SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Awal Oktober 2011 ini, Bank Indonesia (BI) merilis tiga beleid baru terkait devisa hasil ekspor dan utang luar negeri, yang selama ini cenderung gentayangan di perbankan luar negeri. BI akan memaksa dunia usaha untuk segera  memarkir devisa hasil ekspornya di brankas perbankan domestik. Ketiga beleid itu adalah Peraturan BI (PBI) Devisa Jasil Ekspor, PBI Lalu Lintas Devisa dan PBI Dvisa Utang Luar Negeri (ULN). Dari ketiga belid itu, hanya PBI Devisa Hasil Ekspor dan PBIDevisa Utang Luar Negeri yang ebnar-benar anyar.  Sedangkan PBI tentang Lalu Lintas Devisa merupakan hasil revisi dan merupakan konsekuensi dari berlakunya dua aturan baru tersebut.

Berdasarkan catatan BI, pada tahun 2010 lalu, tercatat US$32,35 miliar atau sekitar Rp284 triliun devisa hasil ekspor, yang masih terparkir pada rekening-rekening perbankan di luar negeri, utamanya pada perbankan di negeri Singapura. Para eksportir masih enggan untuk memarkirkan dananya di perbankan lokal, dengan alasan karena imbal hasilnya yang dianggap kurang kompetitif. Padahal, devisa hasil ekspor ini, apabila diparkir di rekening bank-bank lokal (bukan kantor cabang bank asing di Indonesia), akan dapat memperkuat cadangan devisa bank sentral.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Implementasi penuh dari PBI ini akan dimulai 2013, dimana para eksportir harus membawa pulang seluruh devisa hasil ekspornya ke perbankan dalam negeri, setelah tiga bulan pengiriman barang Sedangkan dalam masa transisi, eksportir boleh mentransfer uangnya enam bulan setelah ekspor barang. Maklum, rata-rata hasil devisa ekspor akan masuk selama satu bulan hingga tiga bulan setelah transaksi dilakukan. Sanksi bagi yang melanggar cukup berat. BI dan Ditjen Bea Cukai sudah menyiapkan sanksi berlapir mulai dari denda, pemblokiran ekspor, hingga pencabutan nomor izin kepabeaan (alias tidak bisa ekspor lagi).

Gema

Sayangnya, menurut pemberitaan yang ada, BI tidak membatasi eksportir untuk menyimpan uangnya di perbankan nasional. Mereka bisa saja menaruh uangnya di perbankan lokal maupun bank asing yang ada di Indonesia. Padahal, kalau tidak ada pembatasan, maka mereka kemungkinan akan lebih senang memarkir dananya di perbankan asing yang memiliki kantor di Indonesia. Dengan demikian, mereka akan dengan leluasa memindahbukukan dananya, tanpa harus melalui remitansi ke luar negeri berupa outgoing transfer. Denominasinya juga tidak harus rupiah, namun bisa tetap dalam US dollar, sementara jangka waktu penyimpanan juga tidak ditentukan, namun bebas.

Itulah beberapa hal krusial yang bisa menjadi bumerang bagi kembalinya devisa hasil ekspor. Terlebih apabila perbankan lokal tidak memiliki kesiapan yang memadai untuk bersaing dengan berbagai fasilitas yang selama ini sudah dimiliki oleh para eksportir kita. Untuk itu, perbankan lokasl utamanya bank-bank devisa harus belajar banyak dari perbankan skala global yang selama ini sudah menjadi mitra bisnis para eksportir, yang tentunya memiliki priviledge tersendiri.

Sebab, potensi devisa hasil ekspor ini cukup menggiurkan. Bayangkan, potensinya mencapai US$31,5 miliar, di mana devisa hasil ekspor sebanyak US$29 miliar (dalam dua tahun terakhir) dan US$2,5 miliar merupakan utang luar negeri yang ditarik korporasi lokal. Potensi inilah yang selama ini hilang, karena para eksportir lebih senang membenamkan dananya di perbankan luar negeri. Kondisi semacam ini jelas tidak bisa dibiarkan berlarut.

Pada 2009, neraca transaksi berjalan surplus US$10,625 miliar. Tahun 2010 menurun  hanya mencapai US$5,643 miliar. Angka tahun 2011 semakin merisaukan ketika pada triwulan pertama, surplus US$2,089 miliar, tetapi kuartal kedua hanya surplus US$233 miliar. Terjadi penurunan secara drastis.  BI memperkirakan bahwa triwulan ketiga dan ke empat bisa terjadi defisit transaksi berjalan. Demikian pula halnya dengan tahun depan diperkirakan akan mengalami hal yang sama, terlebih belakangan terjadi penurunan konjungtur perekonomian AS dan Eropa, akibat krisis keuangan hebat yang melanda kedua kawasan, yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.

Jelas, angka-angka statistik ini tidak bisa membohongi. BI mulai kawatir cadangan devisa akan tergerus dan hal ini harus diwaspadai bersama. Pemerintah dan BI tidak perlu ketakutan untuk memberikan aturan, yang terkesan memberikan beban ke pihak eksportir atau mengarah ke kontrol devisa. Oleh sebab itu, pemerintah, BI dan kalangan dunia usaha, utamanya para eksportir sebaiknya duduk bersama berdiskusi dan membicarakan masalah sebaik mungkin, sebelum beleid ini diberlakukan.

Akhir dari semuanya itu adalah, dibutuhkan adanya kebesaran jiwa dari para eksportir untuk benar-benar ikut memikirkan kepentingan yang lebih besar, yakni perekonomian nasional. Sebab, mereka pada dasarnya adalah montir perekonomian domestik, yang bisa ikut memperbaiki iklim perekonomian domestik. Tentunya pemerintah dan BI sebagai penguasa fiskal dan moneter harus memberikan teladan yang baik. Dengan demikian, semuanya akan bisa mendukung kebijakan yang dikeluarkannya, dengan hati yang legowo dan iklas tanpa ada resistensi yang mendalam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya