SOLOPOS.COM - Kain tenun Sasak (JIBI/Bisnis Indonesia/Dewi Andriani)

Solopos.com, LOMBOK — Wisata ke Lombok tidak melulu tentang pantai dan keindahan bawah lautnya yang menggoda. Traveler juga dapat menyaksikan langsung kehidupan asli suku Sasak di Dusun Sade, Desa Rambitan, yang bisa ditempuh sekitar 20 menit dari Bandara Internasional Lombok.

Kampung tertua di selatan Lombok tersebut telah menjadi desa wisata sejak 1975. Setibanya di sana, pengunjung langsung disambut oleh pemandu yang siap menjelaskan mengenai seluk beluk dan budaya suku asli Lombok tersebut.

Promosi Cerita Penjual Ayam Kampung di Pati Terbantu Kredit Cepat dari Agen BRILink

“Dusun Sade ini memiliki sekitar 150 kepala keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 700 jiwa. Bisa dikatakan seluruh penduduk yang ada di sini masih satu keluarga sebab menikahi saudara sepupunya sendiri,” ucap sang pemandu mengawali pembicaraan.

Yang agak unik dari suku Sasak ini ialah budaya pernikahan tanpa lamaran alias kawin lari yang disebut merariq. Ini berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang harus meminta lamaran kepada keluarga sebelum menikahi anak gadis orang.

Jadi, ketika keduanya sudah sama-sama cocok, si pria akan membawa lari wanita untuk diinapkan di rumahnya. Setelah itu, keluarga pria akan memberi tahu kepala kampung untuk menyampaikan kepada orang tua si gadis perihal anaknya yang hilang diculik. Setelah semua berkumpul dan disepakati, barulah keduanya dinikahkan secara resmi. “Jadi budaya menikah di sini tanpa lamaran.”

Kain tenun Sasak (JIBI/Bisnis Indonesia/Dewi Andriani)

Kain tenun Sasak (JIBI/Bisnis Indonesia/Dewi Andriani)

Sebagai desa wisata, masyarakat di sana masih mempertahankan rumah adat mereka. Rumah tersebut menggunakan atap dari rumput alang-alang yang bisa bertahan sekitar tujuh tahun hingga delapan tahun, dinding yang terbentuk dari anyaman, serta pintu kayu.

Begitu pula dengan lantainya yang sebagian masih terbuat dari tanah liat. Agar tidak terkelupas, maka masyarakat setempat membersihkan lantai tersebut dengan menggunakan air yang dicampur dengan kotoran kerbau.

Cara tersebut sudah ada sejak zaman dahulu mengingat awalnya suku Sasak menganut animisme. Mereka percaya membersihkan lantai dengan kotoran kerbau dapat membuat rumah lebih bersih dan suci. Saat ini, meski masyarakat sudah beragama Islam, cara tersebut masih dipertahankan.

“Dengan menggunakan campuran kotoran kerbau, lantai rumah akan menjadi lebih licin dan bersih. Sebab, dengan itu, tanah liatnya akan lebih padat dan keras, kalau tidak, dia akan terkelupas,” tuturnya.

Sebagian besar masyarakat Sasak memiliki mata pencaharian sebagai petani. Oleh karena itulah, atap berbentuk Lumbung Padi menjadi ciri khas suku Sasak dan masyarakat Lombok. Seperti halnya suku Minang Kabau yang memiliki ciri khas atap berbentuk kepala kerbau.

Di luar musim panen, masyarakat suku Sasak menenun dengan berbagai motif dan harga. Karena itulah, di sepanjang gang desa tersebut, kita akan menemui penduduk setempat yang menjual berbagai tenun dan cinderamata. Tidak perlu khawatir dengan harganya, sebab kita masih dapat menawar semua barang-barang yang dijual di sana.

Di sana terdapat satu motif tenunan khusus yang bergambarkan atap lumbung padi. Sebelum menenun motif tersebut, penenun harus menjalani ritual lebih dahulu. Tenun motif lumbung padi yang berlatar kain putih tersebut dibanderol Rp120.000.

Jadi bagaimana? Apakah Anda tertarik mengenal lebih dekat masyarakat asli Lombok?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya