SOLOPOS.COM - Seniman yang tergabung dalam Sanggar Seni Keroncong Wayang Dangdut (Congwayndut) Solo mementaskan Wayang Terawang Shadow of Kamapala saat gladi bersih di Gedung Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, Senin (4/9/2017) malam. (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

Dwi Suryanto atau Dalang Gendut menggelar pertunjukan wayang terawang di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Selasa (5/9/2017) malam.

Solopos.com, SOLO–Auman Duryudana terdengar keras begitu penonton memasuki ruang konser wayang terawang Shadow of Karmapala di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Selasa (5/9/2017) malam. Dalam temaram, ia terus menghujat Pandawa setelah kalah perang.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Pandawa, kini kau telah menumpas habis para Kurawa. Aku memang ditakdirkan kalah dalam perang ini. Tetapi apalah artinya kemenanganmu hai Pandawa. Kemegahan Astina kini tinggal nama. Semua kekayaan Astina Pura tinggal sisa,” kata dia sembari tertawa.

Diperankan pemain teater Budi Bodot, ia menghidupkan cerita dengan narasi-narasinya tentang Pandawa dan karmapala. Dalam sorot lampu kemerah-merahan di panggung serba hitam, reinkarnasi dari tokoh iblis itu terus berkisah. Ia tak hanya membuka karakter antagonis, tetapi juga sisi lain kehidupan pribadinya yang sangat menyayangi sang ibu, Gandari. Getir cerita Duryudana disempurnakan komposisi musik garapan Gondrong Gunarto, dan Joko Winarto Porong.

Sebagai background dipasang layar sepanjang lima meter dengan lebar kira-kira tiga meter sebagai kelir wayang. Bayang-bayang wayang kulit yang dimainkan oleh empat dalang muda di belakang layar muncul sebagai penyambung narasi Duryudana. Koreografer Anggono Wibowo Kusumo yang memerankan Sengkuni melengkapi dramaturgi para tokoh antagonis ini.

Trenyuh

Pada fragmen lain, sosok Siti Sundari yang diperankan pegiat teater Luna Karismah di pengujung pentas bikin trenyuh. Diiringi lengkingan suara Yeni Arama, ia menceritakan deritanya ditinggal selingkuh Abimanyu.

Karmapala sang suami dikisahkan dalam kalimat pilu. “Lalu kau datang bersama perempuan jelita. Aku menyambutmu dengan senyum gembira. Hari ini kau pulang dengan luka-luka di sekujur tubuhmu, aku tak akan meninggalkanmu, akan kutemani kau dengan luka yang sama, di sekujur batinku,” kata dia penuh nanar menutup adegan gugurnya Abimanyu.

Budayawan Solo Suprapto Suryadarma yang duduk di kursi penonton trenyuh dengan pernyataan sosok Siti Sundari. Pria yang akrab disapa Mbah Prapto itu mengapresiasi kerja keras sang sutradara Dwi Suryanto dan konseptor acara tersebut. Ia menilai pertunjukan malam itu merupakan bentuk kolaborasi seni yang luar biasa. “Sayang, memang membutuhkan masukan dari dunia kesenirupaan. Artinya gagasannya sebagai musik, teater, tari, lalu juga kesenirupaan itu menjadi adonan. Jadi ini yang sangat menggembirakan melahirkan generasi muda,” kata dia.

Dwi yang akrab disapa Dalang Gendut menambahkan proyek wayang oleh Sanggar Congwayndut ini merupakan pengembangan konsep karya yang pernah dibuat saat menyelesaikan studi Pascasarjana di ISI Surakarta. Secara umum ia ingin menyampaikan bahwa di setiap kehidupan manusia selalu ada karmapala. Yaitu hubungan sebab akibat dari setiap tindakan yang kita lakukan.

Pentas dua hari ini didukung sepenuhnya Yayasan Kelola yang merupakan lanjutan dari pengajuan dana hibah seni kelola dalam kategori karya inovatif. Dwi merupakan satu-satunya penerima hibah asal Solo dalam kategori inovatif. Djarot B. Darsono juga disebut menerima hibah yang sama namun dari kategori karya keliling.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya