SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Fakta menunjukkan pada tanggal 17 Pebruari 2021 ada sejumlah kepala daerah yang telah habis masa jabatan mereka, termasuk di Kota Solo. Pelantikan para kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020 harus segera dilakukan.

Pemilihan kepala daerah serentak pada 2022 ternyata masih menyisakan dinasti politik, meski ada juga dinasti politik yang kalah dalam pemilihan kepala daerah tersebut. Menteri Dalam Negeri menyatakan para kepala daerah pemenang pemilihan kepala daerah serentak 2020 jangan mencoba memanfaatkan jabatan untuk korupsi dan jual beli jabatan.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Menteri Dalam Negeri juga mengingatkan agar kemajuan era otonomi daerah didukung pembangunan daerah secara masif dengan memanfaatkan semua dana desa, termasuk tentu menciptakan keunggulan kompetitif dan komparatif daerah.

Belum terlupa dari ingatan kita kasus jual beli jabatan di Kabupaten Klaten yang melibatkan Bupati Klaten (saat itu) Sri Hartini pada tahun 2017 yang ternyata kasus serupa berulang di Kabupaten Kudus dengan melibatkan Bupati Kudus (saat itu) M. Tamzil.

Ironisnya kasus ini terjadi tidak berselang setahun setelah pelantikan sebagai kepala daerah pada September 2018 lalu. Rekam jejak M. Tamzil sebelumnya pernah divonis 22 bulan dalam perkara korupsi dana sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus 2004-2005.

Artinya dia pernah melakukan korupsi dan anehnya bisa menang di pemilihan kepala daerah serentak meski akhirnya tersandung kasus jual beli jabatan. Realitas ini harus menjadi pembelajaran dalam kehidupan demokrasi pada masa depan agar rekam jejak kandidat dipertimbangkan, tidak hanya oleh partai politik, tetapi juga oleh KPU dan KPU daerah, dan tentu yang terpenting adalah masyarakat agar tidak salah memilih pemimpin daerah.

Problem 

Persoalan jual beli jabatan sebenarnya mencederai hakikat kompetensi sumber daya manusia karena yang menduduki jabatan bukan yang berkompeten tapi justru yang berani membayar sejumlah tertentu. Fakta ini secara tidak langsung membenarkan argumentasi yang berkembang bahwa jual beli jabatan adalah tradisi yang terjadi di daerah.

Jika demikian, reward and punishment tidak akan dapat berjalan dan good corporate governance sebagai implikasi e-governance juga tidak akan terlaksana dengan baik. Kerawanan jual beli jabatan adalah sangat rentan menjadi pemburu rente dan akhirnya setoran atau upeti menjadi tradisi yang kemudian memicu korupsi.

Ironisnya, korupsi tidak lagi dilakukan secara individual. Korupsi kini makin jamak dilakukan secara berjemaah. Fakta ini menjadi peringatan bagi para kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah 2020 yang sebentar lagi segera dilantik.

Kilas balik kasus jual beli jabatan sebenarnya tidak hanya terjadi di Jawa Tengah, tetapi juga terjadi di Cirebon dengan melibatkan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra pada 2017 lalu. Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko pada Oktober 2018 juga terlibat kasus jual beli jabatan.

Artinya, pada rentang waktu 2017-2019 telah terjadi empat praktik jual beli jabatan dan tentu saja ini yang terungkap. Praktik demikian tampaknya telah mengakar di semua daerah sehingga yang lain tinggal menunggu nasib untuk terbongkar atau terjerat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

Argumentasi yang mendasari karena tidak ada efek jera sama sekali. Korupsi atau jual beli jabatan yang terbongkar dan diproses hukum tampaknya tak memunculkan efek jera. Pemberitaan gencar oleh pers, pembagian berita dan informasi di media sosial, dan publikasi tersangka yang mengenakan rompi oranye seolah-olah hanya pemanis berita.

Sangat beralasan ketika Menteri Dalam Negeri memberikan peringatan keras kepada para kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah serentak 2020 agar tidak memanfaatkan jabatan mereka untuk korupsi dan jual beli jabatan. Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa tidak ada efek jera?

Setidaknya realitas yang mengemuka tidak terlepas dari realitas hukum dan peradilan di negeri ini yang jamak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Maling kelas teri dihukum berat, dihukum maksimal, sementara koruptor diperlakukan istimewa. Koruptor mendapatkan fasilitas mewah dan wah di penjara dan juga mendapat keringanan hukuman dari obral remisi habis-habisan.

Artinya tidak ada sinergi antara kerja KPK yang memburu koruptor dengan sistem peradilan dan pemenjaraan yang mengobral keringanan hukuman bagi koruptor. Fenomena ini pada akhirnya menjadikan korupsi seperti ”anak emas” sehingga tidak mengherankan sampai kini tidak ada efek jera. Jangan heran Setya Novanto yang menjadi terpidana dalam kasus korupsi dana pengadaan kartu tanda penduduk elektronik bisa melenggang keluar penjara dengan dalih mendapat izin berobat.

Apakah KPK berjuang sendirian menuntaskan persoalan korupsi yang semakin akut di negeri ini? Jika ini benar adanya, sangat beralasan ketika penyidik KPK Novel Baswedan mengemukakan pesimisme kasus yang menimpa dirinya terungkap dan kasus ini seolah-olah menjadi pembenar kriminalisasi penyidik atau aparat KPK karena sejatinya KPK adalah musuh utama para koruptor dan calon koruptor.

Jika dicermati sebenarnya muara dari berbagai kasus korupsi adalah tuntutan balik modal. Jual beli jabatan bermuara ke sistem balik modal dan akhirnya pemangku jabatan akan terus menarik upeti agar cepat balik modal. Dampak sistematis jual beli jabatan selain tuntutan pembayaran upeti juga korupsi.

Lingkaran setan korupsi tampaknya kian akut dan ini diperparah dengan model demokrasi yang butuh biaya sangat banyak sehingga tinggi rendahnya jabatan yang dibidik selaras dengan nilai uang yang harus dibayarkan. Benar adanya ketika Menteri Dalam Negeri memberikan peringatan keras kepada para kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020 dan segera dilantik.

Ironi di balik praktik jual beli jabatan bukan hanya di tingkat kabupaten/kota, tapi juga di level birokrasi lainnya, termasuk birokrasi pemerintah pusat. Setidaknya ini terungkap dari kasus jual beli jabatan yang melibatkan petinggi Partai Persatuan Pembangunan atau PPP, yaitu Romahurmuziy. Runyam sudah praktik jual beli jabatan di negeri ini karena terjadi di semua tingkatan.

Oleh karena itulah, dalam pesta demokrasi pada masa mendatang seharusnya partai politik kian selektif mengusung kandidat yang akan bertarung karena nama baik partai politik juga dipertaruhkan sehingga ketika salah pilih tentu mencederai nama baik partai politik.

Pada masa depan partai politik harus selektif, juga KPU dan KPU daerah, agar tidak meloloskan kandidat kepala daerah dan kandidat wakil kepala daerah yang memiliki rekam jejak buruk dan realitas membuktikan kekhawatiran ini. Yang terpenting adalah masyarakat tidak memilih kandidat kepala daerah yang pernah terjerat kasus korupsi dan bisa juga yang terjerat kasus narkoba.

Para kepala daerah pemenang pemilihan kepala daerah serentak pada 2020 lalu harus bersiap menunjukkan kinerja terbersih di daerah yang mereka pimpin agar tidak terjaring operasi tangkap tangan KPK yang terus mengincar setiap saat.

Komitmen 



Ketika fakta menunjukkan koruptor terus merajalela dan berkuasa atas hukum dan peradilan di negeri ini, bagaimana mereduksinya? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Kini praktik korupsi telah terjadi di semua level, dari hulu sampai hilir, sehingga tidak ada celah untuk terbebas dari praktik korupsi.

Setidaknya kasus-kasus korupsi dan praktik jual beli jabatan berpangkal dari ”ongkos demokrasi” yang sangat majal dan ”tarif” untuk mengisi kursi jabatan yang sangat mahal pula. Oleh karena itulah, praktik jual beli jabatan secara tidak langsung mengebiri kompetensi dan kualifikasi karena penetapan pejabat bukanlah berdasar kepakaran seseorang tapi berdasarkan setoran kepada atasan.

Pembelajaran dari kasus ini tentu publik berharap agar pengisian jabatan tidak berdasar jual beli kepentingan antara koalisi pendukung dan koalisi oposisi, termasuk juga kepentingan minta jatah karena alasan merasa paling berjasa pada pemenangan pemilihan kepala daerah, tapi harus lebih mengacu pada pertimbangan profesionalisme.

Terlepas dari problem kompleks operasi tangkap tangan KPK, pasti semua berkelit dan merasa seolah-olah dijebak. Tentu ini alasan klise yang tidak menarik untuk dicermati. Oleh karena itulah, sangat beralasan bahwa kasus jual beli jabatan adalah praktik primitif dalam upaya mengembalikan modal karena caranya paling mudah dilakukan.

Sayangnya, meski primitive, masih banyak dipraktikkan dan tentu mudah bagi KPK mengendusnya. Fakta di balik praktik jual beli jabatan pada akhirnya mengerdilkan etos kerja apartur sipil negara atau ASN karena berprestasi atau tidak pada akhirnya karier justru ditentukan nilai uang yang harus disetor jika berniat naik jabatan.

Fenomena demikian ini menguatkan asumsi tentang adanya pos jabatan basah dan pos jabatan kering. Tentu saja hal ini harus menjadi peringatan keras bagi kepala daerah pemenang pemilihan kepala daerah serentak 2020 yang segera dilantik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya