SOLOPOS.COM - Sedekah gunung. (jatengprov.go.id)

Solopos.com, SOLO—Sebagai warga Karanganyar, saya sudah tidak asing lagi dengan istilah kenduren. Kenduren biasanya diadakan di acara tertentu. Contohnya bersih desa atau sekadar ucapan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang melimpah.

Namun, seiring perkembangan zaman, kenduren mulai ditinggalkan. Hanya beberapa orang yang masih mengadakan kenduren.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Banyak orang zaman sekarang yang memilih praktis, sementara kenduren bagi sebagian orang dinilai ribet. Kenduren akhirnya mulai ditinggalkan.

Namun, hal berbeda ditunjukkan warga di lereng Merapi dan lereng Merbabu. Warga di sana masih mempertahankan tradisi kenduren ini. Tradisi tersebut bisa saya lihat setelah saya menikah dengan warga Boyolali, khususnya lereng Merapi.

Tradisi atau kebiasaan (Latin: traditio, “diteruskan”) mengutip dari Wikipedia merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Hal ini menunjukkan orang tersebut menyukai perbuatan itu. Kebiasaan itu dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang sehingga mereka melestarikannya.

Kata tradisi diambil dari bahasa Latin tradere yang bermakna mentransmisikan dari satu tangan ke tangan lain untuk dilestarikan. Tradisi secara umum dikenal sebagai suatu kebiasaan yang memiliki rangkaian peristiwa sejarah kuno. Setiap tradisi dikembangkan untuk beberapa tujuan, seperti tujuan politis atau tujuan budaya dalam beberapa masa.

Masyarakat di lereng Merapi mempunyai beberapa tradisi, di antaranya yang sudah tidak asing lagi adalah sekedah gunung. Sedekah gunung biasanya dilaksanakan pada pergantian tahun baru Islam, yakni 1 Muharram atau 1 Sura (kalender Jawa).

Prosesi sudah dimulai sejak pagi hari dengan kirab budaya, yaitu mengarak mahesa (kerbau) yang akan disembelih. Pada malam hari, dimulailah prosesi kirab kepala kerbau yang akan dilarung di puncak Gunung Merapi. Kemudian ritual dilakukan dengan mengarak uba rampe tersebut menuju puncak Merapi.

Ritual ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. “Sedekah gunung ini untuk nguri-uri budaya dan memohon keselamatan bagi masyarakat di lereng Gunung Merapi agar dijauhkan dari mara bahaya dan bencana letusan gunung Merapi. Permohonan itu tentu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebelum pemberangkatan ke puncak di Joglo Merapi, ada pembacaan legenda Gunung Merapi. Selanjutnya adalah pembacaan doa dan kidung-kidungan (nyanyian). Kemudian ritual dilakukan dengan mengarak uba rampe tersebut menuju puncak Merapi.

Di sini saya akan sedikit bercerita tentang kirab budaya warga lereng Merapi dan warga lereng Merbabu. Sedikit berbeda dengan sedekah Gunung Merapi yang sudah ada sejak zaman dulu, kirab budaya warga lereng Merapi dan Merbabu belum lama berjalan.

Tradisi ini baru berjalan kurang lebih delapan tahun. Kirab tradisi ini biasanya diadakan setiap tanggal 2 bulan Muharram. Tradisi ini biasanya digelar pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Tradisi kirab ini dilakukan dua warga lereng Merapi, tepatnya di desa Pojok dan warga lereng Merbabu, yaitu Desa Ngaglik.

Kirab ini biasanya dipimpin pemangku adat masing-masing desa. Pelaksanaannya berbeda dengan sedekah Gunung yang membawa kepala kerbau untuk diarak menuju puncak Merapi.

Kirab budaya diawali dengan doa bersama. Setelah itu, warga berjalan menuju depan pasar Selo yang sekarang lebih dikenal dengan simpang Pakubwono IV dengan membawa air dari Gunung Merapi dan air Gunung Merbabu.

Penyatuan 

Selain membawa air, warga dari masing-masing desa juga membawa tumpengan yang berisi hasil bumi, seperti buah, sayur, dan palawija. Setelah sampai di tempat tujuan, air dari masing-masing gunung kemudian disatukan dengan harapan bercampurnya air dari Merapi dan Merbabu akan melebur, menjadi satu adat-istiadat, budaya, maupun kebudayaan warga lereng Merapi dan Merbabu.

Pada dasarnya warga Merapi dan Merbabu berbeda kebiasaan dan keyakinan budaya. Contohnya tradisi nyadran yang diadakan setiap Sapar di bulan Jawa atau sebelum bulan puasa di lereng Merapi. Namun, warga lereng Merbabu melaksanakannya pada bulan Zulkaidah atau sesudah bulan puasa. Warga saling menghormati setiap perayaan nyadran. Mereka bergantian mendatangi perayaan tersebut.

Tidak hanya itu, tradisi lain yang masing sering dilakukan adalah kenduren. Kenduren tidak asing bagi kedua warga desa di lereng Merapi dan lereng Merbabu. Warga lereng Merapi lebih sering mengadakan kenduren dengan tujuan mengirim doa agar mereka terhindar dari bahaya, salah satunya erupsi gunung Merapi.

Setelah acara penyatuan air dari gunung Merapi dan Merbabu, tiba saatnya membagi-bagikan tumpengan kepada warga sekitar maupun orang yang menonton kirab tersebut. Warga berebut sayur, buah, dan palawija. Warga percaya siapa yang mendapatkan salah satu dari isi tumpengan tersebut akan mendapatkan rezeki yang berlimpah, sukses dalam hal apa pun, misalnya hasil panen yang bagus, kesehatan, dan apabila berdagang akan laris manis.

Puncak acara dari kirab budaya warga lereng Merapi dan Merbabu ini adalah kesenian wayang dan tarian Topeng Ireng. Topeng Ireng maknanya adalah Toto Lempeng Iromo Kenceng. Menggambarkan pola tarian yang dibawakan dengan alunan musik keras dan penuh semangat.

Kekompakan tarian mereka berisikan semangat gotong-royong masyarakat lereng Merbabu. Daya tarik utama kesenian Topeng Ireng terletak pada kostum para penarinya. Hiasan bulu warna-warni serupa mahkota kepala suku Indian menghiasi kepala setiap penari.

Senada dengan mahkota bulunya, riasan wajah para penari dan pakaian mereka juga seperti suku Indian. Berumbai-rumbai dan penuh dengan warna-warna ceria. Sedangkan kostum bagian bawah seperti pakaian suku Dayak, yaitu rok berumbai-rumbai.

Untuk alas kaki biasanya para peneri mengenakan sepatu boot dengan gelang kelintingan yang hampir 200 buah. Semua pemain menghasilkan suara riuh gemerincing setiap kali mereka bergerak.

Pertunjukan Topeng Ireng selalu diiringi berbagai bunyi-bunyian dan suara. Mulai dari suara hentakan kaki yang menimbulkan bunyi gemerincing berkepanjangan, suara teriakan para penari, suara musik yang mengiringi, hingga suara penyanyi dan para penonton.



Musik yang biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan Topeng Ireng adalah alat musik sederhana, seperti gamelan, kendang, terbang, bende, seruling, dan rebana. Alunan musik ritmis yang tercipta akan menyatu dengan gerak dan teriakan para penari sehingga pertunjukan Topeng Ireng terlihat atraktif, dinamis, sekaligus religius.

Biasanya para penari yang terdiri atas 10 orang atau lebih dan membentuk formasi persegi atau melingkar dengan gerak tari tubuh yang tidak terlalu kompleks. Para penari juga terlihat sangat ekspresif dalam membawakan tarian mereka.

Sedangkan warga lereng Merapi mengadakan acara kesenian wayang kulit. Acara wayang ini diselenggarakan setelah acara tarian Topeng Ireng selesai. Bukan hanya warga sekitar yang menonton, kirab ini juga banyak menarik wisatawan lokal maupun luar daerah.

Budaya yang dilestarikan dan dijaga sebagai wujud rasa kekeluargaan dan kebersamaan ini menjadi salah satu daya tarik wisata. Manfaat positif lain, budaya ini mendorong terciptanya toleransi yang memiliki peranan penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Penulis adalah guru di SMAN Kerjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya