SOLOPOS.COM - Akhlis Syamsal Qomar, sejarawan muda dari Kabupaten Madiun yang ikut berkontribusi dalam penulisan buku Antara Lawu dan Wilis yang merupakan catatan dari Residen Madiun, Lucien Adam. (Madiunpos.com/Abdul Jalil)

Solopos.com, MADIUN — Berbicara tentang Madiun, bukan sekadar peristiwa pemberontakan PKI 1948. Madiun memiliki sejarah panjang yang menarik dan unik untuk diulik.

Banyak buku bercerita tentang Madiun pada masa prakemerdekaan. Terbaru, buku berjudul Antara Lawu dan Wilis karya Lucien Adam. Buku itu terbit pertama pada Oktober 2021. Buku itu memiliki 458 halaman.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Lucien Adam merupakan Residen Madiun tahun 1934-1938. Pejabat Residen Madiun dari keluarga kosmopolitan terpandang ini hidup di Hindia Belanda, kini Indonesia, selama tiga generasi atau sejak akhir dekade 1850-an.

Baca Juga : Suami Bunuh Istri di Tegal Ternyata Sedang Proses Cerai

Buku itu berisi kumpulan artikel yang ditulis Lucien Adam tentang wilayah Madiun Raya, dari masa praaksara, Hindu-Budha, Islam, sampai abad ke-19 atau saat perang Diponegoro. Dalam buku itu juga dilengkapi karya sejarawan muda dari Madiun, Akhlis Syamsal Qomar.

Kepada Solopos.com, Akhlis menceritakan buku Antara Lawu dan Wilis memiliki banyak informasi dan data terkait Madiun Raya. Meliputi, sisi arkeologi, sejarah, dan legenda. Menurutnya, Lucien Adam sangat cerdas menyajikan data terkait sejarah Madiun.

“Buku ini menarik untuk menelisik lebih jauh tentang Madiun. Bagaimana seorang pejabat residen zaman itu memotret kondisi Madiun dari berbagai sudut pandang,” kata Akhlis beberapa hari lalu.

Baca Juga : Miris! Remaja Perempuan Layani Pria Hidung Belang Demi Bisa Makan

Dalam buku itu, lanjut dia, pembaca akan ditunjukkan bahwa Madiun memiliki sejarah panjang sebagai sebuah daerah. Sehingga, menurutnya, tidak tepat jika melihat Madiun hanya dari peristiwa pemberontakan PKI pada 1948 saja.

Lucien Adam memaparkan sejarah Madiun berada di bawah Kasultanan Yogyakarta sebelum menjadi wilayah kekuasaan pemerintah kolonial. “Setelah perang Diponegoro tahun 1830-an, Mancanegara Wetan diserahkan ke kolonial. Saat itu terbentuk Karesidenan Madiun. Sebelum terbentuk karesidenan, bupati yang menjabat bertanggung jawab kepada Sultan. Setelah dibentuk karesidenan, bupati Madiun Raya tidak lagi tanggung jawab ke Sultan, melainkan Residen,” cerita Akhlis.

Selanjutnya, pemerintah kolonial ingin memisahkan diri dari masyarakat pribumi hingga akhirnya membentuk Kota Madiun pada 1918. “Makanya pemerintah kolonial membangun pusat peradaban di sekitar gedung keresidenan. Saat ini gedung Bakorwil Madiun itu. Seperti kompleks balai kota, gereja, gedung bioskop. Ini bukti [masyarakat kolonial] saat itu ingin memisahkan diri dari pribumi,” jelasnya.

Baca Juga : AirAsia Buka Lagi 9 Rute Domestik Mulai Desember, Catat Daftarnya

Pesantren Pardikan Banjarsari

Dalam buku itu, Akhlis yang merupakan mahasiswa Magister Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo berkontribusi dengan menulis tanah pardikan di Banjarsari, Madiun. Di artikel itu, Akhlis menceritakan desa-desa pardikan pada masa itu.

Salah satu yang diulas adalah Pesantren Pardikan Banjarsari yang diasuh Kiai Ageng Muhammad bin Umar. “Pada zaman itu [tahun 1768-1807], Pesantren Banjarsari cukup ternama dan dikenal luas di Pulau Jawa karena pertaliannya dengan dua pesantren besar yang merupakan pusat agama penting masa itu, yaitu Tegalsari dan Sewulan,” ulasnya.

Baca Juga : Satpol PP Klaten Gelar Operasi Rokok Ilegal, Ini Hasilnya

Hasil penelitian Akhlis mengungkap bahwa Pesantren Banjarsari merupakan salah satu pesantren tersohor hingga abad ke-19. Kemajuan Pesantren Perdikan Sewulan dan Banjarsari tidak lepas dari figur pemimpin pertama dua pesantren di Madiun, yaitu Kiai Ageng Basyariah dan Kiai Ageng Muhammad bin Ummar.

Mereka memiliki pengaruh besar sebagai santri terkemuka dari generasi pertama sekaligus menantu Kiai Ageng Muhammad Besari dari Tegalsari. “Pesantren Banjarsari ini bisa dikatakan pusat keislaman dari abad 18 sampai abad 19. Pada tahun 1924, santrinya semakin sedikit. Saat ini, Pesantren Banjarsari sudah tidak ada bangunannya.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya