SOLOPOS.COM - Ronny P. Sasmita (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Pada saat Ben Gurion mendeklarasikan negara Israel berdaulat pada tahun 1948, sekitar 156.000 orang Arab terjebak di dalam wilayah yang diklaim oleh Isreal tersebut.  Mau tak mau, secara otomatis, mereka menjadi warga negara Israel.

Sampai hari ini jumlah mereka berlipat menjadi sekitar 1,9 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 1,6 juta orang adalah Arab muslim, sisanya Arab Druze dan Arab Kristen.  Layaknya warga negara kebanyakan di sana, mereka punya hak pilih penuh sebagaimana warga Israel Yahudi sejak pemilihan umum pertama.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Pada tahun 1948, tercatat tiga orang Arab yang menjadi anggota Knesset (Parlemen Israel). Kini jumlahnya belasan orang yang berasal dari beberapa partai. Kalau kita berjalan-jalan di Pasar Levinski atau Pasar Carmel di Tel Aviv, atau Pasar Jaffa di Kota Tua Isreal, selalu ada pedagang atau pembeli ”Arab Israeli”.

Mereka cukup ramah dan nyaris tak menyembunyikan kearaban mereka alias tetap bangga dengan status Arab sebagaimana mereka bangga memiliki status kewarganegaraan Israel. Pada saat masuk waktu salat dan saat itu kita mengobrol dengan mereka maka mereka dengan sopan akan mohon izin untuk beribadah.

Begitu pula di universitas-universitas di Israel. Data dari Tel Aviv University yang saya terima akhir tahun lalu menunjukkan 30% dokter di Israel adalah orang Arab, mayoritas Arab muslim. Demikian juga tenaga kesehatan lainnya dan ahli farmasi, tercatat sekitar 35% orang Arab.

Beberapa kawan saya di beberapa universitas di Israel juga mengatakan kepada saya bahwa komposisi tersebut beda-beda tipis dengan komposisi orang Arab yang kuliah di Tel Aviv University, Hebrew University,  Ariel University,  Ben Gurion Univesity,  dan beberapa perguruan tinggi lainya.

Sementara di angkatan bersenjata Isarel atau Israel Defense Force (IDF) hanya sekitar 1.000-an orang Arab, tapi tercatat sekitar 5.000-an orang yang secara sukarela bekerja pada National Service of Israel. Di dunia olah raga pun demikian, kalau saya tak salah,  kapten tim nasional sepak bola Isreal masih dipegang oleh muslim.

Pernah beberapa waktu lalu saya iseng bertanya bagaimana pendapat mereka soal nasionalitas yang mereka sandang hari ini? Cukup mengejutkan jawaban mereka. Mereka dengan bangga mengatakan bahwa nasionalitas mereka adalah Isreal, walaupun semua orang di sana juga mengetahui bahwa mereka adalah orang Arab alias bukan Jews (Yahudi).

Lantas bagaimana pandangan mereka soal konflik tak berujung Israel dan Palestina? Terdapat beberapa kelompok pendapat tentang hal ini.  Pengelompokannya tak berbeda jauh dengan orang-orang Yahudi.

Pertama, kelompok netral.  Kelompok ini hanya ingin hidup damai dalam keberagaman. Mereka berharap terjadi perdamaian segera antara Israel dan Palestina, bahkan ada sebagian dari mereka yang berharap saudara-saudara mereka di Palestina menjadi saudara satu negara dengan mereka.

Satu negara yang mereka maksud adalah Israel (negara federasi Israel-Palestina, or a kind of) agar mereka mendapat pelayanan dan perlakuan yang sama dengan mereka, mengingat besarnya peran Israel dalam ekonomi dan administrasi.

Sebut saja misalnya mata uang. Orang Palestina lebih banyak menggunakan sekhel ketimbang dirham dalam kehidupan sehari-hari.  Kelompok ini merasa senang dan bahagia hidup di bawah pemerintahan Isreal yang ikut mereka pilih.

Mereka juga tak merasa diperlakukan diskriminatif sebagaimana sistem pemerintahan apartheid yang dituduhkan banyak pihak kepada Israel karena mereka adalah warga negara Isreal,  alias Arab Israeli.  Kondisi berbeda dan kontradiktif terjadi di Westbank (Tepi Barat) dan Gaza.

Situasi apartheid sangat terasa di settlements Israel.  Sampai hari ini ada sekitar 400.000-an orang Yahudi di lebih dari 100-an permukiman ilegal di Westbank (ilegal menurut hukum internasional karena didirikan di zona yang bukan zona Israel). Sebagian permukiman ilegal ini bahkan didirikan di sepanjang Jordan Valey, yang membuat rakyat Palestina terkepung di tengah.

Selain itu, dengan menduduki Jordan Valey, Israel menguasai sumber air di Westbank yang menjadi salah satu kebutuhan dasar penduduk Palestina di Westbank. Posisi permukiman-permukiman tersebut sangat acak.

Suasana apartheid sangat kental terasa karena satu permukiman bisa langsung bertetangga dengan perkampungan rakyat Palestina. Sebagian rakyat Palestina yang bekerja di lokasi yang jauh dari tempat tinggal mereka harus melewati beberapa kali pos check point di beberapa settlements.

Pelayanan Publik

Di sisi lain, ketimpangan sangat mencolok, walaupun bagi rakyat biasa di kedua kubu, sebagian dari mereka masih bergaul layaknya situasi normal. Banyak rakyat Palestina yang bekerja di permukiman-permukiman Isreal.

Kedua, kelompok pro Israel. Barangkali kelompok inilah yang diwawancarai oleh eks anggota IDF keturunan Arab yang hampir pasti kontra terhadap Hamas dan Palestina.  Kelompok ini memang lumayan buka-bukaan menentang Hamas dan mendukung tindakan tegas pemerintah Israel kepada kelompok-kelompok radikal Palestina.

Dengan kata lain, nasionalisme Israel lebih dominan ketimbang solidaritas Arab. Kelompok ini kira-kira setara dengan kelompok nasionalis Palestina  yang diikat oleh rasa satu nasionalitas, bukan semata solidaritas religiositas.

Fakta mayoritas memang seperti itu, bahwa cukup banyak orang Palestina yang lebih mengidentifikasi diri mereka sebagai warga negara Palestina (nasionalisme), bukan semata-mata sebagai umat satu agama tertentu.

Orang Arab Islam dan Arab Kristen sama-sama mengibarkan bendera Palestina di rumah mereka atau pada saat berdemonstrasi. Orang Islam Palestina dengan penuh hormat dan kehangatan menghadap Wali Kota Ramallah,  Musa Hadid,  yang beragama Kristen, misalnya.

Musa Hadid pun memperlakukan orang Arab Islam layaknya saudara sebangsa, yakni Palestina. Ia yang sempat viral dua tahun lalu berkat film dokumenter berjudul Mayor akan masuk ke rumah orang Arab Palestina muslim yang bermasalah, berpelukan, lalu memberikan pelayanan dan bantuan yang diperlukan.

Musa Hadid sudah dua periode menjabat sebagai Wali Kota Ramallah. Tahun ini tahun terakhirnya. Ketiga, yakni  kelompok pro Palestina atas dasar kemanusiaan dan two state solution. Kelompok ini biasanya adalah aktivis-aktivis nongovernmental organization atau NGO dan pendukung Partai Kiri Tengah (Center Left), termasuk Partai Arab, yang menjadi oposisi pemerintahan Netanyahu.



Kelompok inilah yang sering mendatangi rumah dinas Benyamin Netanyahu tahun lalu karena kecuekan pemerintah Israel atas tingginya angka infeksi Covid-19 (sebelum vaksin resmi dirilis). Kelompok ini menentang segala bentuk aksi dan reaksi militer dari Israel maupun dari Hamas.

Mereka menuntut keterlibatan lebih jauh Israel memberikan pelayanan publik dan bantuan sosial kemanusiaan untuk rakyat Palestina,  termasuk vaksin Covid-19. Mereka juga menuntut Israel untuk lebih aktif dalam mempromosikan two state solution dan pengakuan atas kedaulatan Palestina.

Kelompok ini juga yang menentang negara Israel dijadikan sebagai jewish state. Kelompok ini ada di barisan pertama melawan pemerintahan Isreal ketika ada pelayanan dan perlakuan diskrimintif dari pemerintah Israel kepada warga Arab Israel.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya