Rsjihsolo
Rabu, 7 Juni 2023 - 20:20 WIB

Mengenal Art Therapy, Terapi Penyembuhan dengan Seni

Bayu Jatmiko Adi  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi melukis (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Tidak dimungkiri lagi, sebuah karya seni menjadi karya yang memiliki nilai keindahan tersendiri yang bisa membuat takjub siapa saja yang melihatnya. Namun di luar itu, seni ternyata juga bisa menjadi media terapi penyembuhan untuk seseorang.

Pada Health Talk Rumah Sakit (RS) JIH Solo yang disiarkan di Youtube RS JIH Solo belum lama ini, membahas lebih lengkap mengenai terapi seni atau art therapy tersebut.

Advertisement

Art therapy saat ini tengah hit di kalangan remaja. Walaupun sebenarnya terapi ini juga bisa diterapkan kepada semua kalangan usia, baik anak, remaja maupun orang lansia.

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RS JIH Solo, dr. Afinia Permanasari, Sp.KJ., menjelaskan, art therapy merupakan terapi penyembuhan yang berfokus pada media seni. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan emosi atau mengungkapkan perasaan yang tidak bisa diungkapkan secara verbal.

Advertisement

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RS JIH Solo, dr. Afinia Permanasari, Sp.KJ., menjelaskan, art therapy merupakan terapi penyembuhan yang berfokus pada media seni. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan emosi atau mengungkapkan perasaan yang tidak bisa diungkapkan secara verbal.

“Jadi ketika seseorang itu tidak bisa mengungkapkannya dengan bahasa, kita bisa memilih seni sebagai fasilitator atau media penyampaiannya,” kata dia.

Berdasarkan pengalamannya terkadang ada pasien yang datang kemudian hanya bisa menangis. Kemudian dari keluarga yang mengantar juga mengatakan bahwa pasien tersebut memang sulit dalam berkata-kata. Kadang ada juga ada pasien datang, namun mengaku bingung dengan apa yang mau disampaikan.

Advertisement

Menurut dr. Afinia, awal mula munculnya art therapy adalah di Inggris sekitar 1939 lalu. Dimana saat itu ada seorang pelukis bernama Adrian Hill, dirawat di suatu rumah sakit di Inggris karena menderita tuberkulosis.

“Kita tahu tuberkulosis itu butuh perawatan dalam jangka waktu lama. Pada beberapa khusus butuh rehabilitasi lama di rumah sakit. Untuk mengobati kebosanannya, di rumah sakit itu dia [Hill] mencoba menggambar atau melukis,” kata dia.

Awalnya kegiatan melukis itu diikuti oleh kalangan penunggu pasien saja. Tapi lama-kelamaan teman-temannya yang juga menderita hal yang sama, banyak yang bergabung untuk mengisi waktu kosong mereka di rumah sakit.

Advertisement

Seiring berjalannya waktu, Adrian Hill melihat kegiatan melukis itu ternyata mampu meningkatkan kualitas hidup teman-temannya. Bahkan berdampak pada meningkatnya kepatuhan minum obat, tidak bosan, terlihat bahagia meski menjalani perawatan dalam waktu lama dan sebagainya.

Melihat hal tersebut, Adrian Hill pun mengusulkan kepada tim kesehatan di rumah sakit tersebut, bahwa kegiatan berkesenian itu bisa digunakan sebagai terapi acuan di rumah sakit.

Akhirnya kegiatan yang kini disebut art therapy itu terus berkembang sampai seluruh Eropa dan Amerika. Bahkan di Amerika pun ada asosiasi art therapy.

Advertisement

Di Indonesia, terapi seni ini juga berkembang. Biasanya banyak dilakukan untuk pasien dengan autis. Sebab kebanyakan dari mereka memiliki kendala dalam komunikasi.

Dr. Afinia mengatakan art therapy tidak hanya menggambar atau melukis. Bisa juga dilakukan dengan seni musik, tari dan fotografi. Menurutnya terapi tersebut sangat berpengaruh pada kinerja otak.

“Misalnya seni lukis itu lebih bekerja pada otak belakang. Musik berpengaruh pada otak temporal. Kemudian seni tari lebih berfokus pada otak bagian parietal,” jelas dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif