SOLOPOS.COM - Romo Casutt Sj (JIBI/SOLOPOS/dok)

Romo Casutt Sj (JIBI/SOLOPOS/dok)

Meski bukan termasuk pendiri Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Solo, namun nama mendiang Romo Johann Balthazar Casutt SJ atau lebih dikenal sebagai Romo Casutt sangat dikenal sebagai salah satu pengembang pendidikan kejuruan teknik. Di bawah kepemimpinannya, ATMI juga berkembang sebagai salah satu pusat pendidikan kejuruan teknik yang menghasilkan lulusan berkualitas tinggi dan siap kerja. Bagaimana kisahnya mengenai upaya pengembangan yang dilakukannya bersama ATMI? Berikut penuturannya dalam sebuah wawancara dengan Bisnis.com beberapa waktu lalu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebagai pionir pendidikan siap kerja apakah ATMI pernah diminta pemerintah untuk membangun pendidikan sejenis?

Tentu saja. Dimulai 1970, Mendikbud [saat itu Mashuri] melakukan kunjungan mendadak lalu dia memanggil duta besar Swiss dan meminta agar didirikan sekolah sejenis ATMI. Berulang kali utusan ITB mengunjungi kami. Hasilnya pada 1975 berdiri PMS di Bandung yang berdiri dengan dana yang jauh lebih besar. PMS lalu menjadi politeknik yang diterapkan di berbagai universitas.

Sekitar 1995 bersama STM St. Mikael, ATMI diminta untuk meningkatkan 5 STM [Sekolah Teknik Menengah] di Jateng yang sebelumnya cenderung menerapkan Competency Level dari Australia a.l. STM 1 dan 2 di Solo, STM Negeri Pati, STM Pembangunan Semarang dan STM Negeri Magelang. Satu politeknik yang berdiri dengan bimbingan ATMI adalah Politeknik Caltex, dan tiga pusat pelatihan milik PT Astra, PT Krakatau, dan PT United Can dan ADR Group.

Selain itu kami menerbitkan sertifikat bagi lulusan STM yang diakui oleh industri. Tetapi setiap kali tes tidak separuh dari peserta yang lulus tes sertifikasi.

Kalau sistem ATMI sudah menjadi dasar di banyak politeknik, mengapa tak banyak politeknik mampu mencapai keberhasilan seperti ATMI. Apa yang menjadi kendala?

Sejak 1973 kami menerapkan dual system yang diterapkan Jerman dan Swiss. Sistem in yaitu pendidikan praktik dan teori dijadikan satu dengan orientasi production-based training. Jadi produk yang dihasilkan oleh siswa dilempar ke pasar.

Di satu sisi siswa belajar untuk bekerja menghasilkan sesuatu sesuai kebutuhan pasar di sisi lain barang produksi tersebut menghasilkan keuntungan finansial untuk mensubsidi jalannya pendidikan di sini.

Apakah dengan ini bisa dikatakan pendidikan ala ATMI membutuhkan biaya yang mahal?

Oh ya tentu saja. Pendidikan siap kerja bidang teknik ongkosnya mahal kalau menerapkan pendidikan model ATMI. Karena itu production-based training harus diterapkan. Sampai saat ini sekolah teknik atau politeknik hanya berorientasi sekolah. Mesin banyak menganggur dan tidak memikirkan produk jadi yang bisa dijual untuk membiayai operasional.

Dengan demikian kami dapat bertahan tanpa membebankan mahasiswa dengan uang kuliah yang tinggi. Sebab tidak mungkin seluruh biaya operasional dari dari siswa.

Berapa omzet produksi ATMI dalam setahun?

[Sambil tertawa] Yah, baik-baik saja sampai kini masih cukup untuk menjalankan ATMI.

(Bisnis.com mencatat 10 tahun lalu ATMI memiliki omzet produksi Rp3,5 miliar. Omzet itu kini sudah berlipat ganda karena permintaan tenaga lulusannya dari pasar dalam dan luar negeri terus berdatangan. Pemesannya di dalam negeri a.l. Pindad, Polytron, PT Inka, Pertamina, Coca-Cola, Daihatsu, German Motor, hingga Astra-Federal.)

Bagaimana prediksi pendidikan siap kerja tingkat diploma di Indonesia?

Tentu saja sangat diperlukan. Mengingat pembangunan di Indonesia sejak akhir 1960-an mulai dipacu ke arah industri dan meninggalkan pertanian. Sarjana lulusan perguruan tinggi banyak dan tenaga unskilled berlimpah.

Diperlukan tenaga pengisi di tengah-tengah kondisi itu. Hanya saya tidak mengerti mengapa pendidikan siap kerja ini kemudian sempat ditinggalkan oleh dunia pendidikan. Selain itu, seperti ada gejala bahwa ijazah di atas segala-galanya. Saya bisa mengerti mengapa Pater J Drost atau Romo Mangun berulang kali gusar dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Sayang mereka tidak pernah didengarkan.

Apakah tidak ada niat untuk meningkatkan ATMI menjadi sebuah universitas?

Untuk apa? Tujuan pendirian kami sejak awal mencetak tenaga ahli. Toh jika lulusan [ATMI] ingin meraih gelar sarjana, beberapa universitas seperti UGM atau ITB siap menampung. Kami pernah punya pengalaman unik dalam hal ini. Di antaranya tentang akreditasi oleh Kopertis [yang begitu sulit] hingga dilarangnya kerja sama perkuliahan antara ATMI dan UGM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya