SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Saya mencoba mengenali kemarahan yang saya rasakan pada suatu pagi saat televisi yang berisik mengabarkan sebuah berita, sementara saya berada di ruang depan. Pembaca berita mengabarkan 155 siswa dicoret dari daftar peserta Pendaftaran Peserta Didik Baru SMPN di Kota Bogor karena memalsukan alamat. Kepala saya berdenyut, fakta macam itu?

Sungguh saya tak habis pikir bagaimana mungkin ada orang tua yang mengajarkan anaknya berbuat kejahatan sejak dini? Apa yang ada di kepala para orang tua itu? Apa yang ingin mereka ajarkan kepada anak-anak itu? Apa yang ingin mereka wariskan? Pelajaran macam apa yang mereka jejalkan?

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Pertanyaan saya berenang-renang di kepala bersama dengan pikiran yang macam-macam hingga suatu ketika pertanyaan-pertanyaan itu saling bertabrakan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus terang tak saya harapkan datang.

Lama-lama saya mulai berpikir tentang diri saya sendiri, seperti: Bagaimana dengan saya? Orang tua macam apakah saya ini? Apakah saya orang tua yang baik? Apakah saya jauh lebih baik dibandingkan mereka? Sudah pantaskah saya mengumpat orang lain? Seberapa akurat saya menilai diri saya sendiri sebagai orang tua yang lebih ideal?

Pikiran saya kemudian melayang pada sebuah pagi lain ketika anak sulung saya meminta maaf untuk hal yang menurut saya sangat tidak beralasan. Anak sulung saya adalah adalah anak yang berprestasi, peringkat pertama sejak kelas II hingga kelas VI SD dan meraih beberapa penghargaan di luar prestasi akademik. Dengan mudah dia bisa masuk jalur prestasi di SMPN pilihannya.

Seperti orang tua kebanyakan, saya tentu bangga atas dirinya, selalu mengucapkan selamat atas keberhasilannya dan mendorong dia agar bisa meraih prestasi yang lebih baik lagi. Saya adalah orang yang selalu mendorongnya, mendorong lagi, dan terus mendorong. Saya menjelma menjadi pendorong masif hingga dia kemudian jatuh dan saya rasakan penyesalan yang sangat besar setelahnya.

Saat pengumuman penerimaan siswa, anak itu meminta maaf kepada saya karena tidak berada di urutan pertama lewat jalur prestasi. Dia hanya di urutan ketiga teratas berdasarkan nilai akademis dan kondisi tersebut membuatnya murung seharian. Saya mulai merasa amat bersalah dan pada detik itu juga saya tahu bahwa saya adalah makhluk penuntut.

Pada hari yang sama, saya meminta maaf pada anak sulung saya itu. Saya sadar berbagai perkataan menghibur semacam, “Tidak apa-apa, hidup akan berlanjut, tidak ada yang salah, kamu sudah melakukan yang terbaik,” belumlah cukup. Saya harus mengakui kesalahan dan itulah yang saya lakukan.

Perenungan saya dimulai dari situ.

Saya mengawalinya dari situasi di mana saya terpeleset meletakkan diri saya sebagai orang yang paling mengenal anak saya, melebihi anak saya sendiri sebagai individu yang sehat secara fisik dan mental. Di permukaan, saya memang bukanlah penuntut banal seperti halnya para orang tua penipu di Bogor itu. Namun demikian, saya juga melakukan kesalahan dengan dampak buruk yang nyaris sama besarnya.

Berulang kali saya memberikan stimulus ceroboh kepada anak saya lewat pujian, seperti betapa pintar atau betapa rajinnya dia. Pujian itu terus saya sampaikan dan baru saya sadari bahwa anak saya pada akhirnya tumbuh dalam kebanggaan serta kecemasan dan kerapuhan sekaligus.

Lewat pujian itu, bagi dia seolah-olah kepintaran adalah satu-satunya hal yang berharga dan seolah-olah rajin belajar adalah satu-satunya hal yang benar dalam hidup. Menjadi biasa-biasa saja adalah sebuah kesalahan dan menjadi yang bukan terbaik adalah kegagalan.

Usaha kerasnya menjadi yang terbaik agar mendapatkan perhatian dan pujian seringkali menjadi usaha yang melelahkan. Saya teringat bagaimana dia masih terjaga dan membaca entah berapa banyak buku ketika menghadapi ulangan, sementara saya sudah terlelap.

Baru saya sadari bahwa saya kurang mengajarinya bahwa kegagalan seperti juga keberhasilan adalah kebutuhan hidup manusia. Kegagalan menciptakan kesadaran tentang keterbatasan dan keberimbangan yang mampu melahirkan tawa di ujung sana, tentu saja untuk menertawakan hidup yang tak simetris ini. Ketika semua orang bisa tertawa dengan baik maka sebelumnya mereka pastilah sudah belajar menangis dengan benar.

Kegagalan juga memiliki kekuatan untuk menumbuhkan kreativitas dengan bekal penyimpangan. Semakin tak aman seseorang maka akan semakin banyak kreativitas yang dia hasilkan. Saya pikir itulah senjata efektif untuk menghadapi kehidupan. Yang terpenting lagi, hanya dari kegagalanlah kita mengenali keberanian dari dalam diri kita untuk membuat sebuah lompatan. Anak-anak membutuhkan lebih banyak keberanian untuk menghadapi masa depan.

Itulah kenapa, menurut saya, kegagalan sama pentingnya dengan keberhasilan dan itulah kenapa kegagalan adalah kebutuhan penting dalam membentuk kemanusiaan. Saat saya tergoda memasukkan logika pasar dalam keluarga maka saat itulah saya mengundang datangnya bencana.

Tekanan hidup orang dewasa seperti yang sudah saya sampaikan membuat saya terkadang tergelincir. Saya menciptakan imaji seperti juga hidup saya bahwa hidup adalah sebuah kompetisi, bersikap sangat keras pada diri sendiri demi mendapatkan posisi yang baik.

Baca Juga: Malam yang Laki-laki, Siang adalah Perempuan

Sebuah pandangan yang pada akhirnya merefleksikan penilaian banal terhadap anak bahwa mereka adalah komoditas seragam: anak haruslah pintar, mampu menghafal banyak ayat Al-Qur’an (sesuai dengan agama yang saya anut), dan harus berprestasi – persis seperti logika pasar.

Penyimpangan dari itu semua bakal membuat seorang anak terlempar dari quality control, tak ubahnya benda cacat yang tak layak dijual di pasar. Padahal, apabila saya berharap anak saya adalah sebuah karya – yang tidak gampang digantikan orang lain yang sungguh seragam, individu yang unik, individu yang jauh lebih dewasa dibandingkan era orang tuanya, maka seharusnya tidak ada yang salah dengan anak yang dipersepsikan bodoh oleh sekolah, anak yang lambat berpikir, anak yang berkebutuhan khusus, dan yang lain-lainnya.

Sebuah karya memang selalu berbeda warnanya dengan basis kreativitas dan orisinalitas masing-masing hidupnya seperti kata Foucault, namun dia punya daya kontrol yang baik atas dunia, sementara komoditas tak punya daya kontrol apa pun sehingga gampang tergantikan.

Lantas apakah sebuah karya adalah representasi tokoh, pengusaha kaya, atau orang berpengaruh di dunia macam ratusan meme di media sosial perihal bagaimana perbedaan ayah kaya dan ayah miskin dalam mendidik anak mereka? Saya pikir tidak demikian.

Pertama mari kita berpikir logis perihal ratusan juta anak ini: Berapa orang yang bakal menjadi presiden, orang macam Mark Mark Zuckerberg, Jeff Bezos, Paulo Coelho, dan lainnya? Akan lebih banyak dari anak-anak ini yang akan menjadi orang biasa-biasa saja dalam kehidupan sehingga saya pikir karya justru berupa hal yang biasa saja.

Kedua, hal-hal yang biasa saja itu sejatinya adalah kunci kemanusiaan. Bentuknya berupa rasa syukur saat melihat pantulan sinar matahari yang tumpah di jendela kaca pada pagi hari, kebahagiaan melihat orang-orang yang saling tersenyum atau menyapa di jalan, rasa riang saat mendapat pesan pendek dari teman yang selalu menyediakan telinganya demikian pula sebaliknya, ucapan terima kasih dari pengasong di jalanan saat kita menyelipkan 100 ribu rupiah ke tangannya, ucapan terima kasih kita kepada teman yang bersedia kita hubungi kapan pun dan jam berapa pun.



Jadi, saya pikir kesadaran akan keberadaan dan koneksi, tentang bagaimana kita saling memengaruhi dan sama-sama hidup hari ini dengan niat yang baik, adalah yang anak kita butuhkan.

Itu bukan pujian tentang kepintaran, sama sekali tak ada hubungannya. Sebaliknya, itu adalah deklarasi tentang betapa keberadaannya sangat berarti untuk saya dan bagi orang-orang di sekitarnya. Itu adalah pujian tentang betapa dia bisa mamaknai hari demi hari dengan kelindan senyuman dan tangisan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Juli 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya