SOLOPOS.COM - Para biksu saat singgah di Kelenteng Hok Tik Bio Ambarawa, Senin (29/5/2023). (Solopos.com/Hawin Alaina)

Solopos.com, SALATIGA — Ritual thudong atau berjalan kaki yang dilakukan 32 biksu dari Thailand menyedot perhatian publik Indonesia beberapa waktu terakhir ini.

Saat ini ke-32 biksu tersebut sudah sampai di tujuan mereka, yakni Candi Borobudur, Magelang untuk persiapan melakukan ibadah di puncak Waisak 2567 BE/2023.

Promosi Jadi Merek Bank Paling Berharga di RI, Nilai Brand BRI Capai US$5,3 Miliar

Dosen sejarah Islam UIN Salatiga Ahmad Faidi, mengatakan secara bahasa, kata thudong berasal dari Bahasa Pali, yaitu dhutanga yang berarti latihan keras. Dalam tradisi kaum Budhis, ritual thudong merupakan perjalanan spiritual yang ditempuh dengan cara berjalan kaki sejauh ribuan kilometer.

“Latihan keras ini hanya dapat dilaksanakan oleh bhante atau biksu yang telah disumpah untuk menjadi biksu pengembara atau biksu aranyaka,” ungkap Faidi kepada Solopos.com, Jumat (2/6/2023).

Dikatakan, ritual thudong ini, para biksu dilatih untuk berpuasa dari emosi dan keinginan serta dilatih hidup dalam kesederhanaan. Dalam menjalani ritual ini, para biksu hanya membawa sedikit bekal.

Mereka hanya mengandalkan keyakinan akan kedermawanan dari orang-orang di setiap tempat yang mereka singgahi. Bekal keyakinan semacam itu merupakan nilai-nilai dari ajaran Sang Buddha.

“Dalam ajaran Buddha, ritual thudong dipercaya dapat menjauhkan mereka dari tiga dosa utama yaitu keinginan, kemarahan, dan kebodohan,” terang Dosen Sejarah Islam UIN Salatiga itu.

Menurutnya, nilai-nilai dalam perjalanan spiritual dalam ajaran Agama Buddha tersebut tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai tazkiyatun nafs yang diajarkan dalam Agama Islam.

“Menurut keyakinan Islam, setiap manusia memiliki jasad dan ruh. Jika jasad adalah dimensi duniawi, maka ruh menjadi tanda keberadaan dimensi ukhrowi. Dengan demikian, kaum muslim juga meyakini bahwa ruh atau jiwa manusia bisa mengenali kemurnian dan kebaikan serta dapat menangkap kebaikan bagi dirinya,” kata Faidi.

Jika manusia lebih mengutamakan kepentingan duniawi dan dorongan hawa nafsunya, kata Faidi, maka sedikit demi sedikit penglihatan ruhani terhadap nilai-nilai kebaikan menjadi semakin terhijabi (tertutup).

Oleh karena itu, manusia dengan segala kelemahan dan keteledorannya senantiasa butuh media tazkiyatun nafs. Manusia butuh ritual untuk melunturkan hijab yang telah menutupi penglihatan ruhaninya dari nilai-nilai kebaikan.

Menurutnya, tanpa tazkiyatun nafs, sangat mungkin manusia akan tersesat dalam kegelapan dan kemurungan.

“Dalam Islam, upaya tazkiyatun nafs ini dapat dilakukan melalui ibadah-ibadah yang diwajibkan maupun ibadah-ibadah yang disunnahkan. Salat lima waktu, puasa Ramadan, dan zakat merupakan media latihan keras bagi umat Islam untuk melunturkan keangkuhan, kesombongan, kemarahan, ketamakan, serta berderma,” beber Faidi.

Faidi menyebut, antusiasme dan keramahtamahan masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut 32 bhante yang sedang melakukan tazkiyatun nafs dengan ritual thudong merupakan ibadah yang dianjurkan dalam ajaran Islam.

“Kita semua adalah pejalan kaki dalam pencarian panjang ini. Semoga kita senantiasa istiqomah dalam setiap upaya tazkiyatun nafs yang kita lakukan dengan cara dan keyakinan kita masing-masing,” tandas Faidi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya