SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Jika Anda ke Medan, Sumatra Utara, mengunjungi objek wisata Istana Maimun adalah sebuah keharusan. Namun, ada objek wisata lain yang patut dikunjungi, yaitu Rumah Tjong A Fie, pengusaha besar Tionghoa di Jl. Ahmad Yani, Kesawan, Medan.

Jaraknya 1,2 kilometer dari Stasiun Kota Medan. Jadi, sebelum naik kereta ke Bandara Kuala Namu untuk pulang ke Kota Solo, saya mampir dulu ke Tjong A Fie Mansion. Ia adalah pengusaha, bankir, dan kapitan pada awal abad XX.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tjong A Fie lahir di Tiongkok pada 1860. Dia ke Medan untuk mencari penghidupan baru. Di Medan dia membuka usaha perkebunan. Ketika berkembang, perkebunan itu mempekerjakan 10.000 orang.

Dia juga memiliki bank hingga perusahaan kereta api. Tjong A Fie diangkat sebagai Kapitan Tionghoa yang memimpin komunitas Tionghoa di Medan. Rumahnya besar. Ada pengaruh Tionghoa, Eropa, dan Melayu.

Ekspedisi Mudik 2024

Di rumah dua lantai itu pengunjung akan melihat  perjalanan hidup Tjong A Fie melalui foto, barang kenangan, dan isi rumah. Dalam foto-foto itu dia dekat dengan pejabat Belanda hingga Sultan Deli Ma'moen Al Rasyid.

Dari sekian banyak barang kenangan yang dipamerkan, ada satu yang paling menarik perhatian saya. Dia penganut Konghucu, namun Tjong A Fie sering menyumbang pembangunan rumah ibadah agama lain.

Dia menyumbang sepertiga dana pembangunan Masjid Raya Medan yang lokasinya di seberang Istana Maimun. Dia juga menyumbang pembangunan sejumlah masjid di Sipirok, gereja, hingga vihara.

Tjong A Fie telah mempraktikkan cara hidup harmonis, saling membantu, tanpa ada sekat. Hal ini terlihat dari wasiat kepada anak turunnya. Dalam testamen (wasiat) di hadapan notaris Dirk Johan Toeqin de Grave, ada lima testamen dia yang kemudian dipasangi figura besar.

Nomor 1 dan 2 adalah pesan untuk merawat kuil nenek moyang dan pembiayaan untuk anak turunnya. Itu wasiat umum. Saya kira setiap orang akan mewariskan harta kepada anak turunnya.

Dalam wasiat nomor 3, Tjong A Fie berpesan agar hartanya digunakan untuk tunjangan keuangan bagi pendidikan anak muda yang berbobot (pintar) tanpa membedakan golongan. Bisa disebut beasiswa bagi pelajar pintar yang tidak mampu.

Wasiat nomor 4, hartanya untuk sedekah bagi orang cacat dan sakit yang membutuhkan tanpa membedakan bangsa dan golongan. Wasiat nomor 5, memberikan bantuan kepada korban bencana alam tanpa membedakan bangsa dan golongan.

Sungguh wasiat yang indah. Saya sebut indah karena menggambarkan keluasan hati Tjong A Fie yang membantu orang tanpa membedakan golongan, bangsa, agama yang mereka anut.

Tjong A Fie meninggal pada 4 Februari 1921. Warisannya bukan hanya rumah beserta harta. Dia meninggalkan pelajaran berharga bahwa harta tidak dibawa mati, harus dibagikan kepada orang lain yang membutuhkan tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan.

Tidak jauh dari masa Tjong A Fie hidup, pada 20 Mei 1919 Gunung Kelud di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang, Jawa Timur, meletus. Letusan itu merusak rumah dan lingkungan, serta menyebabkan 5.000 warga meninggal.

Pada masa itu belum banyak gerakan kesukarelawanan seperti sekarang. Pada masa itu, Haji Soedjak, murid K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), menggalang dana untuk korban bencana Gunung Kelud di Blitar.

Lembaga di bawah Muhammadiyah, yaitu Penolong Kesengsaraan Oemoem atau PKO (cikal bakal RS PKU Muhammadiyah) dan Steun Comite Keloed di Jogja, menggalang dana masyarakat untuk membantu warga korban erupsi Gunung Kelud.

Penggalangan tenaga, harta, dan pemikiran seperti itu dipastikan menyingkirkan sekat-sekat sosial. Bahasa yang mereka gunakan hanya satu, yaitu bahasa kemanusiaan.

Sejak dulu banyak orang yang memiliki keluasan hati yang tidak dibatasi sekat. Di lingkungan kita, tetangga, teman, maupun masyarakat umum, banyak membantu tanpa syarat itu. Mereka melakukan atas dasar compassion (welas asih).

Welas asih ini tidak didasari prasyarat tertentu. Membantu dengan syarat itu misalnya bantuan hanya untuk golongan tertentu, tak boleh diterimakan kepada kelompok lain.

Yang memiliki prinsip membantu tanpa memandang yang dibantu adalah para sukarelawan kemanusiaan. Saya menaruh hormat setinggi-tingginya kepada sukarelawan dan pekerja kemanusiaan yang banyak membantu korban bencana alam dan bencana kemanusiaan di berbagai belahan dunia.

Mereka sukarelawan secara pribadi, dari organisasi sosial, organisasi keagamaan, dan sebagainya. Dalam membantu, mereka melaksanakan tiga prinsip dasar yaitu kemanusiaan (humanity) untuk mengurangi penderitaan manusia, lalu imparsialitas (impartiality) yaitu membantu tanpa diskriminasi atas jenis kelamin, agama, suku, bangsa, pilihan politik, dan kelompok lain, dan netralitas (neutrality), tidak memihak kepada kelompok yang bertikai.

Ketika menghadapi orang yang membutuhkan, mereka tidak bertanya apa agama, pilihan politik, suku bangsa, dan sebagainya. Yang utama dan pertama adalah membantu menyelamatkan jiwa. Itu di atas segalanya. Kadang-kadang sampai nyawa mereka terancam.

Pada masa pandemi ini ada orang-orang yang sepertinya sudah hilang urat takutnya. Ketika kebanyakan orang takut tertular virus corona yang persebarannya cepat dan meluas, ada orang bersedia menjadi petugas yang membawa dan menguburkan jenazah pasien Covid-19.

Mereka biasa disebut Tim Kamboja, merujuk pada bunga kamboja yang biasanya tumbuh di permakaman. Mereka berisiko tertular. Karena itulah, baju hazmat tebal dan bikin sumuk tidak jadi hambatan.



Mereka melakukan itu karena tidak banyak yang berani menangani pemulasaraan jenazah korban Covid-19. Sayang, ada yang memandang remeh Covid-19, bahkan masih berkeliaran tanpa alasan jelas.

Bahkan, pernah ada kasus pemukulan empat petugas Tim Kamboja oleh keluarga suspect Covid-19 di Palangkaraya, Juli 2020 lalu. Belum lagi tenaga medis yang bekerja menangani bencana kesehatan ini.

Hati saya selalu teriris saat melihat foto atau video petugas medis memakai baju hazmat. Salam hormat untuk para petugas medis dan sukarelawan Covid-19.

Kebetulan 5 Desember 2020 diperingati Hari Relawan Sedunia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1985. Ada banyak ragam sukarelawan, beraneka pula bidang tugas mereka. Tidak hanya ada saat terjadi bencana alam.

Mereka juga telah bekerja sejak lama di bidang pendampingan petani, buruh, nelayan, difabel, pengidap HIV/AIDS, TBC, pendamping anak telantar, kaum miskin kota, aktivis lingkungan, dan banyak lagi yang tidak bisa disebut satu per satu.

Mereka bekerja tanpa dibayar. Mereka mewakafkan sebagian waktu dan tenaga untuk kemanusiaan. Yang mereka lakukan itu juga menembus sekat sosial, budaya, agama, dan politik. Saya berdoa semoga Tuhan selalu melindungi mereka yang bekerja untuk kemanusiaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya