SOLOPOS.COM - Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo (JIBI/FOTO/Istimewa)

Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo (JIBI/FOTO/Istimewa)

Kita semua terbelalak membaca berita human interest di Harian Umum SOLOPOS edisi Sabtu (21/1/2012) tentang Agung, bocah usia 11 tahun murid Kelas IV SDN Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar, yang gantung diri karena hal sepele yakni sambal kegemarannya habis. Kita merasa sedih dan nyaris tidak percaya dengan pilihan akhir hidupnya yang tragis.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Sedih karena gara–gara tidak kebagian sambal seorang anak mutung dan memilih jalan kematian. Dengan latar belakang ekonomi keluarga tersebut, sambal menjadi barang yang mewah untuk menemani makan. Bagi kalangan keluarga yang mampu, masalah sambal pasti bukan sesuatu yang istimewa. Namun, bagi kalangan orang miskin sambal menjadi barang mewah.

Mendengar kata makan dengan sambal dalam benak kita berkelebat bayangan kehidupan yang muram, merana. Sambal seperti hendak menjelaskan makna kemiskinan yang disandang oleh yang menyantapnya. Hal–hal mengenai kenikmatan dapat diwakili secobek sambal. Ketika lauk berupa ikan, daging, tempe atau tahu semakin mahal dan tidak terjangkau, sambal menjadi suplemen yang mampu menggantikan kehadiran lauk–lauk ”mewah” tersebut. Agung menebus kemewahan sambal dengan nyawanya.

Mendengar kata bunuh diri, bulu kuduk kita berdiri, mengkirig. Apa yang ada dalam benak kita jika yang bunuh diri itu seorang anak? Padahal dia adalah pemilik masa depan. Dalam beberapa kesempatan, saya marah besar kepada sopir atau pengendara sepeda motor yang mencoba menerobos barisan anak–anak didik saya yang sedang menyeberang jalan di depan sekolah. Mengapa? Dalam pandangan saya mereka harus dilindungi. Keselamatan jiwa dan raga  mereka harus kita jaga. Kita harus mewujudkan cita–cita mereka karena kita tidak akan pernah tahu menjadi apa mereka kelak kemudian hari.

 

Elan Vital

Dalam diri anak tidak ada kata ”memahami”. Mereka hanya bisa menuntut dan meminta. Ia tahu bahwa ada hal–hal yang mustahil untuk dituruti dari apa yang diinginkannya. Agung dan jutaan anak lainnya adalah potret dari generasi yang hilang (lost generation). Ia tidak seberuntung anak–anak yang lain dari kalangan berada yang semua kebutuhan sudah otomatis tersedia di rumah. Jangankan sambal, yang lebih dari itu pun akan dipenuhi.

Asupan gizi anak–anak seperti Agung pasti buruk. Pendidikan yang mereka terima juga buruk. Ia pergi memancing dengan harapan mendapatkan ikan untuk lauk karena jika hendak membeli di pasar pastilah mustahil. Memancing ikan di sungai atau rawa-rawa menjadi solusinya. Untuk hal yang satu ini, Agung memberikan keteladanan bahwa jika seseorang ingin hidup nikmat ada satu langkah perjuangan yang harus dilewati. Siapa yang obah (bergerak) untuk bekerja pasti bisa mamah (mendapatkan makan).  Ada elan vital atau jiwa utama dalam dirinya.

Sekolah menjadi sebatas hal rutin, yakni pagi berangkat ke sekolah. Di sekolah bisa jadi ia tidak mendapatkan apa–apa sebab sekolah di Indonesia, apalagi yang berada di pelosok desa, proses pembelajarannya tidak jua beranjak maju. Satu buku tulis dipakai untuk beberapa mata pelajaran. Pulang ke rumah selepas sekolah ia menemui kenyataan bahwa orangtua yang melahirkannya hidup dalam kubangan ketidakpastian. Sang bapak dan ibu tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga untuk menopang kebutuhan keluarga ia berjibaku. Ia menggigit perasaan sendiri.

Sebagai seorang guru, saya sering bertemu dan menjumpai orangtua yang tidak mau mendengar perkataan anak. Sementara orangtua menuntut sang anak untuk selalu mendengarkan perkataan dan apa yang diinginkan oleh orangtua. Jika ada anak yang meminta sesuatu kepada orangtua, tidak jarang yang mereka peroleh adalah hardikan. Banyak orangtua yang lantas pamer kehebatan kepada sang anak tentang betapa mereka telah jungkir balik dalam bekerja demi keluarga.

Anak pasti akan meminta sesuatu kepada orangtuanya karena selagi mereka masih anak–anak pastilah hanya bisa meminta. Jadi, jangan pamer kehebatan di depan anak sendiri. Mereka tahu apa yang dikerjakan oleh orangtuanya.        Ada orangtua yang berteriak–teriak menyuruh anaknya mandi. Padahal sang anak sudah bersiap membawa handuk. Dalam logika sederhana melihat anak membawa handuk, hendak ke manakah dia? Pasti hendak mandi. Mengapa pula harus menghabiskan energi.

Banyak hal yang tidak penting bagi anak menjadi sangat penting bagi orangtuanya dan sebaliknya ada hal yang penting bagi anak menjadi hal yang tidak penting bagi orangtua. Sambal bagi Agung adalah hal penting. Ibunya menyesal. Andai saja dibuatkan sambal pasti ia tidak kehilangan anak tercintanya. Ikan hasil memancing adalah wujud aktualisasi diri dan keberhasilan.

Ikan hasil memancing yang disandingkan dengan sambal buatan ibu adalah bersandingnya hasil sebuah perjuangan dan cinta. Dan paduan dua hal tersebut menjadikan makan menjadi lebih nikmat dari hidangan di restoran yang diolah oleh seorang chef terkenal. Pahamilah dan dengarkanlah  suara anak dengan hati sebab tidak cukup hanya dengan menggunakan otak saja.

Republik Ganjil

Di Republik ini keganjilan–keganjilan memang kerap terjadi. Saat jutaan rakyat seperti orangtua Agung hendak mengais upah Rp20.000/hari atau setara US$2 sebagaimana standar hidup layak dengan susah payah, rakyat disuguhi tontonan para pemimpin yang sibuk menjarah uang yang hak rakyat yang nilainya sangat fantastis tanpa sedikit pun merasa bersalah.

Ketika jutaan rakyat hidup di gubuk reyot di bawah kolong jalan tol, di bantaran sungai, makan hanya dengan berlauk sambal dan kerupuk, mereka disuguhi kemewahan kehidupan para pemimpin. Bayangkan saja harga satu buah kursi untuk ruang kerja Badan Anggaran DPR seharga Rp22 juta.

Biaya makan minum sekretariat daerah sebuah wilayah kabupaten alokasinya jauh lebih tinggi jika dibandingkan anggaran sosial bagi rakyat kecil. Atau biaya pemeliharaan istana-istana presiden yang nilainya luar biasa mahal di tengah rakyat yang hidupnya morat-marit. Keganjilan–keganjilan yang sering terjadi di negeri ini seolah menjadi hal lumrah.

Kita tahu jutaan keluarga miskin di Indonesia terus bergelut dengan kemiskinan dan tidak tahu sampai kapan mereka akan keluar dari belenggu kemiskinan itu. Jangankan lauk pauk, jutaan keluarga miskin tersebut masih bersyukur masih bisa ketemu dengan benda yang namanya nasi. Kemiskinan menjauhkan mereka dari kehidupan yang layak sebagai hak dasar warga negara yang diakui oleh UUD 1945.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya