SOLOPOS.COM - Warga berfoto di depan wajan peninggalan zaman Belanda pada Jumat (3/9/2021). (Harianjogja.com/Catur Dwi Janati)

Solopos.com, BANTUL — Temuan benda kuno menyerupai wajan yang terpendam di hamparan tanah ladang Kretek, Jambidan, Banguntapan, Kabupaten Bnatul, DIY, masih terus diteliti. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY menilai temuan benda tersebut menyerupai temuan wajan beberapa tahun silam di Purworejo.

Kepala Sub Pokja Penyelamatan, BPCB DIY, R.A. Retno Isnur, belum bisa menjelaskan secara pasti temuan benda di Jambidan itu dan belum bisa mengklasifikasikannya. Perempuan yang akrab disapa Inung tersebut menuturkan butuh proses paling tidak sepekan untuk menganalisis laboratorium terhadap sampel material wajan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Terus terang kami belum mendapat laporan warga. Kemarin baru dilakukan peninjauan. Kemudian kita juga melakukan ambil sampel, residu di wajannya itu untuk mengetahui dulu bekas dipakai apa,” tuturnya pada Jumat (3/9/2021).

Namun dari pengamatan sekilas, Inung menyebutkan bentuk benda temuan di Jambidan hampir mirip dengan wajan yang ditemukan di Purworejo pada 2016 silam. “Itu mirip, cuma kita tidak tahu wajannya untuk apa. Kemudian bisa berpindah di situ bagaimana, saya belum bisa memberi statement karena masih dilakukan penelitian,” paparnya.

Baca Juga: Diduga Peninggalan Belanda, Rantai Raksasa Ditemukan di Cekdam Bantul, Bikin Backhoe Njengking

Sejauh ini kemiripan temuan wajan di Jambidan dari segi fisiknya disebutkan Inung mirip. Namun untuk ukuran dan rincian detailnya, BPCB DIY akan menghubungi Pemprov Jawa Tengah perihal wajan di Purworejo untuk dijadikan bahan acuan. “Kalau masalah ukuran kita masih mau bertanya juga ke Jawa Tengah yang pernah punya. Nanti kita membandingkan di situ,” ungkapnya.

Residu material yang tertinggal di dalam wajan tengah diteliti BPCB DIY. Hasil analisis dapat menunjukan residu yang tertinggal dalam wajan tergolong dalam bahan apa, sehingga dapat mengira-ngira kegunaannya pada zaman dahulu. “Kita belum tahu itu apa, penelitiannya juga lama. Entah itu residu sisa pembakaran atau entah itu sisa masak kita belum tahu,” ujar Inung.

Jangan Dirusak

Inung mewanti-wanti kepada masyarakat untuk tidak merusak dalam bentuk apa pun pada temuan wajan. “Di lokasi disarankan warga tidak boleh istilahnya merusak atau mengubah atau mencuci atau apa pun, yang penting di situ dulu. Kita sarankan cuma itu, kan sudah dipagari,” tegasnya.

“Kalau menyentuh tidak apa-apa, tetapi kemudian mencongkel atau apa janganlah. Tetapi sudah dibatasi tidak boleh, nanti ndak rusak,” ujarnya.

Perihal permintaan warga yang ingin wajan tidak dipindah, Inung menyampaikan bila itu boleh saja. Dengan syarat, pihak pemerintahan setempat melakukan perawatan yang baik terhadap benda temuan.

“Tidak masalah kalau tidak dipindah. Tetapi kita harus tahu itu mau diletakkan di mana atau bagaimana nanti kita harus tahu. Enggak masalah, pemerintah desa setempat atau SKB setempat mau merawat tidak masalah,” ungkapnya.

Baca Juga: Wow…Bangun Lapangan Sepak bola, Warga Malah Temukan Wajan Raksasa

“Nanti kan ada saran-saran dari bagian lab, karena itu kondisi yang bagaimana. Tidak boleh diginikan atau mungkin tidak boleh dicat dan lain sebagainya, kayak gitu. Nanti kalau sudah ada rekomendasi akan beri tahu. Asal nanti dipelihara dengan baik intinya kan begitu,” tandasnya.

Rantai raksasa
Petugas dari BPCB DIY mengecek rantai raksasa yang diduga dari era kolonial Belanda di padukuhan Manggir, Triharjo, Pandak, Bantul, Kamis (2/9/2021). (Harian Jogja/Jumali)

Selain wajan, pekan lalu juga ditemukan benda kuno lain yang diduga bersejarah yakni berupa rantai sepanjang 30,6 meter dan berdiameter 24 sentimeter di cek dam Ngancar, Manggir, Triharjo, Pandak. Rantai tersebut ditemukan di bawah permukaan cekdam Ngancar dan melintang dari arah selatan ke utara.

Ketua Unit Ratu Boko dan Candi Ijo BPCB DIY Tri Hartini yang datang langsung ke lokasi penemuan rantai raksasa dihubungi pada Minggu (5/9/2021) mengungkapkan bila material rantai masih dalam analisis.

Berdasarkan pengecekan ke struktur bangunan, dan wawancara rantai raksasa diduga dibuat dan dipasang pada masa penjajahan Belanda. “Untuk memastikan kami ambil sampel dan nanti akan kami uji lab, untuk umur benda tersebut,” tuturnya.

Ia menjelaskan secara konstruksi struktur bangunan yang ada, temuan benda mirip dengan dam Kamijoro yang dibangun masa era penjajahan Belanda. Di sisi lain ini dilihat dari bentuknya diperkirakan sudah menggunakan teknologi tinggi. “Sementara kami duga ini peninggalan Belanda,” tandasnya.

Baca Juga: Luar Biasa! SMK di Bantul Ini Bikin Motor Listrik dari Limbah, Dr Tirta Pesan 2

Saksi Sejarah

Warga Jmbidan sekaligus pengelola tanah kas desa tempat penemuan wajan, Sukardi, menceritakan mulanya lahan hanya ditanami tanaman Jati dan Kolonjono. Temuan wajan itu turun temurun dari sang kakek, lalu turun ke bapaknya hingga akhirnya sampai ke dirinya.

Wilayah ditemukannya wajan dikenal dengan nama Kompan. Berdasarkan cerita kakeknya, Sukardi menjelaskan disebut Kompan merujuk pada zaman Belanda wilayah tersebut dipasangi pompa untuk mengairi tanaman tebu.

Sukardi bahkan mengaku masih menyaksikan langsung wajan tersebut kali terakhir pada 1977. Waktu itu Sukardi masih berada di bangku sekolah dasar. “Tahun 77 itu masih saya pakai untuk mandi,” ungkapnya.

“Karena dulu kan itu masih dimanfaatkan oleh desa, terus diambilkan air dari Kali Opak. Maksudnya mau dihidupkan untuk mengairi lahan yang susah air,” imbuhnya.

Namun upaya tersebut tidak berhasil pasca-sebagian wilayah pengairan memiliki kadar pasir yang tinggi sehingga air terserap dan tak sampai naik ke bagian barat. “Makanya terus nganggur [wajan] kalau musim hujan dipakai untuk mandi-mandian,” ujarnya.

Baca Juga: Soto di Bantul Pakai Kata Umpatan Sebagai Nama



“Karena berbahaya, terus di situ untuk lewat orang tua dan anak kecil kalau terjatuh enggak ketulungan kan kasihan. Akhirnya sedikit-sedikit saya timbun,” tandasnya.

Fakta lain dituturkan Sukardi, wajan yang ditemukan merupakan dasar dari penampungan air. Saat ditemukan, wajan diimpit tembok persegi. Tembok itu lah yang disebutkan Sukardi mengimpit wajan hingga kedalaman tiga meter pada zaman dahulu. “Di atasnya diisi air yang digunakan untuk mengairi tanaman tebu,” tambahnya.

Bangunan penyimpanan mesin pompa Belanda selanjutnya lama-kelamaan lenyap. Sukardi menceritakan karena pada saat itu mencari batu bata terbilang susah, oleh karenanya bangunan peninggalan Belanda pun diambili batanya untuk dijadikan semen merah.

Mengingat wajan tersebut bagian dari sejarah desa, Sukardi bersama masyarakat berharap wajan tidak dipindah dan tetap berada di situ. “Dari warga masyarakat sekitar tetap menghendaki itu nanti jangan sampai pergi. Karena ini ada sejarah Kompan, kemudian adanya wajan akan dibuatkan seperti monumen,” tandasnya.

Sumber Ekonomi Baru

Permintaan tidak dipindahnya wajan nampaknya bukan tanpa alasan. Selain sebagai sumber sejarah desa, nyatanya keberadaan wajan kuno mendatangkan rejeki bagi pedagang dan warga sekitar. Dengan tarif sukarela, warga bisa dapat pemasukan dari situ.

Selain itu banyak pedagang keliling yang juga menuai laba dari banyaknya pengunjung di sekitar lokasi. Berbagai penjual tumpah ruah di lokasi wajan, mulai dari pedagang siomay, arum manis, es potong, cilok, leker, bihun goreng, es krim, mainan, balon, sampai ayam warna pun ada di situ.

Pedagang es krim keliling, Supriyanto, merupakan salah satu pedagang yang banjir untung. Di masa pandemi yang menerapkan belajar daring, Supriyanto hanya bisa keliling ke perkampungan. Dari pagi hingga petang, mentok Supriyanto hanya membawa uang Rp60.000 – 70.000 per hari.

Berjualan empat hari setelah wajan ditemukan, pendapatan Supriyanto naik berkali-kali lipat. Pada Jumat dan Sabtu pekan ini, Supriyanto bisa membawa pulang hampir Rp300.000 atau lebih dari empat kali lipat pendapatan biasanya dengan waktu jualan yang tak jauh beda dari pukul 09.00 WIB sampai pukul 17.30 WIB. Warga setempat pun tidak menarik iuaran para pedagang dengan nominal tertentu. Pedagang secara suka rela memberikan uang pembangunan masjid sekitar seikhlasnya.

Baca Juga: Pemkab Bantul Tak Uji Coba Aplikasi PeduliLindungi, Alasannya: Ga Punya Mal

“Ini baru musim pandemi hampir satu tahun para pedagang pada vakum susah mencari mata pencaharian sehari-harinya. Sedangkan kebutuhan dapur ada kesulitan sedikit. Adanya wajan ini cukup membantu perekonomian pedagang,” tandasnya.

Salah satu pengunjung, Widiyarti datang berombongan untuk menilik wajan bersama anak dan keponakannya. Warga Potorono, Banguntapan ini datang karena kagum melihat wajan sebesar itu. Tarifnya yang terjangkau alias murah meriah, pas untuk Widiyarti mengajak anak-anak jalan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya