal, tergantung fi gur siapa yang memimpin. Figur itu yang akan menentukan political will sebuah kebijakan. Kita melihatnya apakah itu menjadi prioritas atau tidak dalam kebijakan pemerintahan dia. Kalau dikatakan iya menjadi prioritas tapi nomor 60, maka artinya kita tunggu saja akan banyak korban lagi. Tapi kalau menjadi prioritas nomor 6, atau ketiga atau kesatu, seperti di Bantul menjadi prioritas ketiga, maka ke depan akan banyak sekali hal-hal yang kita lihat, kita akan belajar dari teman-teman di Bantul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya