SOLOPOS.COM - Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua dari kiri), Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi (kedua dari kanan), dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo (kanan) menghadiri Sosialisasi Kebijakan Amnesti Pajak di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/8/2016) malam. (JIBI/Solopos/Antara/R. Rekotomo)

Sri Mulyani mau kembali menjadi Menteri Keuangan di era Jokowi dengan beberapa alasan. Dia juga punya prinsip kuat dalam pekerjaannya.

Solopos.com, JAKARTA — Ketika Sri Mulyani Indrawati memutuskan untuk menerima kembali jabatan Menteri Keuangan yang disodorkan oleh Presiden Joko Widodo, publik langsung meletakkan berekspektasi tinggi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Masalahnya, dia langsung menggebrak dengan merombak APBN Perubahan 2016. Bagi mayoritas ekonom, langkah pertama Sri Mulyani ini tepat. Tidak lama kemudian, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2016 melompat dari 5,18% dari 4,92% triwulan sebelumnya.

Rentetan momentum itu, disadari atau tidak, membuat ekspektasi publik terhadap kinerja perekonomian kian tinggi dengan datangnya Ani, sapaan akrabnya. Namun, ia sepertinya tidak terlalu peduli, atau setidaknya, tidak mau terlena dengan setumpuk harapan yang disandarkan di bahunya.

Dia menganggap posisinya sebagai Chief Financial Officer (CFO) RI membuat dirinya perlu selalu setia pada realitas matematis, dengan kepingan-kepingan data dan angka yang harus dihadapinya setiap hari.

“Saya menganggap ekspektasi ini adalah fungsi dari suatu harapan. Jadi kalau untuk mengelola harapan atau ekspektasi, adalah Anda harus membandingkan dengan realitas. Kita bicara tentang angka yang basisnya ada, metodologinya bisa dibandingkan dan dijelaskan secara mudah dan jernih,” paparnya.

Ani menceritakan satu tips yang dipegangnya untuk mereduksi dampak dari ekspektasi baik yang terlalu tinggi terhadap dirinya maupun yang terlalu rendah terhadap kinerja ekonomi nasional. Prinsip itu adalah sebisa mungkin menjelaskan informasi yang dimiliki secara sama akurat kepada semua pihak.

Apa yang dilakukan oleh Ani ini mengingatkan kepada apa yang dalam medan pergulatan ekonomi “informasi asimetris”. Hal itu mencerminkan situasi ketika pihak-pihak yang menggerakkan ekonomi memiliki informasi yang tidak setara sehingga keputusan yang diambil pihak yang memiliki informasi lebih banyak cenderung merugikan pihak lain.

Lebih ekstrem lagi, Paul Krugman yang pada 2008 meraih Nobel Ekonomi bahkan menuding informasi asimetris sebagai pintu masuk bagi pemilik informasi untuk melakukan moral hazard. Dengan selalu menjaga agar informasi parapihak menjadi “simetris”, Ani yakin akan tercipta sebuah area yang lebih realistis. Sehingga, lanjutnya, pihak-pihak terkait bisa menerjemahkan ekspektasi yang kuat unsur subyektif menjadi rencana kerja yang lebih obyektif dan realistis.

“Jadi apa yang saya jelaskan ke masyarakat, ke dunia usaha sama dengan ke DPR, sama dengan ke DPD, sama dengan ke Presiden, sama dengan ke kabinet, sama dengan ke rating agency dan ke market, semuanya sama. Sesudahnya, mereka akan compare note [membandingkan data] kan, dan mereka akan bilang, oh iya benar seperti ini,” kata Ani.

Pada akhirnya, dia menandaskan hanya harapan yang berlandaskan pada profesionalisme dan kredibilitas yang bisa dia pertanggungjawabkan. Pasalnya, Sri Mulyani mengungkapkan pengelolaan neraca keuangan negara tidak akan jauh-jauh dari bagaimana mengelola penerimaan dan membelanjakan, menghitung serta menetapkan parameter keberhasilannya.

“Jangan mengharapkan yang ajaib karena tidak ada keajaiban dalam mengelola ekonomi. Jadi caranya komunikasi. Kalau di dunia lalu ada saja keajaiban, kalau itu terjadi, itu anggap saja bonus,” tuturnya.

Tips lainnya, kata Menteri Keuangan era 2008 ini, adalah tidak pernah lelah mencintai Indonesia. Meskipun terdengar agak klise, barangkali hal itu yang juga menjelaskan kenapa Sri Mulyani yang 6 tahun terakhir sudah mentereng sebagai orang kedua di World Bank, dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi perempuan pertama yang dipilih untuk menduduki Presiden World Bank menggantikan Jim Yong Kim, mau pulang ke Indonesia dan sekali lagi menjadi menteri keuangan.

“Kita jalankan saja dengan penuh kecintaan. Kan saya selalu bilang, jangan pernah lelah dan putus asa mencintai Indonesia. Itu selalu yang saya katakan. Karena everytime you feel something, tidak boleh capek dan putus asa itu adalah bentuk cinta kepada republik.”

Ani mengungkapkan satu kalimat itu pula yang terus dipegangnya ketika harus berhadapan dengan peristiwa-peristiwa buruk, atau yang dia sebut sebagai “ranjau-ranjau”.

Mau tidak mau, dia harus mengatasi ranjau-ranjau itu. Pasalnya, Ani menekankan tugasnya memimpin Otoritas Fiskal bukan untuk menghindari ranjau, tapi untuk membangun Kementerian Keuangan sebagai institusi yang kredibel. Satu hal yang sepertinya perlu juga didengar oleh setiap pemimpin di semua institusi negara ini. “Karena kredibilitas itu sulit sekali dibangun, dan hilangnya cepat,” kata Ani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya