SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Ingatan tentang pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita digugah dalam acara Napak Tilas Sejarah Solo Kota Pusaka pada Selasa (20/9/2022) yang difasilitasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo.

Rute yang ditempuh adalah Museum Radya Pustaka, Keraton Kasunanan Surakarta, hingga “terminal” terakhir di Desa Palar, Kabupaten Klaten. Jalur tersebut bertemali dengan perjalanan intelektual sang pujangga paripurna itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tepat kiranya memakai halaman Museum Radya Pustaka sebagai awal rute. Di muka museum tertua di Nusantara ini, patung Ranggawarsita kukuh berdiri. Kepala sastrawan kenamaan tersebut menatap ke depan, seakan-akan menularkan spirit pengelolaan museum berisikan pusaka kebudayaan Jawa yang dihimpun ratusan tahun.

Setumpuk warisan di sini berupa pengetahuan, salah satunya yang terekam dalam naskah lawas anggitan Ranggawarsita. Lelaki yang semasa kecil bernama Bagus Burham ini dilahirkan pada 1802 dan tutup layar kehidupan pada 1873.

Ekspedisi Mudik 2024

Karyanya terus dibicarakan sepanjang hayat. Tersimpan dalam memori kolektif. Pada pengujung tahun 1930-an, di lorong Kota Solo banyak penjaja buku berumur separuh abad.

Mengenakan baju piyama, dhestar blangkon, serta memakai jarit. Mereka mengempit dagangan dalam tas kumal seraya berteriak,”Kula sade, kula sade, bukunipun Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga ing Surakarta.”

Wong Solo kala itu berkarib dengan produk Balai Pustaka Weltevreden yang mencetak pustaka berhuruf Jawa. Sementara itu, di Kota Solo dijumpai percetakan seperti De Bliksem milik keluarga Tjan Tjoe Siem, mantan murid Algemene Middelbare School (AMS) A1 Sastra Timur yang kemudian menjadi guru besar filologi di Universitas Indonesia.

Dari kesaksian ahli naskah Jawa yang pernah ”memangkal” di Museum Radya Pustaka, Poerbacaraka, masyarakat (terutama kaum terpelajar dan priayi) melahap bacaan anggitan Ranggawarsita berkat percetakan itu.

Raga boleh berkalang tanah, tapi nama Ranggawarsita terus melambung, lebih beruntung juga dibanding para eyangnya (Yasadipura 1 dan II) yang belum mencecap zaman cetak.

Masih paad era 1930-an, geblake atau hari kematian sang pujangga ke-60 diperingati di Societiet Mangkunegaran (kini Monumen Pers Nasional). Acara terasa spesial lantaran panitia menerbitkan dua jilid buku Serat Babad Carios Lelampahanipun Swargi Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Pustaka itu dicetak oleh Drukkerij MARS yang berposisi di Kota Solo. Pakar bahasa Jawa asal Belanda yang juga pengajar di AMS A1 Solo, Th, Pigeaud, ambil bagian. Pekamus yang pada masa periode kolonial sering ”menongkrong” di Museum Radya Pustaka ini menumpahkan kegembiraan atas perayaan istimewa itu melalui koran De Locomotief.

Harapannya, gagasan serta gaung acara tak mandek di Kota Solo. Sang kala bergulir. Tahun 1945, kematian pujangga yang dimakamkan di Desa Palar tersebut dihitung genap sembilan windu.

Paheman Radyapustaka mengadakan ceramah dan membedah kawruh Jawa yang terselip dalam karya Ranggawarsita. Salah satu pembicara adalah Pangeran Hadiwijaya yang mengepalai museum tua itu.

Nama harum Ranggawarsita makin menguar di luar Kota Solo dengan pendirian Kupel Ranggawarsita di Taman Ranggawarsita Jurug. Seolah-olah juru tulis keraton itu bertapa dalam keheningan, ditingkahi gemercik aliran Bengawan Solo yang mengalir sampai Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur.

Paku Buwono XII pada1952 mengerek nama Ranggawarsita dengan memberikan gelar Tumenggung (anumerta). Upaya mulia ini menggenapi cita-cita Ranggawarsita yang semasa hidupnya pernah berangan-angan menjadi pujangga terpuncak di keraton.

Presiden Soekarno

Catatan sejarah merekam mimpinya pernah kandas akibat ada ”kerikil” konflik dengan Paku Buwono IX. Buahnya, sampai akhir hayat mantan bocah bengal dan pernah mondok di pesantren Tegalsari, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, itu mentok bergelar Raden Ngabehi, sebagaimana terpatri dalam relung batin masyarakat Kota Solo kontemporer.

Acara Napak Tilas Sejarah Solo Kota Pusaka itu laksana kereta waktu yang mengantarkan kita pada sepotong kisah historis peresmian patung Ranggawarsita oleh Presiden Soekarno pada 1953. Hampir tujuh dekade silam.

Tepatnya pada 11 November 1953, Presiden Soekarno keraya-raya menjejakkan kaki di halaman Museum Radya Pustaka. Peristiwa bersejarah tersebut membekas dalam ingatan Sardono W, Kusumo, maestro tari asal Kota Solo.

Ia pernah menuturkan kepada saya bahwa hari itu para murid di Kota Solo diarak menuju museum kuno yang berada di kompleks Kebon Raja. Sardono yang saat itu adalah siswa sekolah dasar Tamansiswa berjalan beriringan bersama kawan-kawannya menyaksikan Sang Putra Fajar meresmikan patung pujangga Ranggawarsita.

Kota Solo gegap gempita, terlebih ketokohan Ranggawarsita dibawa ke dalam perjuangan bangsa Indonesia, baik sebagai sumber inspirasi, kekuatan, maupun ingatan kolektif bangsa. Dalam konteks acara ini, kita mestinya menapaki pula (membaca ulang) pidato Bung Karno.

Pidato tersebut perlu dimengerti pula maknanya oleh generasi kekinian, selain bukti faktual Ranggawarsita berikut pitutur yang telah menjadi milik bangsa Indonesia, bukan sebatas wong Jawa yang berdiam di kawasan eks kerajaan.

Bung Karno mengakui, tatkala di Kota Jogja, ia acap keluar masuk desa bercakap-cakap dengan bapak tani dan mbok tani yang dililit penderitaan. Dia lihat mereka kelaparan, bertubuh kurus kering, bocah-bocah kecil kurus ibarat tulang berbalut kulit.

Dia melihat mata yang berseri-seri, penuh harapan dan keyakinan, bahwa pada suatu saat akan datang ”ganjaran” dari Gusti Allah kepada bangsa Indonesia. Keyakinan dan kepercayaan mereka berpedoman pada ucapan Ranggawarsita.

Bung Karno menirukan ucapan petani itu bahwa biarlah sekarang ini masyarakat menderita, nanti pada suatu saat, menurut perkataan Raden Ranggawarsita, akan datang saat yang menyenangkan. Ucapan Ranggawarsita menyihir mereka untuk tahan menderita.



Dalam obrolan, Soekarno menyelipkan nasihat, bahwa perjuangan kita, hasil perjuangan kita itu, tidak boleh digantungkan, atau tidak karena didatangkan hanya sebab ucapan Ranggawarsita, bahwa akan datang zaman gilang-gemilang, tetapi Republik Indonesia hasil perjuangan rakyat ini adalah hasil penderitaan, pengorbanan, dari seluruh bangsa Indonesia.

Nyata bahwa kendati 1.000 kali Ranggawarsita berujar ana wiku mumuji ngesthi sawiji,  akan datang era keemasan, tapi jika bangsa ini tidak berjuang sekuat tenaga dan emoh berkorban, apa yang kita miliki sekarang ini sukar terelisasi.

Kegiatan budaya itu kembali memberi ”nyawa” pada patung Ranggawarsita. Ia terus memberi pepiling bagi pemerintah untuk berpihak kepada rakyat, kaum yang dicintai Bung Karno maupun sang pujangga hingga dirinya berkalang tanah di Desa Palar.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 September 2022. Penulis adalah dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan pemrakarsa Solo Societeit)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya