SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok.SOLOPOS), PADAT KARYA--Warga peserta program padat karya sedang menyelesaikan pembuatan kolam lele di Semanggi, Pasar Kliwon.

Rugi Rp 4 juta untuk sekali panen lele

Ilustrasi (Dok.SOLOPOS), PADAT KARYA--Warga peserta program padat karya sedang menyelesaikan pembuatan kolam lele di Semanggi, Pasar Kliwon.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Program padat karya produktif yang digulirkan sejak beberapa waktu yang lalu ternyata macet di tengah jalan. Banyak program berhenti total. Berikut laporan wartawan SOLOPOS, Ayu Prawitasari yang menelusuri proyek-proyek tersebut.

Sepasang sepatu boot warna hitam lusuh menghiasi bagian tengah bekas kolam lele yang berada di depan SD Islam Cokroaminoto, Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo, Minggu (18/9/2011) pagi.

Akibat terkena panas dan siraman hujan berkali-kali, bentuk dan warna sepatu itu pun mulai berubah.

Di sekitar sepatu, sampah dedaunan serta bekas makanan kecil pun mulai menumpuk. Pemandangan senada tampak di lima kolam lainnya. Enam kolam berukuran 4×5 meter persegi dengan tinggi 1,5 meter dulunya adalah kolam lele.
Kolam yang merupakan salah satu contoh program padat karya milik Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Solo yang dibangun dua tahun lalu dengan sumber dana pemerintah pusat.

Kini kolam lele yang mangkrak lebih sering menjadi tempat anak-anak bermain bola. Bukan hanya untuk bermain bola, banyak juga dari mereka yang bermain petak umpet atau sekadar mengobrol di sekitar kolam.

Maklumlah, bekas kolam lele tersebut dulunya dibangun di lapangan tempat anak-anak bermain ketika hari libur, sore hari atau sepulang sekolah.

Tak hanya di Sangkrah, kolam-kolam lele maupun belut program padat karya di sejumlah kelurahan lain juga tak lebih baik nasibnya. Hampir semuanya mangkrak. Kolam di Semanggi, Pasar Kliwon; Sondakan dan Purwosari, Laweyan adalah beberapa contohnya.

Salah seorang pengelola kolam lele di Sangkrah, Giyarto, ketika ditemui Espos di pabrik batik tempat kerjanya mengungkapkan hanya enam bulan kolam lele itu difungsikan.

Selebihnya kolam dibiarkan begitu saja hingga tertutup rimbunnya tanaman pace. Tak ada pilihan bagi pengelola, ungkapnya, selain membiarkan kolam begitu saja karena selalu merugi sehingga bukannya menguntungkan masyarakat namun malah membebani mereka.

”Masalahnya sebagai pemula yang kami ketahui soal lele sedikit sekali. Jadi sejak awal, warga yang bergabung padat karya hanya terlibat sebatas pembangunan kolamnya karena ada bayarannya. Setelah bibit lele dibagikan, mereka yang datang hanya satu dua orang. Bahkan seingat saya, hanya sekali mereka datang sesudahnya tak pernah datang lagi. Ya mungkin malas,” ungkap Giyarto.

Sejak awal program berjalan, Giyarto mengaku, pengelola sudah mendapat masalah. Sumber masalah itu datang dari makanan ikan yang menurutnya tidak menyehatkan ikan namun justru mematikan mereka.

Diceritakannya, makanan ikan atau yang biasa disebut pelet diindikasikan tak asli karena warna merahnya mencemari seluruh kolam. ”Tiap hari belasan ikan mati. Akhirnya ya mati semua,” ujarnya.

Tiga bulan setelah program bergulir, tutur Giyarto, pengelola akhirnya menyebar bibit lele baru. Meski pada kali kedua ini pengelola sempat panen lele atau enam bulan sesudah program berjalan namun hasilnya belum bisa memberikan keuntungan.

”Panen lele memberi hasil hingga Rp 8 juta. Sementara untuk makanan ikan yang mulai diberikan pada bulan ketiga menghabiskan dana Rp 12 juta. Malah rugi Rp 4 juta kan,” ungkap dia.

Giyarto mengungkapkan yang menanggung kerugian adalah mantan ketua RW X, Sokono selaku pengusul maupun penanggung jawab program di wilayah. ”Kasihan sebenarnya Pak RW. Namun mau bagaimana lagi <I>lha wong<I> yang masih aktif hanya dia,” ungkapnya.

Karena merugi, Giyarto menambahkan, pengelola akhirnya sepakat menutup kolam lele. Pengakuan senada disampaikan warga RT 3/RW XI Sondakan, Ichwan. Menurutnya ada kurang lebih 40 orang yang terlibat dalam pembangunan kolam belut yang berlokasi di depan kediaman ketua RW XI Sondakan.

”Waktu ada program padat karya, warga antusias ikut karena dapat honor. Lumayan honornya Rp 30.000/hari. Untuk satu bulan kan ya cukup banyak. Nah maksud pemerintah itu kan sesudah kolamnya jadi, bibit belut dibagikan supaya warga yang terlibat dalam program padat karja bisa memelihara. Tujuannya supaya para pengangguran dapat pekerjaan. Namun dugaan pemerintah salah karena ternyata sedikit sekali warga yang berminat. Mungkin karena tak ada honornya,” jelas Ichwan.

Dari 40 orang yang semula terlibat hanya 12 orang yang mau terus ikut. Lagi-lagi karena ketidakmampuan masyarakat memelihara belut, sambung Ichwan, akhirnya 9.000 ekor bibit belut mati. Namun demikian sebagian bibit belut menurutnya mati sejak awal kedatangan.

Ichwan menuturkan karena tiap hari ada saja bibit belut yang mati, pengelola akhirnya merugi. ”Karena warga sejak awal tidak berminat memelihara kolam, ya akhirnya tinggal pak RW yang tersisa dan bertanggung jawab atas semua kerugian,” ujarnya.

Banyaknya potret kegagalan program padat karya, imbuh Ichwan, harusnya menjadi bahan evaluasi Pemkot. ”Menurut saya program ini tak usah diteruskan. Percuma. Kalau mau mengentaskan pengangguran ya warga diberi pekerjaan yang mudah. Jangan yang sifatnya produktif, tidak akan jadi,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya