SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kemerdekaan bangsa Indonesia selalu diperingati setiap tahun pada 17 Agustus. Murid-murid selalu menjadi bagian penting dalam upacara peringatan kemerdekaan.
   
Dengan penuh heroisme dan kebanggaan menjulang, para murid ditarik ke masa-masa terbebasnya bangsa kita dari penjajahan. Kata “merdeka” dipekikkan berulang-ulang sebagai penanda salam perjuangan sekaligus kayakinan bahwa kita telah merdeka.
   
Akan tetapi, pernahkah para murid diajari untuk berpikir merdeka? Pernahkah pendidikan di sekolah memerdekakan jiwa mereka? Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan jiwa merdeka merupakan hal prinsipiil dalam pendidikan nasional. Kebebasan tidak hanya dibutuhkan pada zaman kolonial, pada zaman merdeka pun masih sesuai. Melandasi murid dengan jiwa merdeka berarti menanamkan kesadaran diri untuk menjadi warga negara yang berkehendak bebas.
   
Bagaimana mesti memulai pendidikan jiwa merdeka pada anak-anak kita di sekolah? Murid mesti ditempatkan sebagai manusia yang hakikatnya bebas, dikaruniai kesanggupan atau kemampuan untuk memilih, baik memilih melaksanakan sesuatu yang baik maupun memilih untuk tidak melaksanakannya. Bebas tidak hanya berarti “bebas dari”, tetapi “bebas untuk”. Misalnya, bebas dari paksaan peraturan yang tidak adil, bebas untuk memilih.
   
Sebuah sekolah yang membebaskan muridnya selama lima hari tanpa berpakaian seragam adalah sebentuk upaya memberikan ruang-ruang kebebasan agar murid mempunyai peluang untuk memilih. Memilih pakaian yang sesuai dengan seleranya, atau pakaian yang dimilikinya tanpa mengada-ada.
   
Dalam bingkai kebebasan atau kemerdekaan ternyata muncul kesahajaan atau sikap menerima diri apa adanya, tanpa terjebak pada perilaku ikut-ikutan yang didorong oleh rasa gengsi.
   
Edgar Morin (2005) menegaskan bahwa kelas harus menjadi sebuah tempat untuk belajar para siswa tentang aturan-aturan debat dan diskusi yang sportif, kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan dan prosedur untuk memahami pikiran orang lain, mendengar dan menghormati suara minoritas dan suara-suara yang berbeda.
   
Belajar memahami sesama haruslah menjadi elemen utama dalam belajar demokrasi dan berpikir merdeka. Ide yang dinilai aneh keluar dari kebiasaan umum, tetaplah ditempatkan sebagai penarik situasi yang mandek ke arah pembaruan.
   
Pengalaman konkret di sebuah sekolah, ketika dengan sengaja menempatkan pengembangan karakter murid sebagai yang utama, ketika daya kritis dan berpikir bebas merdeka sebagai yang penting, ternyata sebagian gurunya justru antikritik.
   
Murid berani mengritik sang pendidik yang inkonsisten, menganjurkan murid datang tepat waktu sementara perilakunya sendiri hadir di kelas melewati waktu, selalu mengajari murid agar  bertindak berdasarkan alasan yang dipertanggungjawabkan sementara sang guru gemar menebarkan teror di hadapan siswa yang kritis.
   
Penghargaan pada pribadi siswa dan peluang membangun karakter kritis nan merdeka  belumlah cukup jika para gurunya justru antikritik dan kehilangan kepercayaan. Prasyarat fundamental upaya pemberdayaan dan pemerdekaan apa pun adalah kepercayaan.
   
Jika sekolah ingin mencobakan berbagai aktivitas yang memerdekakan, para pendidik harus yakin bahwa kemungkinan untuk salah itu ada, bahwa perbedaan akan ditoleransi, dan wawasan-wawasan yang unik akan dihormati. Keyakinan itupun juga mesti dirasakan oleh murid, bahwa belajar berpikir merdeka tidak perlu takut salah, tetapi juga tidak nekad jika mengetahui itu salah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya